Saya yakin KPU Jabar begitu mempercayai bahwa masing-masing paslon memiliki niat baik. Karena itu, insiden kaos ganti presiden pun harus terjadi. Artinya pasangan Sudrajat-Syaikhu "nyolong" panggung kampanye Pilpres 2019, padahal momentumnya pilkada. KPU dan Bawaslu hendaknya melakukan evaluasi agar tindakan "nyolong" tersebut tidak terulang pada kampanye berikutnya. Bukan saja di Pilkada Jabar, tapi juga pada pilkada serentak 2018 di seluruh Indonesia.
Kebebasan berekspresi atau kebebasan menyatakan pendapat tidak serta merta berarti seseorang dapat bertindak dan berucap seenaknya sendiri. "Kebebasan" itu diatur dalam Undang-undang agar tidak mencederai hak-hak warga negara lainnya. Dengan demikian, hak-hak seseorang juga dibatasi oleh hak-hak orang lainnya. Misalnya, kita tidak bisa sembarangan posting pendapat di media sosial bila itu menyangkut soal privasi atau pun nama baik orang lain.
Jadi, kebebasan berekspresi yang kita miliki tidak dapat digunakan semaunya. Tetap ada batasannya. Demikian pula, dalam hal pilkada maupun pemilu. Pada tahapan kampanye, setiap paslon atau setiap orang boleh berekspresi sepanjang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Meskipun tindakan pasangan Sudrajat-Syaikhu sulit dijatuhi sanksi, namum ada baiknya untuk dipertimbangkan aturan tambahan dalam debat kampanye agar insiden kaos itu tidak terjadi. Sehingga perlu dipikirkan sebuah meknanisme yang efektif untuk mengatur sanksi yang lebih konkrit, agar ada efek jera bagi paslon yang suka "nyolong" panggung seperti pasangan Sudrajat-Syaikhu. (mry)
Tindakan pasangan Sudrajat-Syaikhu yang memamerkan kaos ganti presiden di ruang debat Pilkada Jabar terang sebagai pelanggaran kampanye. Karena tindakannya tidak terdapat korelasi dengan visi dan misi kampanye yang didaftarkan ke KPU Jabar.
Kampanye negatif semacam itu berpotensi mendapat sanksi pidana sebagaimana diatur dakam UU Nomor 6 Tahun 2017 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (Pilkada).
Oleh karenanya, penyelenggara pemilu harus memberikan sanksi kepada pasangan Sudrajat-Syaikhu, setidaknya bersifat administratif. Misalnya, mengurangi jatah kampanye untuk umum. (mry)
Tidak selayaknya panggung adu gagasan dalam forum debat Pilkada dijadikan media kampanye yang tidak ada kaitan sama sekali dengan substansi debat Pilkada. Karena itu, apa yang dilakukan oleh pasangan ‘Asyik’ pantas diberikan sanksi. Sehingga KPU Provinsi Jawa Berat harus mengambil sikap tegas dengan segera memberikan sanksi yang proporsional.
Namun demikian, sanksi yang diberikan tidak boleh sampai merampas hak dari pasangan calon (paslon) nomor urut 3 ini atau tidak diperbolehkan mengikuti debat kandidat terakhir Juni mendatang. Hal itu disebabkan, pasangan ‘Hasanah’ juga menyebut nama Jokowi yang telah jelas akan maju dalam Pilpres 2019 mendatang. Agar tidak mengesankan pemberian sanksi hanya dilakukan secara sepihak, maka meminta klarifikasi kepada paslon kepala daerah penting dilakukan.
Di lain hal, tindakan para paslon kepala daerah seperti di atas, sesungguhnya menunjukan secara konsep mereka tidak memahami hakikat dari debat publik antar paslon kepala daerah. Lebih dari itu, sesungguhnya terdapat ketidakpercayaan diri atas ide dan gagasan yang diusungnya sehingga merasa harus membawa nama tokoh nasional sebagai endorse-nya.
Guna mengantisipasi agar tidak terulangi kembali, KPU Jabar penting untuk melakukan semacam “briefing” secara mendalam kepada masing-masing paslon gubernur Jabar. Hal itu penting dilakukan, agar peran KPU sebagai jembatan pendidikan masyarakat dan demokrasi senantiasa dijalankan dengan baik. (mry)