Gejala elite berdamai sedangkan pendukungnya memanas itu gejala yang lumrah. Kelompok elite itu cukup makan, cukup tidur dan gajinya cukup, jadi mereka santai-santai saja. Tetapi, rakyatnya hidup serba kekurangan, dari hari ke hari mencari sesuap nasi. Kondisi ini bisa jadi membuat rakyat mudah terpancing emosinya.
Selain itu masih ada elite kita yang sifatnya kekanak-kanakan. Mereka tidak berfikir panjang bagaimana persatuan dan kesatuan bangsanya. Dalam pikiran para elite itu hanyalah bagaimana cara untuk mengerahkan massa untuk memenangkan persaingan dalam kopetisi politik perebutan kekuasaan. Ini adalah gejala yang hampir dialami seluruh elite di dunia.
Kondisi kekurangan pangan, kekurangan kesempatan, kekurangan waktu dan sebagainya, maka orang semakin sensitif untuk berebut rejeki, peluang atau kesempatan. Ditambah lagi terbuka kemungkinan untuk melanggar aturan-aturan yang ada dalam persaingan. Akibatnya persaingan yang demikian luas, berlangsung tidak adil/fair.
Situasi tidak fair ini kemudian digunakan juga pada persaingan antar elite. Mereka menggunakan simbol-simbol ikatan primordial untuk memancing masa. Salah satu ikatan primordial yang kuat adalah agama. Jadi akhirnya, agama bukan diikuti sebagai ajaran, tapi sekadar simbol bahwa mereka satu kelompok. Nama tuhan dijaul untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu, yang sejatinya jauh dari ajaran agama itu sendiri.
Kembali lagi, sensitifitas atau emosi yang melarat, miskin dan lapar, dengan mudah dipanasi/dibakar dan merekalah yang bergerak. Tidak peduli apakah mereka mendukung atau menolak kandidat tertentu, semua terpancing emosinya dengan. Para elite tertentu memanfatkan emosi rakyat yang lapar, serba kekurangan serta susah itu, dengan janji-janji surge. Itulah yang sekarang terjadi
Untuk kepentingan politik sesaat para elite memanfaatkan kondisi rakyat yang ada. Jadi tidak berfikir panjang, yang penting it’s now or never. Tapi mereka tidak berfikir lebih jauh lagi. Sekarang tinggal keras-kerasan mengongong. Orang Jawa bilang, “asuh gede menang kerahe” (anjing besar menang berkelahinya. Besar-besaran gongonggnya.
Di kalangan elite. rangkul-rangkulan, makan bersama, guyonan, itu hal yang biasa. Tapi begitu mereka di hadapan rakyat, mereka terus berkelahi. Seolah memelihara konflik, hal ini sangat disayangkan. (ast)
Apa yang dilakukan Jokowi dan Prabowo mengikuti keinginan Hanifan untuk berangkulan memang sebuah pencitraan. Tidak mungkin dalam situasi seperti itu kedua capres menunjukan sikap konfrontasi dan menolak diajak berangkulan. Artinya dengan bersikap seperti itu, keduanya menunjukan sikap sportivitas, juga ingin menunjukan sikap kenegarawanan.
Namun di sisi lain, keduanya punya basis massa yang loyal, dan itu juga harus diaga. Jika dibikin kendor, tidak akan ada lagi loyalis dari keduanya. Artinya jika kita bicara mengenai simbol-simbol tadi, sederhana saja, itu sekadar penguatan citra diri.
Jika kita kita merujuk pada teori interaksi simbolik, ada mind (pikiran), self (diri) dan society (masyarakat). Apa yang ada di kepala atau pikiran kita, kemudian terinternalisasi terhadap diri kita, selanjutnya terjabarkan di dalam lingkungan masyarakat.
Nah jika Prabowo yang berlatar militer, cenderung keras, mengerikan dan sebagainya, ketika rangkulan dia menunjukan diri sebagai seorang negarawan. Dia seorang yang punya kelembutam dan manusiawi, memberikan simbol bahwa dirinya layak menjadi pemimpin. Itu bisa tercermin hanya dengan sekadar berangkulan.
Artinya yang tindakan seperti itu bisa merubah masa lalu Prabowo yang cukup dramatik, masa lalu tersebut harus dihilangkan. Karena sekarang dia bersanding dengan Sandiaga Uno yang tidak punya track record masa lalu yang buruk. Nah, ini harus diimbangi dengan nuansa seperti itu. Ini adalah langkah yang baik, serta memberikan kesan seolah dia kuat.
Setelah itu, isu-isu yang belakangan muncul bisa saja digunakan untuk penguatan. Juga memainkan isu adalah sebagai penguatan identitas diri. Artinya ketika ada isu yang kuta bisa dimainkan, ini akan menjadi penguatan identias diri. Sebagai contoh, sekarang isu naiknya dolar. Isu itu kan semakin menguatkan terhadap identitas Jokowi. Apakah dia masih layak untuk menjabat lagi atau tidak. Tidak heran kalau isu seperti itu tetap dimainkan. Ini berarti simbol itu digunakan sebagai penguatan. (ast)