Sepertinya perserta Kongres V PDIP di Bali telah memilih kembali Megawati Soekarno Putri sebagai Ketua Umum PDIP. Dari segi kapasistas, memang banyak kader yang punya kemampuan memimpin partai sebesar PDIP. Tapi tidak sekuat Mega.
Megawati punya kelebihan yang tidak dimiliki kader-kader PDIP yang lain. Soal kharisma misalnya, kharisma Mega mampu mempersatukan seluruh kader dan PDIP. Juga memiliki magnitude politik yang kuat yang terbukti menjadi pemenang pemilu pada 1999, 2014, dan 2019. Ini yang membuat kenapa sampai saat ini kader PDIP masih mempercayakan kepada Mega untuk memimpin partai.
Sampai saat ini, belum ada kader yang bisa menandingi kecakapan Megawati itu. Kalau sekadar kapasitas memimpin sebuah partai, kemampuan manajerial, dan leadership, saya kira banyak sekali kader PDIP. Tapi mereka belum punya kemampuan untuk mempersatukan kader di semua tingkatan.
Harus diakui, kharisma itu tentu saja karena kharisma seorang Soekarno yang menurun kepada Mega. Tidak semua anak Soekarno berhasil memimpin sebuah partai. Rahmawati, misalnya. Ia pernah mendirikan Partai Pelopor. Tapi akhirnya tidak mampu eksis. Begitupun juga dengan PNI Marhaenisme yang dipimpin Mba Sukmawati.
Di tangan dinginnya Megawati, PDIP tidak hanya mampu eksis tapi juga berhasil memenangi pemilu berturut-turut pasca Orde Baru, 2014 dan 2019.
Soal suksesi kepemimpinan PDIP. Mungkin saja kemampuan politik Puan Maharani dan Prananda Prabowo yang belum matang menjadi salah satu faktor Mega masih menjadi Ketua Umum PDIP hingga sekarang. Meski dalam beberapa kesempatan Ibu Mega mengaku ingin istirahat, pada akhirnya Kongres V memutuskan memilih kembali Ibu Mega sebagai Ketua Umum PDIP.
Tentu saja keputusan itu dilandasi berbagai pertimbangan. Salah satu pertimbangannya adalah belum menemukan calon ketua umum yang sekelas Megawati. Terlebih, PDIP akan menghadapi agenda politik seperti Pilkada 2020 dan mengawal pemerintahan Jokowi lima tahun kedepan. Ini kan dibutuhkan sosok ketua umum yang memiliki wibawa dan pengaruh yang kuat.
Pertimbangan yang lain, masih ada kekhawatiran adanya keretakan di internal PDIP jika tidak dipimpin kembali oleh Megawati.
PDIP ini merupakan partai yang mewarisi pemikiran dan ajaran Soekarno. Partai yang menyatu dengan ajaran Bung Karno. Nah, PDIP dipersepsikan oleh pemilih sebagai partai yang mengusung pemikiran Soekarno.
Tentu saja, itu berkorelasi dengan kepemimpinan PDIP di tingkat nasional. Jika PDIP dipimpin oleh kader yang bukan berasal dari trah Soekarno, untuk sementara ini bisa berpotensi menimbulkan perpecahan di internal PDIP. Setidaknya akan muncul faksi-faksi.
Saya pernah melakukan riset. Saya coba uji siapa calon Ketua Umum PDIP yang akan datang selepas Megawati. Apakah harus dari trah Soekarno atau bukan trah Soekarno? Sebagian besar menghendaki harus berasal dari trah Soekarno. Artinya, ini menunjukkan bahwa PDIP memang partai yang melekat dengan nama besar Bung Karno. Oleh karenanya, menurut saya kekuatan utama PDIP justru ada di nama besar Bung Karno. (mry)
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sedang menyelenggarakan Kongres Ke-V di Bali dari tanggal 8-11 Agustus 2019. Agenda utama kongres yang menjadi perhatian utama masyarakat adalah pemilihan ketua umum baru. Hal ini karena Ibu Megawati Soekarno Putri sebagai Ketua Umum PDIP semenjak tahun 1999-2019 dan beberapa kali melontarkan pernyataan akan mengundurkan diri.
Sikap Megawati tersebut merupakan sikap yang rasional dan menjadi momentum terbaik bagi masa depan PDIP sebagai partai ideologis yang menganut ajaran nasionalis marhaenisme Soekarno.
Sebenarnya, sekarang banyak kader PDIP yang dari segi kapasitas dan popularitas sudah siap untuk memimpin PDIP dan Indonesia ke depan. Dari trah Soekarno terdapat politisi yang cukup dikenal seperti Puan Maharani, Puti Guntur Soekarno Putra, Prananda Prabowo. Dari luar trah Soekarno, ada Presiden Jokowi, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Pramono Anung, dan lainnya. Memang tidak bisa dimungkiri bahwa Megawati selama ini adalah sebagai sosok perekat dan pemersatu internal PDIP yang terbentuk dari fusi beberapa parpol seperti PNI, IPKI, Perkindo dan Murba.
Sirkulasi elite PDIP ini semua terpulang pada komitmen dan konsistensi Ibu Megawati Soekarno Putri sebagai figur sentral, apakah tetap mau sebagai ketua umum atau menyerahkan kepada kadernya sebagai estafet kepemimpinan PDIP di masa depan. Ibu Megawati Soekarnoputri harus berpikir strategis untuk mempertahankan eksistensi PDIP ke depan, 10 atau 20 tahun ke depan.
Dengan usia 72 tahun, Megawati harus menyadari bahwa secara alamiah memiliki kelemahan dan keterbatasan. Oleh sebab itu sudah saatnya melakukan suksesi kepada kadernya. Jangan terpengaruh oleh dorongan kepentingan pragmatis yang banyak menyelimuti benak di para peserta kongres.
Secara psikologis hampir dipastikan keputusan peserta kongres V Bali ini bakal memilih kembali Ibu Megawati Soekarno sebagai Ketua Umum PDIP secara aklamasi. Untuk jangka panjang keputusan ini tidak baik bagi perkembangan dan masa depan partai. Jika terpilih lagi ini sebagai warning bagi PDIP sebagai partai yang tidak melakukan regenerasi.
Oleh karena itu untuk mempertahankan eksistensi dan ideologi partai idealnya dalam kongres V di Bali ini Megawati mengambil sikap yang bijaksana dan secara legowo menyerahkan suksesi kepemimpinan kepada Puan Maharani. Ini bukan kolusi dan nepotisme karena sosok Puan Maharani sudah memiliki kapasitas dan kapabilitas. Di samping dia putri Megawati dan berasal dari trah Soekarno, Puan juga sudah teruji kepemimpinannya baik di parlemen maupun di pemerintahan.
Dalam suksesi itu Megawati cukup mengambil peran sebagai Ketua Dewan Pembina atau Dewan Pertimbangan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh almarhum Taufik Kiemas. Dibandingkan dengan kader lainnya, Puan juga bisa berfungsi sebagai perekat dan pemersatu dalam tubuh internal partai.
Kongres ini adalah momentum yang tepat bagi PDIP untuk melakukan suksesi dibandingkan jika suksesi dilakukan pasca Megawati. Tarik menarik kepentingan pasti terjadi, baik dalam trah Soekarno maupun antar partai yang tergabung dalam fusi.
Hal ini perlu dicermati secara seksama oleh kader, pengurus, dan pencinta PDIP bahwa secara genetika PDIP rawan terhadap konflik. Latar belakang PDIP lahir dari hasil konflik internal antara kubu Soerjadi dengan kubu Megawati yang berujung terjadinya peristiwa 27 Juli 1996 (Kudatuli).
Sampai sekarang potensi konflik yang berujung pada perpecahan itu tetap masih ada. Oleh sebab itu jika tidak dikelola secara baik bukan tidak mungkin di masa yang akan datang PDIP mengalami nasib yang sama seperti yang dialami oleh Golkar.
Mudah-mudahan kongres V PDIP di Bali ini menghasil keputusan yang bijaksana demi kejayaan PDIP khususnya dan Indonesia pada umumnya. Selamat berkongres! (mry)