Sumber Foto: google.co.id
17 January 2018 19:00Menurut saya politisi itu kata kuncinya adalah survival. Menjadi presiden tentu tugas utamanya harus survive, kalau sampai di-impeach, tentu tidak ada gunanya meskipun dia jadi malaikat yang "satunya kata dan perbuatan".
Indonesia ini paling lucu dan "dungu" sedunia. Sudah jelas orang bikin partai itu ya untuk berkuasa, termasuk jadi ketua umum partai. Kalau di sistem kabinet parlementer, maka otomatis ketua partai pemenang pemilu yang menguasai legislatif jadi perdana menteri, kemudian mengangkat menteri dari sesama partai dan koalisisi.
Kita ini mengaku presidensial tapi sebetulnya parlementer 100 persen. Karena presiden siapapun dia mulai dari Habibie, Gus Dur, Mega, SBY, dan sekarang Jokowi, harus memperhatikan keseimbangan kursi parlemen kalau tidak mau dijungkirkan oleh oposisi. Tapi kita ini unfail kuadrat; sebentar bilang berkepribadian unik lokal, nasional, tidak mau meniru "Barat", jadi tidak mau pakai istilah dan pengertian oposisi. Ya, sudah semua kumpul kebo jadi satu kabinet dan DPR. Sambil berdwifungsi atau berdwimuka, sebentar jadi incumbent, sebentar jadi oposisi.
Nah, kalau dalam situasi seperti itu Jokowi melakukan langkah maverick unik yang tak terduga dan seolah inkonsisten, itu merupakan bagian dari kiat untuk survive dan memang hak prerogarif dia. Buat apa dikritik dan dipermasalahkan secara "letterlijk". Jokowi menghadapi masalah survival dan mendongkrak citra untuk keterpilihan yang tinggal 15 bulan lagi. Jadi kalau Presiden membongkar pasang kabinet pasti untuk kepentingan survival dan masa depan yang lebih "aman" (save) untuk memenangkan periode ke-2 secara lebih pasti.
Bung Karno juga melakukan lebih dari 1 reshuffle selama memimpin kabinet secara nyaris absolut. Tidak ada oposisi yang berani menantang Beliau. Kabinet Kerja yang dibentuk 10 Juli 1959 di-resuhffle 3 kali, dan Kabinet Dwikora yang menggantikan di-reshuffle 2 kali. Yang kedua hanya tahan sebulan dan kemudian terganti dalam 4 bulan, lenyap diganti Kabinet Ampera yang dipimpin langsung oleh Soeharto 1967 setelah kekuasaan Bung Karno dicabut MPRS, Maret 1967.
Jadi go ahead presiden, dan go realist para elite. Jangan muluk pakai slogan dan "cengeng" mempermasalahkan langkah kuda maverick unik demi survival-nya Presiden ke-7 menghadapi apa yang disebut Jaya Suprana '7 masalah mendasar'. (cmk)

Reshuffle Kabinet baru saja dilakukan. Bila dicermati, reshuffle kali ini tidak seheboh reshuffle sebelumnya. Baik partai-partai politik, para politisi, maupun media massa, tampak tidak terlalu antusias.
Hal ini dapat dipahami mengingat perhatian sedang diarahkan pada pilkada serentak di 171 daerah yang akan menentukan masa depan partai-partai politik, juga akan sangat mempengaruhi peta politik menyongsong pileg dan pilpres yang akan dilakukan serentak tahun depan.
Pada saat bersamaan, lingkungan Istana juga sudah diliputi suasana bagaimana mengatur strategi dan mendapatkan dukungan agar Jokowi terpilih kembali untuk yang kedua kalinya.
Bagi Jokowi, sebelum PDI Perjuangan memastikan dukungannya, posisinya belum aman baik untuk mendapatkan tiket minimal dua puluh persen, maupun untuk memenangkan pilpres itu sendiri.
Pentingnya posisi PDI Perjuangan dalam pilpres mendatang, mengingat saat ini PDI Perjuangan merupakan partai politik terbesar. Lebih dari itu, PDI Perjuangan merupakan kendaraan politik utama Jokowi dalam pilpres yang lalu.
Sampai saat ini, baru Golkar, Nasdem, dan Hanura yang sudah memberikan tiket kepada Jokowi. Karena itu, dapat dipahami jika Golkar sebagai partai terbesar kedua mendapat kursi tambahan di Kabinet, dan Hanura mendapatkan ganti kursinya yang hilang dalam reshuffle yang lalu.
Yang lebih menarik lagi, dipertahankannya posisi Airlangga Hartarto di kabinet dengan konsekuensi rangkapan jabatan dengan posisinya sebagai ketua partai.
Sebagai partai kedua terbesar yang sudah memberikan tiket pilpres, Golkar menjadi istimewa. Jokowi berkepentingan untuk menjaga hubungan dan terus merawatnya agar Golkar tidak berubah pikiran. Belajar dari pilkada di sejumlah provinsi, sampai hari-hari terakhir masalah tiket calon ini masih bisa berubah.
Tiga partai politik, walaupun sudah cukup untuk mengusung Jokowi sesuai aturan yang menetapkan angka minimal 20 persen, akan tetapi belum cukup aman untuk memenangkan kontestasi. Hal inilah yang menyebabkan reshuffle kali ini dilakukan sangat terbatas agar tidak terjadi kegaduhan politik yang bisa mengganggu agenda merangkul sebanyak mungkin partai yang ada. Apalagi nama pasangan capres dan cawapres harus sudah disetor ke KPU hanya dalam hitungan bulan.
Di sisi lain, partai-partai politik sudah mulai membuka komunikasi sebagai langkah awal untuk menjajaki koalisi. Merujuk pada koalisi dalam pilkada serentak tahun ini, terlihat jelas koalisi lintas partai yang tidak lagi dibatasi oleh apakah partai tersebut berada di kabinet atau di luar kabinet. Karena itu, semua partai sebenarnya terbuka untuk ikut mengusung petahana. Dan semakin banyak partai ikut mengusung semakin besar peluang Jokowi untuk terpilih kembali.
Merujuk data dan peta di atas, maka kemungkinan besar reshuffle kali ini merupakan reshuffle yang terakhir. Reshuffle berikutnya hanya mungkin terjadi jika terjadi perubahan konstelasi politik yang luar biasa. (cmk)
Setelah Jokowi ditetapkan sebagai Presiden Republik Indonesia, publik memimpikan kabinet yang dibentuk adalah Zaken Kabinet. Yaitu, sebagian besar menteri yang diangkat adalah para ahli di bidangnya. Namun para menteri yang diangkat tetap saja pelangi, yaitu kabinet hasil kompromi politik. Akomodasi partai politik tetap saja menjadi pertimbangan utama.
Reshuffle kabinet di ujung masa pemerintahan Jokowi pun tetap kental pertimbangan dan akomodasi politik. Apapun pertimbangan politik Jokowi dalam reshuffle kabinet bisa berkilah, itu adalah hak prerogatif presiden. Apalagi, pilihan politik itu pun semakin lumrah. Ujung-ujungnya pada soal kalkulasi dan konsolidasi kekuasaan. Yaitu, ancang-ancang persiapan menghadapi pertarungan Pilpres 2019.
Jika kalkulasi kekuasaan lebih kental, maka pertimbangan rational choice politik Jokowi tidak ada hubungannya dengan kinerja kabinet. Bahwa seorang ketua parpol tidak boleh merangkap menteri. Sebagaimana wacana yang berkembang di ruang publik. Juga termasuk soal timing pergantian kabinet di penghujung masa pemerintahan.
Melihat realisme politik yang cukup mengemuka, maka rational choice keputusan Jokowi yang dominan adalah kalkulasi politik. Karena, bongkar pasang kabinet hingga jilid ketiga adalah fakta yang sulit dibantah. Selain itu, kita belum punya tradisi pemerintah yang khas. Yang menjadi acuan dan kontrol terhadap heavy political party interest. Jadi, apapun keputusan yang diambil Jokowi dalam reshuffle kabinet sah-sah saja. Karena memang pada umumnya Presiden RI yang pernah memimpin pemerintah jarang membangun zaken kabinet. Kecuali masa pemerintahan Soeharto.
Ada keinginan di masa Presiden SBY dan Jokowi membentuk zaken kabinet, namun kenyataannya jauh panggang dari api. Walaupun kita ketahui, SBY dan Jokowi cukup berpeluang. Keduanya punya kedaulatan yang cukup kuat. Bukankah mereka dipilih langsung oleh rakyat?
Terlepas dari persoalan dibalik diskusi reshuffle kabinet yang kini menjadi sorotan publik, tentu kita tidak terjebak dan tidak sekadar menebak-nebak langkah Jokowi. Seperti menebak buah manggis. Juga tak kalah pentingnya adalah, apakah silih bergantinya sang presiden yang pernah memimpin republik ini meninggalkan sebuah legasi dalam praktik pemerintahan? Di mana model zaken kabinet salah satu tradisi pemerintahan semestinya berhasil dibangun.
Kita berharap praktik pemerintahan dari waktu ke waktu mampu membangun tradisi pemerintahan yang lebih maju dalam konteks membangun tradisi zaken kabinet. Bukan melanggengkan tradisi politik dagang sapi yang cenderung mengabaikan profesionalisme pemerintahan dan kinerja yang terukur. Jika tawar menawar politik yang dikedepankan, maka sistem presidensial perlu kita pertanyakan. Apakah seorang presiden cukup memiliki political capacity?
Sebagian orang bisa berpendapat, ternyata presiden yang dipilih langsung oleh rakyat tidak berbanding lurus dengan politik kewenangan yang dimilikinya. Hal ini selalu dikaitkan dengan integritas politik seorang presiden. Bahkan berkesimpulan presiden tidak cukup punya nyali. Faktanya, masih di bawah bayang bayang oligarki partai politik.
Pertanyaan berikut juga bisa diketengahkan. Apakah kemandirian seorang presiden sangat dipengaruhi oleh attitude-personality nya, atau juga sedikit banyaknya dipengaruhi oleh bangunan sistem politik yang sakit? Di mana secara sangat sadar kita menerapkan Liberalisme multi partqi. Tak heran jika ada anekdot mengatakan, sistem pemerintahan Indonesia menganut presidensial, tapi citrarasa parlementer.
Sisa pekerjaan rumah yang kunjung usai adalah mewujudkan sistem multi partai sederhana, guna menghindari sistem pemerintahan sakit. Sehingga kita akan mendapatkan seorang presiden bukan petugas partai, tapi seorang presiden sebagai pemimpin yang prorakyat, tidak tersandera oligarki partai. (cmk)
Nampaknya Golkar akan mendapat perlakuan istimewa seperti halnya perlakuan Jokowi kepada PDIP. Persyaratan awal bahwa anggota kabinet/ menteri tidak boleh rangkap jabatan dengan pengurus partai politik, tidak diberlakukan pada Airlangga Hartanto yang saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Golkar. Jokowi berkepentingan merangkul Airlangga Hartanto untuk memangku Golkar.
Dalam tradisi Golkar, Ketua Umum Golkar harus mempunyai jabatan publik/ jabatan politik sebagai salah satu legitimasi dan pengakuan kepiawaian sebagai politisi. Hal itu pasti diketahui oleh Jokowi, sehingga dalam rangka tetap memangku Golkar maka Jokowi memberi "keistimewaan" pada Airlangga Hartanto untuk tetap menjadi Menteri Perindustrian. Toh keistimewaan itu sampai sekarang diberikan ke Puan Maharani yang tetap menjadi Menko PMK sekaligus Ketua (non aktif) DPP PDIP.
Memperlakukan Golkar secara istimewa pasti akan berdampak. Soal besar kecilnya dampak ke dalam Koalisi Indonesia Hebat akan bisa diatasi dengan kompensasi politik dan ekonomi. Soal dampak ke publik, hal itu tidak perlu dikhawatirkan karena tidak begitu mempengaruhi persepsi positif masyarakat terhadap Jokowi. Kepercayaan masyarakat terhadap Jokowi akan tetap tinggi.
Dalam sisa dua tahun masa kepresidenan, tidak menutup kemungkinan akan ada lagi reshuffle. Sayang reshuffle yang akan datang bukan lagi pada pertimbangan efektivitas dan efisiensi kinerja kabinet, melainkan akan sangat tergantung pada dinamika politik dan "pengamanan" Pemilihan Presiden 2019. (cmk)
Sebagian ini berupa pragmatisme dan wajar dalam tataran politik. Kita sering abai karena studi tentang konflik analisis, kekuasaan, dan pertukaran sosial atau social exchange theory, sesungguhnya merupakan tiga hal yang berkaitan sekalipun bisa dibedakan dalam ilmu sosial.
Banyak yang mengkritik analisis konflik karena mengabaikan kekuasaan. Sangatlah mungkin untuk menggunakan konsep kekuasaan sosial seraya tetap menjaga perbedaan antara upaya mempengaruhi melalui sanksi positif (actual or promised rewards) dan upaya mempengaruhi melalui sanksi negatif (actual or threatened punishments) (Dahl, 1968; Baldwin, 197).
Ada hal-hal yang perlu dilakukan demi menjaga ideological bias sebuah pemerintahan. Sebuah regime ekonomi politik didefinisikan oleh seperangkat aturan-aturan yang stabil dan berjangka waktu panjang, termasuk di dalamnya sistem hukum dan pemerintahan.
Dukungan dari kekuatan-kekuatan politik penting dan dalam hal masuknya tokoh-tokoh dari partai politik, yang sudah mahir mendukung bias ideologi pemerintah, datang dari serangan yang semena-mena dari proses demokratisasi yang tidak dilandasi oleh pengetahuan rakyat yang sempurna. Sebuah demokrasi yang tidak terbatas akan mendorong lahirnya subsidi, transfer dan regulasi yang bersifat populis.
Krisis ideologi yang terabaikan dalam teori pilihan publik berperan dalam menciptakan erupsi, yang akhirnya mendorong perubahan regime ekonomi politik. (cmk)
Memang secara rasional aneh kalau masa pemerintahan tinggal kurang daru dua tahun presiden masih harus melakukan pengocokan ulang kabinet presidensialnya. Akan tetapi seringkali UU dan PP di Indonesia mempersulit implementasinya dan membuka peluang untuk dilanggar atau dimanipulasi dengan sengaja atau tidak.
Contoh nyatanya, ya peraturan impor beras yang setiap tahun dilakukan selalu bertumburan dengan berbagai kepentingan pada waktunya. Tidak jelas landasan pembenaran impor beras, apakah untuk menekan harga pasar atau untuk mencukupi kebutuhan konsumen. Siapa yang boleh lakukan impor, terpusat atau disebar untuk menekan harga dan memenuhi kebutuhan. Kalau Bulog yang siapkan stok ditolak pasar karena mutunya. Kalau diimpor pengusaha ribut mengapa kasih peluang mereka dapat untung. Belum lagi dampak ikutan pedagang beras dicurigai sebagai penimbun. Kalo tidak ada stok dicurigai sembunyikan beras. Pedagang beras di daerah sangat menderita dan overhead cost-nya naik. Akibatnya kenaikan overhead cost dibebankan kepada konsumen dengan menaikkan harga. Konsumen teriak, petani padi pun tidak tertolong walaupun banyak pihak berteriak untuk bantu petani dan konsumen miskin.
Hal kebijakan itu juga berlaku dalam setiap pilkada dan pemilu. Banyak penduduk yang belum mempunyai E-KTP, belum lagi penduduk pemilih pemula. Untuk tidak memasung hak pilih terpaksa dibuka peluang dan berbagai kemudahan bagi mereka yang tidak mau kehilangan hak pilih. Untuk mengurus tidak mudah dan perlu waktu. Kenyataan tersebut membuka peluang bagi mereka yang jeli dan sedang berburu suara untuk menjaringnya dengan membantu pengurusannya. Masyarakat bisa pilih jalur cepat atau jalur lambat. Bahkan ada orang yang mau urus KTP sendiri disarankan untuk lewat "biro jasa" dalam rangka membantu pemerintah menciptakan lapangan kerja. (cmk)
Apa pertimbangan Jokowi mempertahankan Airlangga di Kabinet? Jokowi sendiri sudah menjawabnya bahwa waktulah yang menjadi alasan utamanya. Waktu yang tersisa yang hanya tinggal kurang lebih satu tahun setengah akan terbuang sia-sia kalau posisi Airlangga diisi orang baru, setidaknya setengah tahun digunakan hanya untuk belajar.
Setidaknya itu yang bisa disimpulkan dari apa yang bisa disaksikan dari media elektronik. Apakah itu jawaban yang sesungguhnya, hanya Jokowi dan Tuhan yang tahu. Tetapi sangat masuk akal, daripada waktu yang sempit terbuang percuma lebih baik digunakan untuk fokus pada pencapaian kinerja, terutama meningkatkan industri sektor riil yang belum menunjukkan peningkatan kinerja yang signifikan.
Bagaimana dengan kekhawatiran penilaian publik bahwa Jokowi tidak konsisten? Sudah menjadi rahasia umum bahwa Jokowi tidak suka kalau ada rangkap jabatan di kabinet dan di partai politik. Tetapi sudah menjadi rahasia umum pula bahwa Beliau bukan kali ini saja mengingkari apa yang sudah diucapkannya sendiri. Konsisten dalam ketidak-konsistenannya.
Apa lagi kalau dilihat dari kaca mata politis, sama sekali tidak ada yang mengherankan. Bahkan ditunjuknya Idrus Marham menggantikan Khofifah Indar Parawansa dan dipertahankannya Airlangga merupakan strategi yang jitu menuju 2019. Koalisi loyal akan semakin gemuk. Setidaknya, kursi minimal untuk "threshold" pencalonan sudah di tangan Jokowi, sekalipun skenario terburuk jika PDIP tidak mencalonkannya lagi terjadi. Pertanyaan yang lebih penting justru, "mau dibawa ke mana revolusi mental?" jika tujuan-tujuan politis selalu saja menjadi prioritas, dengan mengesampingkan nilai-nilai pembentuk karakter. (pso)