Sejak awal PKPU Nomor 20 Tahun 2018 memang “kontroversial”, karena ada larangan mantan napi korupsi mencalonkan diri jadi caleg--yang menurut sebagian pihak menghambat hak konstitusional warga negara. Sementara sebagian pihak yang lain mengatakan bahwa aturan tersebut untuk menjamin eks koruptor tidak terlibat dalam kontestasi politik.
Dari sisi niat baik, kita perlu mengapresiasi niat KPU melarang mantan napi korupsi nyaleg. Hanya saja memang putusan Mahkamah Konstitusi dan UU Pemilu tidak memberikan legitimasi yang kuat bagi KPU untuk mengatur larangan tersebut. Dari kondisi itu, kemudian KPU “mengalah” dengan menghilangkan persyaratan surat pernyataan tidak pernah terpidana dalam kasus korupsi bagi caleg. Tapi PKPU tersebut ada ketentuan baru, yaitu dengan mewajibkan kepada parpol untuk tidak menyertakan eks napi korupsi dalam pencalegan. Jadi, apa yang terjadi saat ini soal eks koruptor nyaleg sudah diprediksi sejak awal karena memang PKPU-nya cukup “kontroversial”.
Soal Bawaslu meloloskan mantan napi korupsi nyaleg, bisa saja Bawaslu mengatakan bahwa PKPU Nomor 20 Tahun 2018 nyata-nyata “bermasalah” karena ada yang mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung. Akhirnya karena dianggap bermasalah, maka Bawaslu kemudian mengesampingkan PKPU tersebut dan lebih memilih berpedoman kepada UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Tapi tafsir yang kedua, PKPU Nomor 20 Tahun 2018 merupakan produk hukum yang sejauh ini masih status kuo, di mana larangan eks koruptor nyaleg itu masih belum dibatalkan oleh Mahkamah Agung dalam proses pengujian peraturan perundang-undangan. Artinya, larangan tersebut masih tetap berlaku. Sehingga, Bawaslu mestinya bisa patuh terhadap PKPU tersebut.
Meski begitu, menariknya seringkali peraturan yang dikeluarkan oleh sebuah lembaga negara punya dua dimensi. Ada dimensi yang mengikat ke luar, tapi ada dimensi yang mengikat ke dalam. Dalam hal PKPU Nomor 20 Tahun 2018 misalnya, Bawaslu bisa saja mengatakan bahwa PKPU itu mengikat ke dalam (internal KPU), tidak mengikat ke luar. Tapi KPU tentu akan menganggap bahwa PKPU yang mereka buat dalam rangka untuk mengatur persyaratan pencalonan legislatif, maka aturan itu harus mengikat ke luar.
Nah, itu memang problem peraturan perundang-undangan. Peraturan lembaga--selain undang-undang, peraturan pemerintah, dan perda--itu memang masih menyisakan masalah, apakah mengikat ke dalam atau mengikat ke luar. Contoh lainnya, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA). Sebagian pihak mengatakan PERMA itu mengikat ke dalam karena aturannya dibuat oleh MA, hanya mengatur kerja-kerja internal di MA. Tapi ada juga yang mengatakan Perma itu mengikat ke luar, yaitu kepada pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan aturan tersebut.
Artinya, perbedaan pendapat antara KPU dan Bawaslu soal larangan eks koruptor nyaleg dalam PKPU Nomor 20 Tahun 2018 bisa jadi dipengaruhi dua tafsir di atas (apakah PKPU mengikat ke luar atau mengikat ke dalam).
Meski begitu, kalau saya lihat masing-masing lembaga (KPU dan Bawaslu) punya dasar argumentasi yang kuat. KPU membatasi mantan napi korupsi mencalonkan diri jadi anggota legislatif dalam rangka mewujudkan Indonesia bersih dari korupsi. Sementara Bawaslu bersikukuh mengapaikan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 dalam rangka melaksanakan undang-undang.
Namun poin yang ingin saya sampaikan, sebenarnya PKPU itu sudah mengatur bahwa parpol harus mengusung caleg yang bebas dari mantan koruptor. Kalau PKPU itu dilaksanakan dengan konsekuen, semangat untuk perbaikan, dan semangat mewujudkan Indonesia bersih dari korupsi, mestinya parpol dengan sukarela melaksanakan kewajiban untuk membuat pakta integritas dan tidak mencalonkan koruptor. Tapi sayangnya parpol seingkali abai, ada aturannya saja abai, apalagi kalau tidak ada aturannya.
Dengan demikian, problem mendasar polemik mantan napi korupsi nyaleg ini bukan perbedaan tafsir antara KPU dan Bawaslu, melainkan problem mendasarnya berada di kedewasaan partai politik untuk bersedia mencalonkan calon-calon yang betul-betul punya integritas. Sehingga polemik antara KPU dan Bawaslu menjadi “keuntungan” tersendiri bagi parpol. Karena mereka pasti merasa punya pendukung (Bawaslu), dan KPU gak bisa berjalan seenaknya karena putusan Bawaslu harus dilaksanakan oleh KPU (UU Pemilu). (mry)
Secara yuridis, sikap Bawaslu meloloskan caleg eks napikor atau menolak PKPU Nomor 20 Tahun 2018 beralasan dalam pengertian prosedural. Artinya, aturan itu (larangan eks koruptor nyaleg) harus setingkat undang-undang atau putusan pengadilan.
Tetapi secara sosiopolitis dan komitmen membuat demokrasi bersih melalui pemberantasan korupsi serta kepatuhan pada sistem, sikap Bawaslu sangat merugikan demokrasi dan upaya-upaya pemberantasan korupsi. Karena seharusnya kewenangan ajudikasi Bawaslu selalu mengacu pada peraturan materil pemilu, dalam hal ini PKPU termasuk PKPU Anti Eks Napikor. Bawaslu tidak taat asas, karena sesungguhnya Bawaslu bagian dari penyelenggara pemilu yang seharusnya mendukung PKPU tersebut.
Komitmen pemberantasan korupsi itu merupakan komitmen semua pihak: eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Oleh karena itu, seharusnya otoritas yang memiliki kewenangan untuk mendudukan PKPU tersebut selevel undang-undang sebagai tindakan untuk mewujudkan komitmennya. Presiden dengan kewenangannya harus membuat Perpu Pemilu dengan mengadopsi PKPU Nomor 20 Tahun 2018, sehingga substansi PKPU itu bisa dijalankan dengan baik oleh semua pihak. (mry)
Keputusan Bawaslu meloloskan caleg yang sebelumnya sudah dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) oleh KPU karena bertentangan dengan PKPU Nomor 20 tahun 2018, sangat memprihatinkan. Bawaslu berkilah bahwa keputusan mereka mengacu pada UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu di mana tak diatur soal larangan terhadap mantan napi korupsi.
Dengan alasan itu nampak sekali bagaimana kualitas serta integritas Bawaslu sebagai lembaga pengawas pemilu. Benar bahwa sebagai penyelenggara pemilu khusus untuk pengawasan mereka tak bisa tidak harus mengacu pada regulasi terkait. Kepastian hukum memang penting untuk menjamin keadilan proses penyelenggaraan pemilu.
Akan tetapi, hal itu tak lantas membuat Bawaslu bak robot atau mesin yang membaca aturan tanpa pertimbangan akal sehat dan juga moril. Bawaslu itu merupakan pengawas untuk menjamin kualitas dan integritas pemilu. Pertimbangan itu yang seharusnya membuat Bawaslu bisa lebih melampaui kepatuhan butanya pada regulasi kepemiluan.
Terkait larangan mantan napi koruptor yang kemudian diabaikan begitu saja oleh Bawaslu. Apakah mereka memang sengaja mengabaikan adanya PKPU yang menegaskan larangan tersebut? Apakah dengan mengabaikan PKPU tersebut, lalu aturan lain dari PKPU juga bisa diabaikan begitu saja oleh Bawaslu?
Kan aneh jadinya. Karena konsep pengawasan Bawaslu tak pernah bisa berdiri sendiri. Bawaslu melakukan pengawasan untuk proses yang dilakukan KPU termasuk pembuatan PKPU. Tanpa kepatuhan terhadap aturan PKPU yang resmi, maka sulit memahami bagaimana Bawaslu akan terus bisa bekerja sendiri melakukan pengawasan pada lembaga yang mereka abaikan fungsinya dalam pembuatan regulasi.
Lebih aneh lagi, Bawaslu itu sudah dilibatkan dalam koordinasi PKPU Nomor 20 Tahun 2018 ketika Pemerintah dan DPR berembug bersama untuk menyikapi PKPU tersebut. Oleh karena itu tak bisa tidak Bawaslu terlibat dalam proses pengesahan PKPU setelah dikonsultasikan ke DPR dan Pemerintah. Bawaslu terkesan justru ingin tampil bak pahlawan kesiangan untuk Para Koruptor. Mereka seolah-olah tak peduli pada PKPU yang resmi padahal mereka sudah diajak bermufakat dalam forum konsultasi bersama DPR dan Pemerintah.
Sikap-sikap Bawaslu tersebut menelanjangi sikap moral Bawaslu yang nampaknya tak lebih baik dari koruptor. Mereka bisa begitu saja merasa aman, damai dengan memberikan karpet merah bagi koruptor.
Sensitivitas Bawaslu selaku pengawas yang mestinya mempunyai pandangan yang tajam, tegas, dan jernih terhadap persoalan integritas atau etis sama sekali tak kelihatan melalui keputusan-keputusan mereka. Mereka justru menjadi lebih aman berkomplot dengan pihak-pihak yang rusak secara moral untuk menghancurkan integritas Pemilu. Lalu pengawasan macam apa yang bisa diharapkan dari lembaga seperti ini? Jika mereka bisa begitu saja berdamai dengan pihak yang harusnya merupakan perusak martabat pemilu, maka pastikan saja Pemilu ini akan berlangsung kacau karena pengawas dan yang diawasi akan begitu mudah bersekongkol dalam praktik kejahatan. (mry)
Putusan Bawaslu menjadi cermin bahwa dalam memahami ketatanegaraan belum seutuhnya pada koridor konstitusi. Sungguh pun dari segi substansi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 mengenai larangan eks napi koruptor nyaleg kurang tepat, karena pembatasan hak harusnya dituangkan dalam undang-undang. Namun dengan lolosnya PKPU tersebut dari "screening" Kemenkumham dan telah diundangkan, maka suka tidak suka harus dilaksanakan sampai adanya lembaga yudisial yang membatalkannya.
Di samping itu, putusan Bawaslu tersebut membuktikan dalam menyelenggarakan negara ini belum terbangun visi-misi yang sama. Alasannya, bahwa yang berhak menganulir regulasi di bawah undang-undang adalah Mahkamah Agung. Karenanya, dengan diloloskannya eks napi koruptor ikut nyaleg membuktikan Bawaslu mengangkangi aturan yang legal dan diakui oleh UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dari segi teori pun kian menjadi aneh, sebuah peraturan (regelling) tapi kemudian dibatalkan melalui sebuah keputusan (beshicking)--dengan meloloskan eks napi koruptor nyaleg. Padahal, antara keduanya memiliki "nyawa" yang berbeda. Oleh karena itu, sesungguhnya terlalu dini keputusan Bawaslu yang "menganggap" PKPU tidak sejalan dengan UU Pemilu.
Terlebih jika melihat ketentuan UU Pemilu tidak eksplisit disebutkan boleh tidaknya seorang eks napi koruptor untuk dapat nyaleg. Oleh karena itu, Bawaslu tidak boleh hanya berpijak pada dalih tidak disebutkannya secara tegas larangan eks napi koruptor untuk tidak nyaleg. Melainkan harus melihat juga ghirah (spirit) hadirnya UU Pemilu, yaitu untuk menumbuhkan demokrasi yang bersih dan beradab.
Alasan Bawaslu bahwa PKPU kontra dengan UU Pemilu, membuktikan hukum hanya dilihat secara tekstual alias dengan kacamata kuda. Padahal dalam terminologi bernegara modern yang berdasarkan atas hukum, seyogianya senantiasa menyandingkan antara teks dan konteks regulasi secara beriringan. Oleh karenanya, seandanya terdapat regulasi yang tidak eksplisit menyebut suatu larangan (seperti larangan eks koruptor nyaleg) namun semangatnya untuk mewujudkan tatanan bernegara yang baik dan sejalan dengan konstitusi, maka harus dijadikan pertimbangan. (mry)
Bawaslu tidak berwenang menilai apakah PKPU Nomor 20 Tahun 2018--yang melarang mantan napi korupsi nyaleg--itu bertentangan dengan undang-undang atau tidak. Itu bukan kewenangan Bawaslu, tetapi kewenangan Mahkamah Agung.
Dalam konteks ini, Bawaslu telah melakukan perbuatan melawan hukum dan dapat digugat oleh masyarakat melalui gugatan citizen law suit atau gugatan legal standing. Gugatan seperti dapat dilakukan di pengadilan negeri. Tindakan Bawaslu merupakan bagian terencana dalam melindungi kepentingan koruptor. Itu sebabnya, ini merupakan kesalahan yang luar biasa yang dilakukan Bawaslu. (mry)