.jpeg&w=800)
Pernyataan Presiden Joko Widodo yang meminta perwira TNI/Polri untuk ikut mensosialisasikan pencapaian program kerja pemerintah (23/8) bisa mengingatkan publik pada doktrin Dwi Fungsi TNI/Polri di masa lalu, dimana dua intitusi negara itu digunakan oleh Soeharto sebagai garda terdepan dalam upaya memenangi kontestasi politik dan menjaga stabilitas keamanan. Permintaan Jokowi dalam batas-batas tertentu bisa dikualifikasi sebagai pelanggaran UUD 1945.
Pada Pasal 30 ayat (3) dan (4) UUD 1945 ditegaskan bahwa TNI adalah alat pertahanan negara, sedangkan Polri adalah aparat keamanan dan penegak hukum. Hubungan presiden dengan TNI dan Polri merupakan hubungan kenegaraan dalam kapasitasnya sebagai Kepala Negara. Jika TNI dan Polri diminta mensosialisasikan kinerja pemerintah, maka TNI dan Polri bisa dianggap melanggar konstitusi. Dua institusi ini bukanlah anggota kabinet yang berkewajiban mensosialisasikan kinerja pemerintah. Bahkan, untuk memastikan netralitas anggota, TNI/Polri hingga kini belum diberi hak pilih oleh perundang-undangan Indonesia. Makna netralitas TNI/Polri menuntut semua pihak untuk tidak sedikitpun menyeret dua institusi ini pada setiap hajatan politik republik. Mereka hanya ditugasi memastikan keamanan terjaga dan penegakan hukum yang adil.
Meskipun demikian, Presiden Jokowi kemungkinan punya maksud lain dengan pernyataan itu. Bisa jadi maksud utamanya adalah agar TNI/Polri menjaga kondusivitas dan stabilitas keamanan dengan memastikan hoax yang tersebar di tengah masyarakat terkait kinerja pemerintah haruslah diluruskan, karena bisa mengganggu stabilitas politik dan keamanan. Jadi permintaan ini dalam kerangka upaya penegakan hukum dan keamanan. Sebagaimana diketahui, materi hoax menjelang pemilu bukan hanya soal identitas SARA tetapi juga informasi capaian kinerja pemerintah yang dipalsukan dengan tujuan membangun kebencian pada presiden yang berkuasa.
Tanpa penjelasan lebih detail, pernyataan Jokowi akan mengundang kontroversi yang justru akan melemahkan kepemimpinan Jokowi dalam menjaga integritas sistem ketatanegaraan. Jadi, sebaiknya Jokowi memberikan penjelasan lebih detail, sehingga tidak menimbulkan kegaduhan baru di tahun politik. (mry)
Arahan Presiden Jokowi agar Polri dan TNI untuk ikut serta mensosialisasikan capaian kinerja pemerintah, terkesan memberikan tugas "baru dan khusus" yang cenderung offside kepada kedua intitusi tersebut. Atas hal itu, maka Presiden nampak keliru dalam memahami peran dan tugas TNI dan Polri sebagaimana termaktub dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.
Di dalam kedua UU a quo, tidak ada pasal eksplisit bahwa TNI dan Polri harus menjalankan peran sebagai intitusi "kehumasan atau publikasi" atas kinerja pemerintah. Idealnya, jika pemerintah ingin dilihat kinerjanya maka presiden selazimnya memberikan arahan pada intitusi/kementerian terkait bukan kepada TNI dan Polri.
Di samping itu, sungguh pun arahan itu bersumber dari presiden, maka tidak seharusnya TNI dan Polri membabi buta melaksanakan arahan tersebut. Mengapa? Karena dalam penyelenggaraan negara (bagi TNI-Polri) bukan semata didasarkan pada arahan "sang kepala" melainkan harus pula didasarkan pada hukum sesuai Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Dengan melihat instrumen hukum yang tidak selaras dengan tugas dan peran TNI dan Polri, maka mengabaikannya menjadi keniscayaan bagi TNI dan Polri guna tegaknya kedaulatan hukum.
Kemudian, meskipun arahan itu tidak sesuai dengan original inten undang-undang, rasanya sulit kalau harus ditarik sebagai pelanggaran konstitusi karena arahan presiden sulit jika dimasukan pada kualifikasi pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A UUD 1945. Namun demikian, hal itu lebih pada etika berkonstitusi (constitutional ethics) yang belum dijalankan dengan baik oleh kepala sekaligus penyelenggara negara.
Di lain hal, mengingat arahan presiden sebagai niatan agar kinerja pemerintah dapat tersampaikan secara massif kepada publik, maka hal itu dapat dibaca bahwa peran institusi seperti bidang komunikasi kepresidenan dan Menkominfo seolah belum maksimal dalam menjalankan peran dan tugasnya. Oleh karena itu, arahan presiden harus menjadi cambuk bagi institusi pemegang tugas pokok di bidang komunikasi agar lebih sigap dan tepat sasaran dalam menyampaikan capaian-capaian yang telah dilakukan pemerintah. (mry)