Pergeseran alokasi anggaran di APBD yang mengikuti Surat Edaran Kemendagri No.309/3887/SJ akan mengganggu proses pembangunan di daerah, karena akan ada alokasi APBD lain yang kemudian di korbankan.
Dalam Surat Edaran Kemendagri, THR dan gaji ke-13 bisa menggeser alokasi anggaran tak terduga, tapi kemendagri perlu mengingat bahwa saat ini tahun anggaran masih berada pada pertengahan jalan, pemerintah daerah masih membutuhkan dana besar untuk terus menjalankan program dan kinerja mereka.
Apa yang akan terjadi ketika alokasi APBD tak terduga dibutuhkan untuk pembangunan dan kebutuhan daerah, akan tetapi anggaran tersebut sudah tidak ada karena digunakan untuk THR dan gaji ke-13. Dalam konteks ini, surat Kemendagri akan membahayakan anggaran daerah. Artinya, kinerja pemerintah akan menjadi negatif, dan berimbas pada kerugian daerah dan dapat menghasilkan hutang di priode mendatang.
Disisi lain, surat edaran tersebut, Mendagri seperti memerintahkan kepala daerah untuk berhutang seperti yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Maka, kemendagri mestinya memahami pola kerja APBD yang sudah ada seharusnya dilaksanakan seperti apa yang sudah direncanakan sesuai Rencana Kerja Anggaran (RKA) di tahun anggaran yang berjalan. Kemendagri tidak boleh mengganggu anggaran daerah tersebut, karena akan berdampak sistemik.
Kemendagri tidak layak apabila kemudian mengeluarkan surat edaran tersebut sebagai bentuk melempar kesalahan kebijakan pemerintah yang sudah kadung memberikan THR dan gaji ke-13 di lingkungan pusat, kemudian meminta daerah untuk melakukan hal yang sama, tapi kemendagri menabrak aturan yang sudah ada, mengingat APBD yang sah tertuang dalam peraturan daerah yang berlaku.(cmk)
Pemberian THR dan gaji ke-13 untuk para PNS, TNI/Polri, dan pejabat negara serta pensiunan memang merupakan berkah tersendiri. Namun, bagaimana dampaknya terhadap postur anggaran belanja negara?
Kalau hanya menelisik dari sudut anggaran semata, bisa dikatakan ini merupakan pemborosan. Tetapi menelisik yang jauh lebih luas, bahwa anggaran harus dapat mendorong potensi ekonomi terus bergerak. Nah, di sinilah pemberian THR dan gaji ke-13 saat hari raya yang begitu tinggi dapat menggerakkan ekonomi di tingkat masyarakat.
Maka menelisik kebijakan tersebut haruslah dalam kacamata yang lebih besar dan multi effect. Dalam arti bukan sekedar menjaga stabilitas keuangan maupun pengetatan anggaran semata. Hanya saja kebijakan tersebut jangan sampai membuka peluang kepala daerah melanggar aturan. Oleh sebab itu aturan yang mengatur hal tersebut harus jelas dan tegas. Karena, dalam sisi norma maupun prinsip administrasi publik, kebijakan pemberian THR dan gaji ke-13 harus diatur dengan peraturan dan perundangan yang jelas dan tegas sebagai payung hukum.
Adapun langkah pemerintah melakukan pengetatan anggaran negara merupakan suatu kebijakan yang harus lebih luas. Sebaiknya langkah tersebut bisa diambil dari kesadaran dan kerelaan para pejabat negara, yaitu dengan memotong anggaran operasional bahkan gaji para pejabat tersebut yang sangat besar. Di satu sisi lagi, pemerintah pun mempunyai kewajiban mensejahterakan aparaturnya yang akan berdampak pada perputaran ekonomi masyarakat. (ast)
Kebijakan pemerintah memberikan THR dan cuti bersama yang panjang untuk PNS dan para pensiunan adalah kebijakan baru bagi pemerintahan Jokowi untuk menghibur masyarakat yang sedang dilanda kesulitan ekonomi mereka. Sebelumnya, THR sudah diberikan sejak tahun 2016 kepada para aparatur sipil negara alias PNS.
"Saya berharap bahwa pemberian THR dan gaji ke-13 ini bermanfaat bagi kesejahteraan mereka utamanya dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri," kata Presiden Joko Widodo melalui akun resminya, 23 Mei 2018.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 18 dan 19 tahun 2018, penerima THR dan gaji ke-13 antara lain: PNS, prajurit TNI dan anggota Kepolisian, pejabat, termasuk Presiden dan Wakil Presiden, anggota MPR, DPR, DPD, menteri dan pejabat setingkat menteri, Gubernur, Walikota, Bupati dan wakilnya.
Mereka yang baru menerima THR tahun ini antara lain terdiri atas: pensiunan PNS, TNI, Polri dan pejabat negara. Para veteran sampai janda veteran, anak yatim TNI/POLRI juga mendapatkan THR. Menurut Badan Pusat Statistik, jumlah PNS pusat dan daerah per Desember 2016 adalah 4,4 juta.
Pembayaran gaji ke-13 dan THR tahun 2018 diharapkan dapat menyumbang sektor riil dan ekonomi Indonesia. Kebijakan pemerintah memberikan THR bersamaan sebagai strategi mendorong belanja masyarakat.
Kekhawatir dengan kondisi ekonomi di tahun politik, pelemahan kurs rupiah, dan ekspektasi kenaikan harga energi bagi masyarakat kelas menengah akirnya cendrung menyimpan uangnya sebagai cadangan terakhirnya buat survive.
Persoalnya yang menerima THR bukan saja PNS dan pensiunan, tetapi sektor swasta juga mengharapkan hal yang sama. Di tengah sulitnya perekonomian dan ketatnya proyek pekerjaan membuat pengusaha makin pusing. Tuntutan mendapatkan proyek yang sekarang terkesan diserobot dan disapu bersih oleh pihak BUMN membuat pihak swasta cuma mengali remah remah yang tersisa. Dipersulit tuntutan karyawan dan buruh atas THR dan gaji ke-13 membuat pengusaha menkerutkan dahinya kembali, terlebih algi di bulan Juni 2018 ini cuti bersama yang panjang membuat kinerja perusahaan makin kempis
Hal ini ambigu kalo kita melihat kebijakan Kementerian Keuangan untuk membiayai APBN 2018. Terdapat tiga strategi fiskal pada tahun 2018 untuk mencapai besarnya belanja negara yaitu :
1 .Optimalisasi pendapatan negara dengan tetap menjaga iklim investasi;
2 .Efisiensi belanja dan peningkatan belanja produktif untuk mendukung program prioritas;
3 .Mendorong pembiayaan yang efisien, inovatif, dan berkelanjutan
Artinya bila kita melihat kebijakan THR dan Cuti bersama yang panjang sangat bertentangan dengan strategi yang diambil oleh pemerintah
Pertanyaan kita apakah kebijakan Jokowi, yang dilihat sebagian orang sebagai kebijakan populis, akan memiliki dampak baik buat pemerintah atau membuat ketidak percayaan publik akan semakin turun dengan semakin melemahnya perekonomian negara dan semakin sulitnya perekonomian rakyat. Arus pusaran di tahun tahun politik ini menambah seru perpolitikan di negeri ini.
Apakah rakyat menikmati atas pertarungan ini, atau atas nama rakyat mereka melakukan kebijakan yang seolah-olah membantu masyarakat tapi pada kenyataan masyarakat yang sudah susah ditambah susah oleh kondisi yang ada. Jangan sampai terjadi yang namanya State Capitalism. (cmk)
Tidak bisa dipungkiri sempitnya ruang fiskal APBN 2018 begitu sempit. Penerimaan pajak selalu di bawah target (shorfall ), defisit fiskal dan utang terus membengkak, bahkan sudah masuk pada defisit keseimbangan primer (utang baru untuk melunasi bunga utang lama). Artinya ruang gerak fiskal memang benar-benar terbatas. Sementara pemerintah sedang menggenjot pembangunan infrastruktur untuk memfasilitasi kegiatan ekonomi demi kesejahteraan umum.
Sebagai pensiunan tentu saja akan senang mendapatkan uang ekstra yang diperlukan untuk bagi- bagi THR. Akan tetapi kita juga menyadari betapa sulitnya non-PNS yang harus menambah beban hidup merayakan kemenangan dalam beribadah puasa. Pertimbangan positif terhadap THR dan gaji 13 bisa menambah peredaran uang dengan harapan dapat merambah golongan ekonomi lemah terutama pedagang kecil dan petani????
Apa yang merisaukan adalah instruksi Mendagri kepada kepala daerah untuk mengalokasikan ekstra anggaran tanpa perencanaan. Instruksi itu bagaikan buah si malakama dan bisa berakibat seperti kasus “Damkar” yang akhirnya menyeret menterinya. Perlu dipikirkan masak-masak kalau memang tidak ada dananya. (cmk)
politiskah pemberian THR dn gaji ke-13 di tahun politik ini? Barangkali itulah pertanyaan besarnya dari masyarakat dan warganet di twitter saat ini.
Kebijakan pemerintah untuk memberikan THR dan gaji ke-13 dengan argumen untuk meningkatkan daya beli dan pertumbuhan ekonomi nasional mungkin saja sudah melalui kajian-kajian yang komprehensif dari penentu kebijakan baik di eksekutif maupun legislatif. Dan sebagian dari masyarakat Indonesia dapat menerimanya. Namun mungkin juag ada pandangan-padangan lain dari sebahagian masyarakat yang menilai bahwa kebijakan ini syarat dengan kepentingan politis sesaat, mengingat terjadi di tahun politik yaitu pilkada serentak pileg dan pilpres.
Hal seperti ini bisa juga akan menjadi pintu masuk bagi oposisi untuk melakukan nanuver dan serangan-serangan yang dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Karena memang kurang populer dan menimbulkan pro kontra di masyarakat.
Alasan dari ibu Sri Mulyani, selaku Menteri Keuangan, bahwa kebijakan ini akan mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional bisa-bisa saja asalkan mekanisme dan pengawasanya benar-benar dilaksanakan, agar target dapat terealisasi dengan baik.
THR dn gaji ke 13 yang akan segera direalisasikan ini setidaknya juga harus mendapat pengawalan yang ketat dari pihak-pihak yang berkompeten seperti KPK dan lembaga-lembaga lainya agar kebijakan yang akan dilaksanakan di daerah tidak menabrak aturan-aturan yang ada. Sehingga kepala-kepala daerah dapat terhindar dari jerat hukum yang saat ini lagi gencar-gencarnya dilakukan oleh KPK. Dan tidak terjebak pada kebijakan ini. Apalagi sudah sebegitu banyaknya kepala-kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi .
Semoga saja semua pihak dapat memahami dan memaklumi kebijakan ini, sehingga pemerintah dapat melaksanakan tugasnya di sisa pemerintahanya. Dan jangan sekali-sekali digunakan untuk melakukan serangan-serangan politis karena apapun yang dikerjakan oleh pihak pemerintah saat ini pasti sudah dipertimbangkan dengan matang untuk kepentingan nasional. Sebaiknya mari kita berfikiran positif dan percayakan semuanya kepada pemerintah. (cmk)
Semula masyarakat khusus PNS, TNI, dan Polri, apalagi pensiunan menyambut gembira dengan adanya THR dan gaji ke-13 yang diberikan pemerintah. Apalagi disaat harga-harga barang melambung melampaui daya beli masyarakat. Bagi mereka mungkin tidak mau tahu dari mana anggaran itu diadakan, yang mereka tahu adalah dari pemerintah.
Yang jadi krusial adalah Peraturan Pemerintah tentang THR dan Gaji ke-13 No 19 Tahun 2016 yang teriliminer dengan Peraturan Pemerintah No 18 tahun 2018. Dalam keputusan dimana pemberian bagi THR dan gaji ke-13 dibebankan ke Pemda. Pada titik ini Pemda semakin bingung karena DPRD tidak pernah mengesahkan anggaran untuk gaji ke-13 dan THR.
Betul seperti kata Menkeu Sri Mulyani, pemerintah sudah menganggarkan gaji ke 13 dan THR. Tetapi yang dipertanyakan, apakah ada mata anggarannya di Pemda?
Kalau mata anggarannya tidak tersedia, lalu dari pos anggaran mana Pemda akan mengambilnya? Ini akan menjadi masalah bagi Pemda. Apa lagi dengan situasi pengetatan anggaran dan seringnya terjadi penyalahgunanan anggaran dan berakibat terjadi masalah dengan KPK. Pertanyaanya, apakah seorang kepala daerah berani melakukan penggunaan anggaran untuk THR dan gaji ke-13 dari pos anggaran lain? (cmk)
Saya mencermati ada beberapa hal terkait Perpres THR dan Gaji ke 13 bagi PNS, TNI-Polri, kepala daerah, anggota DPR/DPRD, serta para pensiunan yang sedang menjadi polemik saat ini, yakni etika, situasi, politik anggaran dan peruntukan, serta jebakan korupsi.
Dalam menentukan suatu kebijakan, hendaknya penyelenggara negara (pemerintah) juga mempertimbangkan situasi yang sedang dialami. Dengan demikian ada etika yang harusnya menjadi dasar pemikiran atau landasan pengambilan kebijakan.
Layak dipertanyakan di sini, dalam konteks negara yang sedang defisit keuangan dan utang negara menumpuk, patutkah anggaran yang ada diperuntukkan bagi sesuatu yang sifatnya ekstra atau bonus? Perlu diingat, gaji ke-13 dan THR bukan gaji bulanan yang wajib dibayarkan karena seseorang melakukan pekerjaan rutinnya per bulan. THR dan gaji ke-13 tersebut sifatnya adalah ekstra.
Terkait hal di atas, jika pemerintahan sekarang diasumsikan memiliki sensitivitas yang tepat terhadap kondisi keuangan negara, ini seharusnya tercermin dalam politik anggaran, termasuk alokasi ke hal hal mana yang dipandang lebih perlu dan urgent. Misal, mengalokasikan pada pembayaran bunga utang atau program pengentasan kemiskinan. Dua hal yang saat ini masih melilit bangsa.
Dalam aspek hukum, pakar tata negara Margarito Kamis mengatakan bahwa pergeseran anggaran yang dinyatakan oleh kemendagri melalui surat edaran itu menyalahi aturan undang-undang tentang anggaran negara dan daerah. Tidak bisa anggaran yang sudah dialokasikan untuk suatu program digeser untuk pembayaran THR dan Gaji ke 13 ini. Apalagi ada tunjangan2 di dalamnya diluar gaji pokok yang memang dianggarkan dlm APBN dan APBD. Bisa masuk penjara berjamaah nanti para kepala daerah. Hal senada dilontarkan oleh Ryaas Rasid pakar otonomi daerah.
Upaya para pakar dan publik mengingatkan pemerintah ini nampaknya lagi lagi akan menjadi angin lalu saja. Hingga akhirnya muncul anggapan bahwa Perpres ini dilahirkan sebagai upaya pemerintah untuk mendapatkan dukungan dan pencitraan di tahun politik jelang Pemilu dan Pilpres 2019. Dimana Presiden Jokowi akan maju kembali dalam bursa capres dengan dukungan dari PDIP, Nasdem, Golkar, PKB, Hanura, dan PPP. (cmk)
Saya tidak membahas tentang legalitas yang dilakukan pemerintah. Pro dan kontra sama-sama mempunyai pijakan hukumnya. Ini mungkin sangat menarik apabila dilihat dari sisi politik.
Administrasi pemerintah sebenarnya mempunyai kepentingan politik yang bertujuan untuk kemaslahatan bangsa. Sehingga hal yang wajar apabila regulasi menjadi bagian suatu kepentingan suatu kelompok tertentu, yang punya niat selain untuk kelompok, juga masyarakat lebih luas.
Contoh kasus Bank Century pada zaman SBY. Secara administrasi, peraturan tersebut tiddk masalah. Bahkan mempunyai semangat positif untuk menyelamatkan per-bank-kan dari dampak krisis moneter.
Namun dari sisi ydmg lain,ada potensi merugikan para nasabah. Dari sini kemudian persoalan muncul. Maka kita bisa melihat, bahwa persoalan Bank Century selalu muncul dan tenggelam saat ada kepentingan politik.
Persoalan THR, sebenarnya sudut pandang berbeda dalam memahami administrasi pemerintahan. Pada saat tidak mencapai titik temu, maka persoalan terus menjadi konsumsi politik. Dan kekuatan pemerintah menjadi penentu, apakah THR menjadi kebijakan yang menguntungkan pemerinta atau justru sebaliknya. (cmk)