Menarik untuk dilakukan riset tentang "Relasi penerapan hukuman cambuk di tempat umum dengan rendahnya jumlah investor ke Aceh". Dari data tersebut bisa dikaji apakah pelaksanaan hukuman cambuk di tempat umum menjadi penyebab rendahnya investasi di Aceh. Jika ya, apakah menjadi penyebab tunggal atau hanya salah satu penyebab keengganan investor datang ke Aceh. Namun terlepas tidak adanya data yang bisa dibaca, saya ingin berpendapat soal legalitas Pergub Nomor 5 Tahun 2018.
Ada dua hal yang mesti dilihat. Pertama soal kewenangan bahwa peraturan gubernur (pergub) adalah sepenuhnya merupakan kewenangan dari gubernur yang keberadaanya baru diakui dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Dari aspek ini Pergub Nomor 5 Tahun 2018 tidak ada masalah.
Pergub berbeda dengan Peraturan Daerah (Perda) dimana proses pembentukannya harus melalui pembuatan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) oleh DPRD Propinsi dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan kemudian dibahas dengan gubernur, selanjutnya gubernur mengesahkan setelah final dalam pembahasan.
Jadi ada perbedaan mendasar antara perda provinsi dengan pergub yaitu pada kewenangan pembentukannya sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Kedua, soal konten atau substansi dari isi pergub itu sendiri. Sebagai daerah dengan kewenangan khusus berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, tentu isi dari peraturan gubernur harus sejalan dan mengacu pada semangat Undang-undang Otonomi khusus Aceh tersebut.
Pertanyaannya, apakah pemindahan tempat eksekusi ke lapas itu menghilangkan substansi hukuman cambuk? Menurut saya, selama substansinya tidak diubah/ tidak dihilangkan, ya boleh saja. Apalagi kalau pertimbanganya agar pelaksanaan hukuman cambuk ramah terhadap jangkauan anak-anak. Selain itu pergub juga mestinya tidak menghalang-halangi masyarakat yang ingin menyaksikan pelaksanaan eksekusi hukuman sekalipun bertempat di lapas (cmk)
Ini masalah mentality, bukan prinsip. Mentalitas kolonial itu masih kuat melekat di kalangan masyarakat yang selalu merasa tendah diri. Kalau melihat asing--termasuk timur asing dan aseng--yang pernah berkuasa, kita merasa kecil. Asing dan aseng mencerminkan keunggulan sebagai penjajah. Karena itu kita takut dan rendah diri.
Sebagai reaksi kita menutup diri dan menolak serba asing atau kalau mampu kita meniru tanpa perhitungan apa cocok atau tidak untuk diterapkan di Indonesia. Siang siang pakai overcoat atau baju panas sebagai simbol keunggulan pakaian kolonial penguasa. Sekarang tinggal jaketnya. Siang-siang rapat di lapangan terbuka massa diberi baju jaket. Yang Muslim pun tidak ketinggalan pakai jubah panjang untuk menunjukan kesamaan derajat dengan habaib yang biasa berpakaian Arab.
Bukan hanya meniru busana, makanan pun menjadi simbol emansipasi yang mencerminkan keunggulan “ndoro tuan” ataupun habaib. Tidak ketinggalan bahasa kaum penjajah dan asing yang menduduki lapisan sosial yang diunggulkan.
Bagi pemerintah daerah istimewa, mereka juga harus tunjukkan keistimewaannya dan kekhususannya. Raja-raja sebagai pemangku adat dan kebudayaan berusaha mengeksposenya kalau masih ada. Kalau tidak ada lagi karena akulturasi, mereka pun mulai mengada ada. Kalau perlu ciri khas impor. Di Yogya, nama jalan ditulis dengan huruf Jawa yang sudah tidak banyak orang yang bisa membacanya.
Ketika Mataram dipecah jadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan yogyakarta, Yogyakarta pun berusaha mengembangkan ciri-ciri khas yang membedakan dengan kasunanan. Hal itu tercermin dalam corak batik, baju resmi, tudung kepala, sampai perwujudan wayang kulit.
Sejalan dengan upaya untuk mengembangkan identitas itu, bisa dipahami kalau daerah istimewa Aceh juga mengembangkan ciri-ciri khas yang istimewa. Ciri-ciri khas itu harus spesifik dan dapat menjamin keistimewaan , keunggulan dan kebanggaan bagi rakyatnya Salah satunya hukum cambuk yang mencerminkan “keunggulan dan kekhususan” yang tidak dimiliki daerah lain. Cuma orang seringkali lupa dinamika sosial seringkali apa yang diunggulkan oleh para elite belum tentu berlaku dan dapat dilaksanakan karena selera kebutuhan maupun aplikasinya.
Biarkan saja pemerintah perkenalkan “pengukuhan atau pembaharuan” identitas keistimewaan daerahnya. Toh akhirnya masyarakat yang akan menentukan secara demokratis.
Masalahnya perlu diperhatikan asas yang berlaku di NKRI maupun internasional. Asas kelayakan yang bisa diterima akal sehat dan norma sosial yang berlaku umum akan menentukan hidup matinya pranata sosial. (cmk)
Investasi dijadikan alasan untuk mengubah pelaksanaan hukuman cambuk. Jika semula dilaksanakan secara terbuka, ke depan hukuman cambuk dilaksanakan secara tertutup. Kebijakan ini adalah kebijakan kompromi namun tetap bermasalah. Akan jauh lebih baik jika hukuman cambuk diganti dengan jenis hukuman lain yang sesuai dengan spirit kemanusiaan modern.
Pelaksanaan hukum cambuk di ruang terbuka atau tertutup, sebenarnya sama saja bermasalahnya jika dilihat dari perspektif hak asasi manusia (HAM). Secara normatif, pemberlakuan hukuman cambuk di Aceh adalah kebijakan hukum yang kontroversial dan layak diperdebatkan. Perdebatan itu harus didasarkan pada kaidah-kaidah hukum dengan mendudukkan hukuman cambuk di tengah-tengah ketentuan normatif peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Indonesia menganut sistem unifikasi hukum--penerapan hukum pidana harus mengacu pada hukum yang sama. Indonesia juga telah memiliki ketentuan lengkap mengenai hukum HAM, yaitu Pasal 28 UUD 1945 dan UU Nomor 39 Tahun 1999 yang pada intinya keduanya menyatakan bahwa hak untuk tidak disiksa dan kebebasan dari perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights). (Baca Pasal 28I ayat (1) UUD 1945).
Selain itu, Indonesia juga sudah meratifikasi hampir seluruh instrumen HAM internasional, mulai dari ICCPR, ICESCR, CAT, CEDAW, CRC, CERD, CMW, CMW, CED (hanya CED yang belum diratifikasi). Artinya pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk menyusun peraturan perundang-undangan yang memenuhi (comply) dengan hukum HAM internasional tersebut.
Pada konteks hukuman cambuk di Aceh, larangan penerapan hukuman dan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat dapat dilihat pada hampir semua instrumen, namun yang paling dekat adalah ICCPR dan CAT. Pada dua instrumen tersebut, ditegaskan bahwa hak untuk tidak disiksa merupakan non derogable rights. Bahkan berdasarkan doktrin dan international customary law, bebas dari penyiksaan masuk kategori hak yang absolut yang terkategori ius cogens (peremptory norm).
Bagaimana dengan hukuman cambuk? Hukum cambuk masuk kategori hukuman yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Oleh karena itu, jenis hukuman semacam ini harus diubah dengan hukuman lain yang berkemanusiaan.
Bukankah hukuman cambuk didasarkan pada Perjanjian Helsinki dan Undang-Undang Keistimewaan Aceh? Benar, namun menurut Konvensi Wina, pertimbangan nasional (kultural, politik) tidak dapat dijadikan alasan oleh suatu negara guna menghindari kewajiban internasionalnya. Artinya, sepanjang Aceh adalah bagian dari Indonesia, maka ia harus tunduk pada hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi. (mry)
Putusan tentang putusan Pergub Aceh untuk memindahkan ruang pemidanaan cambuk dari lapangan terbuka ke penjara adalah pilihan taktis, ketika situasi pemberlakuan syariat Islam selama ini telah memberikan kesan negatif bagi situasi politik di Aceh. Pilihan ini terpaksa diambil karena ternyata pemberlakuan jinayah syariat Islam selama ini telah melenceng dari tujuan filosofis hukum (maqasid syariah), yaitu memelihara moral sosial masyarakat, menjaga kapastian hukum dan terhindarnya masyarakat dari perilaku yang terlarang secara syariat/hukum.
Yang terjadi malah pemberlakuan hukum jinayat di depan umum telah menyebabkan terjadinya degradasi moral masyarakat, misalnya dengan adanya teriakan dan caci maki kepada terpidana. Mereka mendapat hukuman lagi dari masyarakat. Hukuman cambuk di tempat umum juga telah menjadi reportoir atau "piasan raya" karena menjadi bisnis pertunjukan, seperti hadirnya tempat berjualan di sekitar tempat cambuk dan juga menjadi tontonan bagi anak. Fenomena ini terus berulang tanpa berhasil dicegah.
Dalam hal ini pemerintah pusat harus bisa menyikapi putusan Gubernur Aceh ini sebagai lex specialis, yaitu mendukung tanpa reserve. Pemerintah pusat dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM harus mempersiapkan perangkat hukum untuk memuluskan putusan pergub tersebut. Jangan plin-plan. Karena putusan pergub ini juga jika ditelusuri pasti juga mempertimbangkan saran dari pusat, yaitu adanya dilema pemberlakuan hukum di Aceh yang dianggap memberikan rasa aman bagi publik dan investor.
Pemindahaan ke lapas, juga pilihan alternatif yang paling baik, karena lapas bukan ruang publik yang bisa diakses oleh semua masyarakat. Pilihan ini juga memanusiakan terpidana dan tidak menjadikan ia sebagai sang pendosa selamanya di mata masyarakat.
Yang perlu dilakukan saat ini adalah melakukan sinkronisasi hukum antara yang terdapat di dalam Qanun No. 7 tahun 2013 dengan Pergub No.3 tahun 2018, sehingga pemberlakuan hukum acara ini tidak membuka situasi contradictio in terminis. (cmk)
Pro kontra seputar revisi Peraturan Gubernur Aceh Nomor 5 Tahun 2018, soal pelaksanaan hukum pidana Islam bernama Qanun Jinayat masih terus berlanjut. Pasalnya, salah satu regulasi ini mengatur pemindahan hukuman cambuk dari ruang terbuka ke lembaga pemasyarakatan (lapas). Bagi saya perdebatan ini seharusnya ditarik kepada dimensi ontologis kaitannya antara qanun (syariat Islam) dengan kebangsaan.
Penerapan qanun itu dalam konteks NKRI dan segenap undang-undang yang melekat di dalamnya, harus dikaji ulang. Negara semestinya hadir tegas dalam melihat geliat daerah yang memiliki hasrat penerapan syariat Islam atau undang-undang yang wataknya ekslusif dan diskriminatif. Maqashid Syariah dalam kontruksi metodologi hukum Islam sebenarnya dengan bagus memberikan rumusan tentang bagaimana formulasi syariat Islam ketika ditarik dalam ruang publik plural.
Memang etika, agama dan adat adalah bagian dari sumber hukum nasional. Tapi seharusnya yang diakomodir adalah nilai-nilai agama dan adat yang bisa diterima khalayak dan bertujuan menciptakan kebaikan umum, kemakmuran, keadilan, penghormatan kemanusiaan, tatakelola birokrasi yang bersih dan bebas dari korupsi.
Secara ontologis ikhwal syariat Islam masih multitafsir (fih awwal ) belum lagi problem operasionalnya di tengah masyarakat multikultural yang sejak awal sudah sampai pada kesepakatan Pancasila sebagai titik temu. Pancasila sejatinya melambangkan imajinasi luhur manusia pergerakan dalam memberikan jawaban terhadap persoalan bangsanya.
Aceh, qanun dan kecenderungan perda syariah melambangkan kebangkitan islamisme di satu sisi dan kegagapan merespon modernitas di sisi lain. Gejala keagamaan yang tidak dilengkapi pemahaman memadai tentang Islam itu sendiri. Akhirnya yang mencuat wajah Islam ideologis, minus epistemologis. (cmk)