Presiden Jokowi dan pasangan cawapres ke-13 akan menghadapi transformasi geopolitik dan geoekonomi pasca era multilateral WTO menuju multiple bilateral “perang dagang” dengan senjata proteksi tarif bea masuk maupun hambatan non tarif seperti fasilitas GSP. Saat ini Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari turbulensi global dan politik luar negeri RI, juga harus mencermati akrobatik politik AS dalam berinteraksi dengan Tiongkok, Rusia dan rekan serta sekutu seperti Uni Eropa, Jepang, Korea, India dan atau ASEAN dimana Indonesia menjadi jangkarnya.
Dalam kaitan ini negosiasi Freeport merupakan salah satu tonggak krusial eksistensi dan ukuran keberhasilan kinerja Indonesia dalam menghadapi persaingan dan atau “perang dagang” secara cerdas dan canggih. Oposisi menabuh genderang “perang xenophobia” yang ditanggapi dengan gelombang “over nasionalisme sumber daya alam” tapi pada akhirnya harus ada win win solution agar tidak terulang proses sengke ke arbitrase internasional yang konfrontatif dan berpotensi RI dihukum karena pelanggaran kontrak, tapi juga agar RI tidak terjebak membeli dengan harga “mahal” karena kita tidak memiliki kecanggihan “corporate raiders” seperti pemegang saham pengendali Freeport Carl Icahn.
Secara historis empiris negosiasi RI dengan Belanda pada Konfrensi Meja Bundar dan beberapa kasus nasionalisasi korporasi yang berlika-liku dapat menjadi pelajaran sebagai bekal agar tidak terulang lagi blunder masa lalu yang antara lain:
1. Indonesia pernah harus mewarisi utang Hindia Belanda 1,1 milyar dolar AS pada KMB 1949
2. RI menasionalisasi via pembelian saham Javasche Bank menjadi Bank Indonesia 1953
3. RI menasionalisasi perusahaan Belanda 1957 dan memindahkan lelang tembakau dari Rotterdam ke Bremen yang disetujui oleh Pengadilan Hamburg (DR. Sudargo Gautama sebagai pengacara mewakili RI dalam sengketa perdata internasional itu)
4. Awal Orde Baru 1967 RI harus mengembalikan perusahaan Belanda yang disita 1957
5. Pertamina membeli Shell melalui negosiasi dengan cicilan bertahap pada1970
6. Malaysia membeli Guthrie langsung dari bursa London PM Thatcher merasa kecolongan
7. Indonesia kalah dan didenda Arbitrase pada kasus pembatalan kontrak Karaha Bodas
8. RI seharusnya setara corporate raider Carl Icahn dalam akuisisi saham induk Freeport . (cmk)
Dinamika divestasi Freeport (cq Rio Tinto) menjadi topik yang seksi minggu-minggu ini, baik dari sisi pemerintah, maupun dari sisi pemerhati kebijakan pertambangan. Dalam hal ini, pemerintah merasa selangkah didepan, meskipun divestasi 51 persen ini belum benar-benar terjadi. Dengan kata lain, saham pemerintah melalui PT. INALUM (Holding BUMN Pertambangan) masih 9,36 persen, dan belum terjadi transaksi jual beli saham.
Meskipun demikian, kesepakatan tertanggal 12 Juli 2018 dalam bentuk HoA (Head of Agreement) itu perlu diapresiasi, setelah 3,5 tahun perjuangan menegosiasikan kontrak karya Freeport agar bisa dinikmati secara dominan oleh bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Papua. Tentu apresiasi tersebut hendaknya tidaklah juga berlebihan atas prestasi tersebut. Apalagi memunculkan eforia masyarakat, karena sesungguhnya merupakan kewajiban yang harus di lakukan Pemerintah.
Seperti diketahui, bisnis pertambangan merupakan bisnis yang komplek yang melibatkan banyak kepentingan, dan banyak keuntungan. Perjanjian-perjanjian di atas tersebut harus benar-benar dicermati oleh pemerintah pada hal masalah-masalah detailnya. Terlebih lagi, para negosiator Indonesia kerap merasa puas akan hal-hal yang umum saja. Yang pada akhirnya, pihak Indonesia lah yang pasti di rugikan tanpa disadari.
Sesungguhnya bila pemerintah transparan dan akuntabel maka apa yang disepakati dalam HoA sebaiknya dibuka ke publik, hal Ini tentu dapat mencegah publik merasa dikhianati oleh pemerintahnya sendiri. Toh HoA sudah ditandatangani bukan dalam tahap negosiasi, maka keterbukaan tersebutlah menunjukkan bahwa pemerintah memang benar sungguh-sungguh menjalankan amanat UUD 1945 khususnya Pasal 33. sekaligus membangun dinamika yang baik terhadap proses pembangunan dan kebijakan yang menempatkan manusia sebagai objek dan subjek. (cmk)
Ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan terkait penandatanganan kesepakatan awal (Head of Agreement) antara pemerintah dan Freeport-McMoRan yang sempat heboh. Pertama, transaksi yang dilakukan harus dibuka secara detail dan perjanjian harus dipublish, karena masalah ini jadi perhatian masyarakat. Selain itu, para pihak yang terikat dalam perjanjian harus terang, termasuk tim negosiator. Kedua, sumber dana harus dibuka, karena ini melibatkan uang yang besar, apalagi ini sudah masuk dalam rencana kerja yang sudah disetujui? Apakah ini dari pinjaman yang diperoleh Inalum? Lalu, dari mana asal pinjaman? Berapa bunganya? Bagaimana cara bayarnya? Apa jaminannya?
Ketiga, harus dipastikan apakah Inalum dapat share, atau hanya participating interest? Tolak ukur perhitungannya apa? Apakah dana pembelian 3.5 miliar dolar AS masuk ke manajemen Freeport atau ke pemegang saham lama yang sahamnya dilepas kepada Inalum?
Ini semua pertanyaan teknis, mudah dijawab oleh Akuntan perusahaan. Semoga terbuka dan transparan!!! (cmk)
Pertama-tama kita harus memberikan apresiasi kepada upaya pemerintah Jokowi yang mampu menjalin kesepakatan awal atau Heads of Agreement (HoA) antara PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), Freeport-McMoRan Inc. dan Rio Tinto. Seperti kita ketahui, berdasrkan fakta bahwa negoisasi itu berjalan sangat alot, karena terkait adanya beberapa kepentingan pihak-pihak tertentu.
Tujuan negosiasi ini sebenarnya mengembalikan kembali, apa yang dikatakan Soekarno bahwa kedaulatan ekonomi harus dimiliki oleh negara ini. keinginan inilah yang patut kita dukung dengan segala alasannya.
Kalau ada pihak-pihak yang kritis terkait hal ini, harus dilawan dengan data-data dan fakta. Karena sebenarnya apa yang dilakukan pemerintah tidak lain demi kebaikan bersama. Di saat konstitusi di jalankan dengan lebih baik, dan tidak ada conflict of interest dan tidak ada korupsi di dalamnya, saya yakin kita mampu untuk merebut kembali. Selain itu, dalam negoisasi juga memerlukan power. Untuk mendukung kepentingan ini hanya mungkin kalau orang-orang yang melakukan negoisasi bersih dan tidak punya kepentingan. (cmk)
Ada ucapan orang bijak: "dalam politik boleh berbohong, tapi tidak boleh salah. Dalam ilmu pengetahuan, boleh salah namun tidak boleh bohong”. Kalimat ini sebenarnya yang sedang dimainkan oleh kedua belah, baik pihak pemerintah maupun kubu amien rais. Persoalan "kebenaran data", adalah kebenaran relatif yang bisa diterjemahkan dalam sudut berbeda. Terkait hal ini, bisa saja benar semua tapi bisa juga salah atau salah satunya benar.
Dalam hal ini menjadi tidak penting. Sebab dalam politik kesalahan yang diucapkan berulang ulang bisa menjadi menjadi kebenaran politik. Jika kita teliti ucapan soekarno mengajak kepada masyarakat untuk"berdikari "(berdiri di atas kaki sendiri) adalah contoh sebuah pilihan kata dalam rangka untuk membangun persepsi yang baik mandiri dan jiwa merdeka dari gangguan bangsa lain. Karena diucapkan pada saat yang tepat, maka menjadi alat kampanye yang ampuh mempengaruhi rakyat. Walaupun akhirnya rakyat sendiri akhirnya bingung merumuskan kata tersebut dalam bentuk operasional dalam kehidupan sehari hari.
Oleh karena itu, maka apa yang disampaikan keduanya saat ini publik hanya bisa menerka bahwa ke sedang membangun pangsa pasar. Apakah nantinya berhasil atau tidak tergantung kejeniusan dalam mempengaruhi pikiran masyarakat untuk mengikuti alur pikiran mereka. Semoga saja polemik ini tidak membuat kegaduhan yang berkelanjutan yang mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara. (cmk)
Penandatanganan kesepakatan awal (Head of Agereement) antara pemerintah dan Freeport-Mc Moran harus kita apreasiasi karena ini merupakan langkah awal untuk mengembali kedaulatan politik Indonesia yang selama ini sudah digadaikan pada asing. Ini bukan bentuk pencitraan dan pembodohan politik sebagaimana yang disampaikan Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais ketika menghadiri acara halal bihalal Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia di Jakarta Pusat, Sabtu (14/7/2018). Ini merupakan wujud untuk mengimplementasikan UUD 1945 khususnya Pasal 33 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara yang diperuntukkan untuk kesejahteraan dan kemakmuran yang besar-besarnya. Walaupun jauh dari tuntas sebagaimana yang disampaikan oleh Drajat Wibowo (ekonom Institute for Development of Economics and Finance), namun ini merupakan kemajuan bagi pemerintah Indonesia yang selama ini memiliki bergaining position yang lemah jika berhadapan dengan pihak asing khususnya MNC dan TNC Amerika.
Penguasaan asing luar biasa. Air, batubara, minyak dan gas, mineral dan pertambangan dikuasai oleh asing secara mayoritas. Wajar kalau negosiasi antara pemerintah dan Freeport berlangsung alot dan melalui proses panjang karena Freeport tidak mungkin mau melepaskan saham mayoritasnya sebesar 90,64 persen. Jika divestasi ini disetujui maka Freeport kehilangan hak monopolinya yang telah mereka kuasai sejak mendapat KK (Kontrak Karya) dari pemerintah tahun 1967, PT Freeport sampai kini terus mengekploitasi tanah Papua secara masif dengan menambang emas, perak dan tembaga.
Dalamperjalanannya, berbagai masalah muncul dalam hubungan pemerintah Indonesia dengan PT Freeport, terutama menyangkut jatah penerimaan negara yang kurang optimal. Selain itu posisi negara Indonesia seakan tidak berdaya untuk menangani masalah PT Freeport khususnya pada masalah lingkungan, kesejahteraan rakyat Papua, tenaga kerja dan ToT(transfer of technology). Mengapa demikian karena dibalik PT Freeport ada kepentingan Amerika Serikat yang memang sejak awalnya pemerintah Orde Baru pimpinan Soeharto di bawah pengaruh kekuasaan Amerika untuk membendung pengaruh komunis.
Kuatnya pengaruh Amerika negosiasi sejak tumbangnya Orde Baru sampai berakhirnya pemerintah SBY belum ada satu pun kesepakatan untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia atas PT Freeport. Posisi Indonesia mulai menguat setelah pemerintah Jokowi mengeluarkan PP Nomor 1 Tahun 2017 yang mengatur beberapa hal antara lain: mengenai divestasi saham hingga 51 persen, harga patokan penjualan mineral dan batubara, kewajiban pemegang KK untuk mengubah surat izin dan lain-lain.
Terbitnya PP ini mendapat respon keras dari PT Freeport yang mengganggap pemerintah Indonesia tidak kooperatif dan mengancam memberhentikan ribuan karyawan dan membawa Indonesia ke badan arbitrase internasional. Kondisi inilah yan menyebabkan berlarut dan alotnya perundingan antara pemerintah dan PT Freeport. Hasil divestasi Freeport ini harus kita syukuri dan kita harus terus men-support agar divestasi ini betul untuk kepentingan bangsa dan negara dan bukan untuk kepentingan kelompok dan golongan tertentu.
Ini merupakan titik awal kita untuk mengembalikan Indonesia berdaulat di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang budaya. Mudah-mudahan di tahun politik ini rakyat semakin cerdas dalam menerima informasi dan tidak terpengaruh berbagai bentuk propaganda dan agitasi yang akan merusak persatuan dan kesatuan bangsa. Bangun kehosifan nasional kita agar panetrasi asing tidak mengganggu integgrasi bangsa. Ingat bahaya NEKOLIM (Neo-kolonialisme dan imperialisme) tetap mengancam Indonesia. (cmk)
Polemik divestasi FI ini memperlihatkan kelakuan elite politik kita yang tak lagi obyektif dan mendahulukan kepentingan bangsa. Sehingga setiap tindakan dan kebijakan pemerintahan Jokowi pasti akan dicari titik lemahnya yang kemudian digunakan untuk mem-downgrade dan mendelegitimasi pemerintahan. Pernyataan Amien Rais di acara halal bihalal halal Dewan Dakwah Islamiyah, terlihat menafikan perjuangan pemerintah. Padahal Amien Rais sendiri pernah menjadi komisaris FI, yang artinya Amien Rais sangat paham coorperate culture di FI yang sangat sulit untuk diajak negosiasi dalam posisi setara. Jangankan untuk divestasi, untuk menaikkan royalti tambang saja tidak mau. Selain itu Amien Rais, dan para tokoh lainnya juga pasti tahu definisi dan tujuan dari Head of Agreement dalam bisnis yang harus didetailkan. Yang mana detail tersebut tidak boleh menyimpang dari kesepakatan pokok dalam Head of Agreement.
Nampaknya para elite lawan politik Jokowi telah gelap mata. Bukannya mereka memberi masukan untuk mendetailkan point-point yang menguntungkan bangsa Indonesia, tapi malah terlihat bahwa mereka menginginkan batalnya kesepakatan devistasi tersebut. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa polemik soal divestasi FI pada dasarnya hanyalah bagian dari taktik politik untuk memproduksi kegaduhan politik guna membingungkan rakyat dengan target adanya ketidakpercayaan rakyat kepada pemerintahan Jokowi.
Sebuah implementasi ilmu Sengkuni yang sebenarnya sudah tidak lagi ampuh bahkan bisa menjadi bumerang karena rakyat makin cerdas menilai kemampuan dan integritas para elit politik. (cmk)
Penandatanganan Head of Agreement (HoA) oleh Presiden Direktur Freeport McMoran (FCX) dan Direktur PT Inalum yang salah satunya tentang Divestasi 51 persen saham PT Freeport Indonesia (FI) mendapatkan kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk Amien Rais (AR). Alih-alih mengapresiasi atas diraihnya peningkatan divestasi dari 10 persen menjadi 51 persen, AR menyatakan bahwa hal tersebut hanya pencitraan, bahkan pembodohan publik. Di sisi lain, pihak istana menyatakan bahwa AR berbicara tanpa data, berbohong, dan pencitraan untuk pencalonan presiden. Siapa yang benar, siapa yang berbohong, dan siapa yang pencitraan?
Tidak perlu dicari siapa yang paling benar, karena keduanya menyatakan kebenaran menurut versinya dan kenyataannya. Benar, menurut pemerintah, bahwa telah ada kesepakatan untuk divestasi saham FI meskipun masih belum final dan masih harus melalui proses-proses berikutnya, seperti pembayaran, pembuatan Joint Venture Agreement (JVA) dan proses penerbitan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Sebaliknya AR pun benar, bahwa sampai saat ini FI masih dikuasai dan dikendalikan FCX.
Apakah ada yang berbohong? Mari khusnudzon dulu, meskipun di kemudian hari terbukti ada kesalahan di salah satu atau kedua belah pihak, kita anggap mereka tidak bermaksud berbohong.
Yang jelas kedua pihak ketika menyampaikan "kebenaran" disampaikan dengan terlalu bersemangat dan "heroik"sehingga kesan pencitraan keduanya nampak jelas. Oleh karena itu yang terjadi adalah Pencitraan versus Pencitraan. (cmk)

Terlalu berkelebihan jika publikasi mengenai Head of Agreement (HoA) yang dibuat dengan Freeport dianggap sebagai pembodohan. Hal itu dilakukan pemerintah justru sebagai pelaksanaan full disclosure dan accountability pemerintah kepada masyarakat dan bangsa Indonesia.
Siapapun mengetahui bahwa HoA itu baru langkah permulaan menuju ke tahap final yaitu perjanjian Shares Sales Purchase Agreement yang menjadi dasar penjualan dan pembelian saham Freeport sebanyak 51 persen di kemudian hari.
Namung HoA saja sudah menunjukkan intensi dari para pihak untuk menuju ke SPA. Jika pemerintah mengumumkan penandatanganan HoA Freeport tentu merupakan langkah yang baik dalam memenuhi prinsip full disclosure serta accountability itu. Jika tidak, pemerintah bisa dituduh melakukan transaksi membohongi publik pula dari pihak yang itu lagi.
Bahwa transaksi saham Freeport belum tuntas memang benar. Setiap orang tahu bahwa HoA perlu ditindak lanjuti. Namun tanpa HoA tidak bakal sampai ke tahap final transaksi saham Freeport. Tidak mungkin perusahaan induk Freeport McMoran bakal mengizinkan Inalum melakukan proses due diligence "Membedah" isi perut PTFI. Pembukuan, legalitas aset, value dari aset, nilai saham kewajiban legal, kontrak-kontrak dan lain lain ini mesti didalami dan dikaji secara meticulously sehingga Inalum tidak membeli meong dalam karung.
Lazimnya, setelah penandatanganan HoA barulah due diligence diperbolehkan dilakukan oleh pemilik Freeport Indonesia. Pelaksanaan due dilligence mesti dikerjakan oleh para accountants, lawyers, financial planners yang sangat qualified, tidak termasuk ahli politik.
Transaksi bernilai milyaran dolar oleh Inalum dengan backing kuat pemerintah tentu tidak semudah orang makan sirih. Apalagi di ujung tombak pemerintah itu ada menkeu Sri Mulyani yang memiliki pengalaman international finance di atas rerata ahli keuangan di Indonesia. Saya saja yang ikut menangani akuisisi perusahaan di AS tahun 1987 yang nilainya cuma 10 persen nilai FPI menggunakan belasan US lawyers plus 4 senior accountants PWC. Apalagi Sri Mulyani yang berkapasitas international. Jika menunggu sampai izin FPI expired bakal murah? Lalu apakah FPI diwajibkan meninggalkan semua mesin, peralatan, teknologinya saat ijin itu expires? Jika tidak tentu harus dibeli juga akhkirnya.
Marilah kita kawal dan kita dukung HoA ini jangan sampai gagal atau masuk angin karena misalnya ada papa lain yang minta saham. Perjalanan masih sangat panjang untuk mengambil kembali milik yang dulu diserahkan secara murah kepada asing. Bukankah Lao Tse mengatakan perjalanan 1000 li dimulai dengan satu li pertama. (cmk)
Diterbitkannya HoA yang telah ditandatangani yang merupakan hasil negosiasi alot bertahun-tahun, seyogyanya diapresiasi sebagai progres dari niat baik pemerintah saat ini, namun tidak perlu dirayakan secara berlebihan. Biasa saja. Semoga usaha ini ada ujungnya yang berpihak pada NKRI.
Berita tersebar saat ini terlalu hiperbolis? Bahkan pembodohan publik? Kalau ada yang menganggap demikian dapat dengan mudah ditanggulangi. Publikasikan saja kontrak kerja freeport, biar rakyat tahu masalahnya dimana. Dalam kontrak kerja dijelaskan kronologis dan siapa berbuat apa. Atau setidaknya ada 'rangkuman' kontrak kerja yang valid. Saat ini rakyat saling lempar isu tanpa dasar bukti yang cukup kuat, tanpa acuan dokumen yang ‘sahih’. Kegaduhan yang membingungkan. Lalu, kalau kontrak kerja tak kunjung terpublikasi? Berarti belum ada usaha 'pemintaran' rakyat supaya rakyat pintar, tidak dibodoh-bodohi. Entah disengaja atau tidak.
Sambil menunggu HoA terealisasi lebih lanjut lg pada realisasi perolehan saham ataupun pemilikan mayoritas bagi NKRI, masih ada yang perlu diperjuangkan. Disertai semangat 45, pemerintah kudu melakukan tuntutan ganti rugi kerusakan lingkungan yang telah dibuat oleh Freeport, yaitu buangan limbah tambang (tailing) ke sungai di sekitar wilayah operasionalnya. Setidaknya ada lima sungai yang tercemar. Ini fakta. Nilainya bisa puluhan trilyun rupiah. Nah, bisa ditukar dengan sejumlah saham yang dicita-citakan, tanpa perlu (lagi-lagi) ngutang!
Isu lingkungan tak seseksi politik. Tapi jika pemerintah sukses membobol kasus lingkungan ini, acung jempol untuk pemerintah. “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, itu pasti! Tapi perlu usaha untuk realisasi. Bukan mission impossible kok. Semoga. (cmk)