Pertikain dua pendukung fanatiknya Jokowi dan Prabowo mulai sunter dirasakan sejak Pilpres 2014 hingga saat ini. Masing-masing kedua kubu saling mempertahankan eksistensinya. Keyakinannya terhadap dua tokoh ini tidak bisa diuraikan dengan rayuan apapun. Hidup dan mati seakan-akan dipertaruhkan untuk memuja keduanya. Padahal, masih ada zat yang paling tinggi yang memiliki kendali besar terhadap baik dan buruknya manusia di bumi pertiwi ini.
Pasca Pilpres 2014 Lalu, fanatisme pendukung sangat disadari betul keretakannya belum juga pulih sampai hari ini. Rantai pengikatnya belum juga jebol, ada semacam ketidak puasan yang belum terjawab, ada harapan yang belum terpenuhi. Fanaistme sebenarnya sangat boleh tetapi jangan sampai melampui batas seperti kita mencintai tuhan, karena persaudaraan sebagai warga negara akan berpotensi pada perpecahan.
Kita harus sadar bahwa memperjuangkan negara ini tidaklah mudah. Penuh dengan darah dan air mata. Maka tidak wajar kita harus bercerai-berai karena sikap konyol kita kepada satu, dua orang saja, yang harus kita renungkan adalah masa depan Indonesia untuk anak cucu kita dimasa yang akan datang.
Masalah terbesar kenapa perpecahan ini terus bergulir karena Jokowi dan Prabowo kembali rematch dalam pehelatan Pilpres 2019. Dua jagoan ini masing-masing merasa paling kuat dan paling bisa. Sehingga para pendukungnya pun sama-sama menjagokan mereka, terlepas dari mereka akan ikut bertaring hidup mati didalamnya. Inilah yang perlu diwaspadai, jika ketegangan ini terus dibiarkan hingga selesai pilpres nanti maka tidak menutup kemungkinan negara kita bisa terkoyak-koyak.
Jika ditanya adakah orang yang sengaja membuat jurang pemisah antar sesama anak bangsa? Ya jawabanya ada. Siapakah mereka? Ya siapa lagi kalau bukan para elit dinegeri ini. Rakyat tidak boleh dipersalahkan karena rakyat hanya mengikuti aturan yang ada, soal benar dan salah sangat bergantung pada kehendak siapa yang berkuasa.
Ingat, pintu perpecahan ini tidak akan habis sampai Pilpres 2019 selesai, karena besar peluangnya akan berlanjut pada perjalanan kita dalam berbangsan negara kedepan. Olehnya itu selain mengejar kekuasaan maka para elit juga harus bekerja keras untuk memulihkan kembali ketegangan dan pertikaian yang terjadi saat ini.
Menurut saya salah satu cara terbaik untuk meniadakan fanatisme publik yang berlebihan semacam ini yaitu;
Pertama, dengan cara menghapus Presidential Threshold (ambang batas) itu, karena dengan cara ini warga negara lebih bebas mengekplorasi kemampuanya untuk membangun negara. Presidential Threshold sesungguhnya dapat memangkas kebebasan warga negara untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Sehingga mau tidak mau partai kecil hanya siap tunduk pada partai besar dengan memilih jalan terakhir dengan berkoalisi.
Padahal banyak warga negara di luar sana yang merasa memiliki kemampuan lebih untuk memimpin negara tetapi sengaja dipangkas kemerdekaannya oleh aturan yang membuat mereka jadi budak dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Inilah penyebab utama dari potensi ketegangan itu bisa terjadi sampai sekarang. Hilangnya calon ketiga dan keempat sebagai pembagi fanatisme tersebut. Budaya dan kultur kita tidak bisa disamakan dengan negara Amerika Setikat dan semacamnya, karena kita memiliki sifat tempramental, lebih-lebih kental dengan politik identitas.
Kedua, yaitu dengan cara menghilangkan aturan bahwa petahana bisa maju kembali pada Pilpres selanjutnya. Solusinya bisa dengan menambah waktu periodesasi kepemimpinan atau cukup 5 tahun sehingga putra bangsa yang hebat lain mendapat kesempatan yang sama. Maka dengan sendirinya sikap fanatisme tadi bisa terirai.
Ingat, ditanah Indonesia tempat kita lahir dan di tanah Indonesia pula kita dikuburkan. Salam Indonesia Jaya. (ast)
Meningkatnya suhu politik menjelang pilpres yang tinggal beberapa bulan lagi, memunculkan fanatisme dari masing-masing pendukung. Masing masing kubu pendukung saling serang satu sama lain. Tidak jarang negative campaign dan black campaign dilakukan oleh kedua belah kubu dilakukan.
Realitas pilpres kekinian menunjukan bahwa kampanye tidak hanya aktif dilakukanoleh team kampanye resmi atau relawan, namun juga individu yang berpartisipasi aktif secara pribadi mendukung capresnya.
Sehingga kontrol dan tanggungjawab akibat negatif yang dilakukanya tidak bisa semua diminta pertanggungjawaban pada capres atau team kampanyenya, karena mereka bukan secara resmi masuk dalam team kmpanye salah satu kubu walaupun dukungan politikny jelas.
Kenyataan lainnya, pemilu legislatif dan pilpres serentak bersamaan, membuat kompleksitas isu dan dukungan yang sanga beragam, ketika pilihan caleg, pilihan partainya dan capresnya berbeda satu sama lain secara politik misalnya dia suka calegnya tapi partainya bukan pilihanya, dia suka capresnya tapi parpolnya bukan pilihannya atau sebaliknya.
Berikutnya arus politik yang selalu berubah merupakan hal yang biasa dalam politik, ini dibuktikan dalam pilpres sebelumnya dimana Prabowo-Mega adalah pasangan capres dalam pilpres sebelumnya, sekarang berhadapan sebagai lawan politik pada Pilpres 2019.
Kalau pada tingkat parpol, pimpinan partai, para tokoh saja dapat berubah sikap dan dukungan politiknya, maka demikian bisa saja sebelum pilpres mendukung Prabowo kemudian berubah mendukung Jokowi atau sebaliknya, namun bisaf juga sebelum pilpres mendukung Jokowi setelah pilpres berubah dukungannya menjadi anti Jokowi atau sebaliknya.
Perubahan sikap dan dukungan politik bisa saja berubah bukan saja menjelang bahkan bisa saja sesudah pilpres. Atas hal tersebut fanatisme pendukung, merupakan euforia politik dalam politik pilpres. Hoax dan penyebaran kebencian hal yang selalu muncul parda pilpres negara manapun, dan akan hilang dengan sendirinya setelah pilpres. Saya percaya rakyat sudah cerdas dan sudah belajar banyak dari pengalaman pilpres sebelumnya. Kenyataan politik juga menunjukan bahwa di dalam politik tidak ada teman abadi dan ridan ada musuh abadi yang abadi adalah kepentingan.
Pilpres ini akhirnya menjadi sarana rakyat untuk mendidik elit politik bahwa mereka sudah paham demokrasi. Rakyat tidak mudah dipecah belah, karena kita percaya rakyat punya "anti body" untuk menghadapi semua hal yang dapat mengaacam dan menghancurkan keutuhan bangsa dan negara. karena memang perubahannya-perubahan sikap dan dukungan politik merupakan realitas politik, dari mendukung bisa jadi penentang, dari penentang bisa juga pendukung.
Oleh karena itu pilpres ini harus dilihat sebagai sarana elit berkompetisi membuat yang terbaik bagi bangsa dan negara, dengan demikian siapapun yang terpilih menjadi presiden, tetap harus rakyat sebagai pemenangnya. (ast)