
Ilustrasi: Muid/ watyutink.com
28 October 2017 10:00Kalau kita lihat situasi politik global, ada fenomena yang relatif belum pernah terjadi dalam beberapa dekade belakangan. Situasi dimana orang memilih bukan karena kinerja dan tawaran program calon pemimpin, namun berdasarkan tarikan emosional. Sebenarnya situasi seperti ini bukanlah situasi yang baik.
Kinerja memang bukan menjadi satu-satunya faktor dalam menetapkan pilihan pemimpin. Contoh nyata adalah Ahok. Warga Jakarta mengaku puas dengan kinerja kepemimpinan Ahok di DKI Jakarta. Namun saat pemilu Ahok-Djarot kalah dari pasangan Anies-Sandi di putaran kedua. Warga tidak lagi memilah faktor-faktor objektif, tetapi lebih melihat sentimentprimordial. Dalam text book ilmu politik yang saya baca ini dikenal dengan fenomena post truth dan dog whistle politic (politik pluit anjing).
Maksud dari politik pluit anjing ini adalah sejumlah tokoh-tokoh politik menyampaikan pidato politik dengan pesan tersirat. Pesan-pesan yang disampaikan itu hanya dimengerti oleh kalangan-kalangan tertentu saja. Setelah menangkap pesan dari pidato-pidato itu, antara penyampai pidato dan penerima memiliki tarikan emosional. Inilah yang membuat penerima pesan menetapkan penyampai pesan sebagai calon pemimpin pilihan mereka. (ast)
Ujaran dalam pidato yang disampaikan figur publik ada yang memang disengaja, ada yang tidak disengaja, dan ada juga yang salah dipahami oleh pendengar/orang-orang yang mendengarkan pidato tersebut.
Kalau dalam kasus mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), pidato yang diucapkan beliau di pulau Seribu itu salah dipahami. Apa yang dipikirkan Ahok saat menyampaikan pidato disalahpahami oleh sejumlah orang/kelompok.
Kalau untuk kasus Victor Laiskodat, itu kemungkinan ada unsur kesengajaan. Ada unsur yang sudah diplot di dalam fikiran Victor, lalu diucapkan dalam pidatonya. Menurut saya hal yang sama juga terjadi dalam kasus Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat menyampaikan pidato pertamanya usai pelantikan.
Jadi untuk pidato yang disengaja, ada diksi-diksi tertentu yang mereka pilih dalam rangka menaikan popularitas mereka. Sekarang ini kan memang era populis, semakin populer orang itu, semakin besar juga peluang dia untuk dicalonkan kembali atau mendapat dukungan politik. Ini terjadi terutama di tahun-tahun politik, jelang pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pemilihan presiden (pilpres).
Popularitas yang ingin mereka dapatkan itu tidak menyeluruh atau pada kelompok-kelompok tertentu saja. Oleh sebab itu munculah kalimat-kalimat "pribumi", kalimat-kalimat yang seolah-olah mendukung aspirasi umat Islam, padahal saat ini tidak ada lagi yang mempermasalahkan hubungan antara umat Islam dengan negara.
Pemilihan kata-kata dalam pidato yang sengaja dibuat memiliki pesan hanya kepada kelompok-kelompok tertentu. Tidak dibuat secara umum, karena kalau dibuat meluas atau umum mereka tidak akan mendapatkan dukungan dari kelompok-kelompok tertentu tadi. (ast)
Terdapat perbedaan antara apa yang telah dilakukan Basuki Tjahja Purnama, Gatot Nurmantyo, dan Anies Baswedan. Basuki keseleo lidah waktu pidato di Kepulauan Seribu. Pidato-pidato Gatot bisa menimbulkan kesan ia berseberangan dengan pemerintah. Sedangkan pidato ngawur Anies tentang pribumi bertujuan untuk mendapatkan perhatian dari basis-basis suara muslim kelas menengah dan bawah.
Persamaan, ketiganya mengucapkannya ketika menjadi pejabat publik. Pejabat publik sebaiknya jangan keseleo lidah soal agama. Jangan berseberangan dengan pemerintah, dan jangan mencari simpati lewat agama. Pendek kata, pejabat publik seyogyanya harus menjaga mulut.
Mungkin saja ada pesan rahasia yang ingin disampaikan ketiga pejabat publik tersebut. Ketika kata-kata diucapkan di hadapan pers, memang tidak ada lagi rahasia. Semua kasat mata. Mereka sekadar memanfaatkan ruang publik untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Ini hal yang wajar dalam politik. Apakah cara itu berhasil atau gagal, itu soal lain.
Ruang publik akan semakin dihebohkan dengan pernyataan-pernyataan kontroversial menjelang setahun pilkada serentak 2018 dan pileg-pilpres 2019. Tak pelak lagi, kampanye 2018 dan 2019 akan diwarnai berbagai pernyataan yang tak mustahil bisa dianggap mengandung ujaran kebencian. (ast)
Dalam menganalisis pidato yang dilontarkan sejumlah figur publik kita bisa menggunakan teori interaksi simbolik George H Maid. Pada prinsipnya simbol tidaklah independen/bebas. Dia akan terkait dengan kondisi lain. Meskipun berdasarkan teori Maid, ada mind/meaning dan self yang berkaitan dengan perilaku seseorang dan masyarakat atau berkaitan dengan interaksi seseorang. Menurut Sheanon and Weaver, sumber asal sebuah simbol juga harus diperhatikan sehingga tidak salah dalam penafsirannya, baik sebagai sumber atau individu sebagai sumber.
Terkait dengan pidato yang diutarakan, ada dua pemahaman yang harus dimengerti sebagai sebuah penyamaan atau sebagai sebuah perintah tindakan. Kalau popularitas terlalu kecil, saya rasa sebagai sebuah penyamaan akan menimbulkan popularitas di antara mereka yang menyepakatinya. Lebih parah jika dianggap sebagai sebuah perintah, yang kemudian menjadi tindakan. Ini akan menjadi momentum sebuah pergerakan. Di sini tergantung sumber memakai momentum tersebut.
Sebagai contoh kata “selesaikan”. Kalau seorang presiden yang menyampaikan kata ini, bisa berarti win win solution. Namun bisa juga berarti perintah untuk menghancurkan. Ini tergantung ingin memperoleh kesamaan yang mana. Contoh lain lagi adalah kata “radikalisme”, bisa berarti positif atau negatif.
Tergantung presiden mau menggunakan penyamaan agar tindakan. Kalau baru sampai penyamaan artinya dilakukan untuk menggalang kelompok yang sama dengan dirinya, untuk itu dibutuhkan tindakan momentun selanjutnya
Setahu saya istilah pribumi itu lebih santer digunakan sebagai simbol di zaman Orba, namun diperlukan pendalaman sejarah lagi untuk mengetahui kebenaran penggunaan kata “pribumi”. Kalau zaman Belanda istilah yang digunakan adalah inlander, menurut Pasal 163 Indische Staatsregeling (IS). Kemudian pada 1998 istilah itu dihapus lewat Inpres Nomor 26 Tahun 1998.
Bahaya kalau simbol yang disampaikan lewat kata-kata itu ditangkap sebagai meaning-nya Prabowo, sosok di belakang Anies. Prabowo akan kehilangan popularitasnya jelang Pilpres 2019 di kelompok yang tidak suka dengan simbol/istilah itu. (ast)