Penyitaan buku “kiri” akhir-akhir ini, menjadi ironi dan narasi tak nyambung antara elite dan aparat negara. Mengapa demikian, setidaknya dapat didasarkan pada dua alasan. Pertama, preambule atau pembukaan UUD 1945, spiritnya ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam rangka mencapai tujuan itu, maka tersedianya bacaan menjadi niscaya. Karena itu, dengan adanya penyitaan buku sama halnya merampas instrumen pencerdasan sebagaimana yang diharapkan oleh konstitusi.
Kedua, jika melihat laku elite, yaitu Presiden, justru sering membagi-bagikan buku gratis. Artinya, sang Presiden ingin membangun simbol pencerdasan. Namun dengan adanya penyitaan, maka simbol itu tak mampu dibaca secara cerdas oleh aparat. Perampasan buku sama halnya membangun simbol pembodohan, sehingga justru mengkerdilkan simbol yang dibangun oleh Presiden tersebut. Alasan menggangu ketertiban, patut diuji terlebih diuji melalui peradilan. Karena itu, tindakan main hakim sendiri, menjadikan negara seperti autopilot.
Buku sebagai karya ilmu pengetahuan, ibaratnya sebagai nutrisi guna menambah ilmu. Oleh karena itu, perampasan tersebut, jelas melanggar hak setiap orang untuk mendapatkan ilmu pengetahuan tersebut demi kesejahteraannya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28C ayat (1) UUD 1945.
Sekalipun jika dianggap mengganggu kepentingan umum, tentu terlalu dini membuat kesimpulan demikian. Untuk mengkategorikan telah mengoyak kepentingan umum, perlu dibuat paramater ketat sebagai berikut: 1) kericuhan yang massif dari hadirnya buku. Jika hadirnya buku tak menimbulkan kerusuhan publik yang luar biasa, maka tak layak dijadikan alasan telah mengganggu kepentingan umum; 2) tersebarnya ideologi dalam buku secara sistematis. Jika ideologi yang dinarasikan tak mampu mengubah ideologi publik secara masal, maka artinya buku itu tak memiliki dampak. Oleh karena itu, menggolongkannya sebagai pemicu keributan publik tak lagi relevan. (mry)
Soal razia buku-buku yang dikategorikan berisi ajaran atau paham Marxisme/komunisme sudah berulang kali dan nampaknya akan terus berulang.
Pertama, wacana anti-kiri dan anti-komunisme selalu menjadi komoditas politik, mencari perhatian, dan pertunjukan pendek pikiran. Hal ini sering muncul musiman pada bulan antara Agustus-Oktober bertepatan dengan momentum perayaan HUT Kemerdekaan RI dan peringatan Hari Kesaktian Pancasila.
Kedua, pihak atau kelompok yang melakukan razia sesungguhnya itu-itu saja. Dan yang pasti, mereka tak ada satupun pernah membaca isinya. Maka tak aneh jika buku yang bahkan mengkritik Marxisme pun turut dirazia.
Kenapa saya katakan akan terus ada peristiwa semacam itu? Isu komunisme bangkit terus digembar-gemborkan oleh pihak/kelompok itu-itu juga. Jadi menurut saya, razia yang mereka lakukan tak lebih sekadar cari perhatian dan menampakan kekerdilan pikirnya. Apa salah buku sehingga ditakuti?
Semua tindakan tersebut mulanya memang dimulai dari negara yang melarang dan kemudian membiarkan tindakan jahiliyah semacam itu.
Apalagi, di masa di mana membaca buku pengetahuan merupakan kegiatan istimewa di mana orang lebih suka membaca posting-an media sosial seperti sekarang ini, maka isu razia buku akan mungkin terus terjadi tiap tahun, oleh pelaku dan alasan yang itu-itu juga. (mry)
Belum usai kita mendengarkan terjadinya penyerangan dan pembubaran acara kebudayaan di beberapa kota yang dituduh disusupin ajaran komunis, kembali kita dikejutkan berita terjadinya razia buku "kiri" yang dilakukan oleh kelompok yang mengatasnamakan Brigade Muslim Indonesia (BMI).
Dalam razia itu BMI melakukan penyisiran buku-buku yang berbau komunis di Gramedia, Makasar, Sabtu, 3 Agustus 2019. Ikut terjaring razia buku karangan pakar filsafat Indonesia Franz Magnis Soeseno seperti "Pemikiran Karl Marx" dan "Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme" yang menjadi referensi bagi ilmuwan politik dan filsafat. Jelas ini tindakan sewenang-wenang dan bertentangan dengan konstitusi yang menjamin kebebasan berpikir dan berekspresi bagi tiap Warga Negara Indonesia.
Razia tersebut merupakan wujud masih banyaknya elite politik yang masih traumatik akibat terjadinya peristiwa G.30 S/PKI tahun 1965 atau jatuhnya rezim Orde Baru dengan melahirkan era reformasi yang sebagian menganggap mengalami kegagalan. Elite-elite inilah yang ikut memanaskan suasana dan mendorong munculnya peringatan akan bahaya bangkitnya komunisme. Traumatik semacam ini kadang-kadang cukup beralasan namun jangan berlebihan. Kambuhnya beberapa isu politik seperti "bahaya komunisme" hanya sebagai peringatan (early warning) bagi rakyat dan bukan komoditas politik elite.
Gerakan anti-komunisme awalnya merupakan grand strategi Amerika Serikat dan sekutu untuk membendung perluasan pengaruh Uni Soviet dalam perang dingin pasca Perang Dunia 2. Dasar politik pembendungan yang kemudian dikenal dengan Containment Policy bahwa komunisme akan tumbuh jika sebuah negara dalam keadaan miskin dan melarat. Inilah yang digunakan oleh Amerika Serikat dan sekutu untuk membantu negara-negara berkembang melalui bantuan luar negeri agar tidak jatuh ke tangan Uni Soviet yang notabene adalah komunis.
Oleh sebab itu, sikap anti-komunis tidak sepenuhnya disalahkan selama negara belum dapat memenuhi hak rakyat tentang keadilan dan kesejahteraan.
Walaupun Uni Soviet bubar akibat revolusi Gorbachev 1985 yan menggunakan slogan glasnost, prestroika dan demokratizasiya sudah usai, namun bagi negara berkembang yang ekonominya belum maju dan berkembang maka isu komunis masih tetap langgeng dan selalu tetap digunakan elite untuk melakukan kampanye hitam menjatuhkan pihak lawan.
Menunggu satu generasi untuk menghilangkan traumatik elite. Inilah salah satu alasan kenapa TAP MPRS XXV/1966 tentang pembubaran PKI tetap bertahan. Bagi generasi ini momok komunis yang membantai jutaan manusia Indonesia masih tetap membekas dalam jiwa raganya. Faktor psikologis inilah yang paling sulit dihilangkan sehingga isu bahaya komunis tetap menjadi hantu bergentayangan.
Oleh sebab itu, walaupun bahaya komunis menjadi traumatik elite, namun tindakan razia buku "kiri" tetap sarat muatan politis karena terbitnya buku "kiri" ada dasar hukumnya. Putusan MK nomor 20/PPU-VIII/2010 yang membolehkan buku-buku kiri boleh dipelajari sepanjang tujuannya sebatas wacana akademik.
Dengan adanya putusan MK tersebut, menjadi proteksi bagi penerbit dari tindakan semena-mena pihak tertentu termasuk aparat penegak hukum yang melakukan penyitaan. Penyitaan buku kiri bisa dilakukan namun harus melalui proses pengadilan.
Mudah-mudahan penyitaan ini tidak terus berlangsung dan penerbit dalam mengeluarkan buku "kiri" tetap menjaga reputasinya sebagai penerbit yang andal. Namun di tengah kebebasan berpikir dan kebebasan berekspresi, penerbit yang mengeluarkan buku "kiri" tetap harus menjaga perasaan psikologis elite politik yang masih traumatik terhadap sikap dan perilaku komunis di Indonesia.
Dengan maraknya pembangunan yang digalakkan pemerintah, isu bahaya komunisme semakin berkurang karena sumber komunis yaitu kemiskinan dan kemelaratan juga ikut hilang. (mry)