Baca Juga
Saat ini momentumnya sudah memasuki tahun politik menyongsong Pilpres 2019. Harusnya Presiden bijaksana untuk merespons situasi ini dengan tidak melakukan aktifitas yang berbau kampanye. Bagi-bagi sembako kan bisa dianggap sebagai pencitraan dalam berkampanye. Apalagi kebijakan tersebut tidak menyasar kepada peningkatan kesejahteraan rakyat miskin. Jadi, pejabat negara--terutama yang akan bertarung kembali di pemilu--seringkali melakukan kegiatan kampanye di luar jadwal yang ditentukan Komisi Pemilihan Umum.
Secara normatif, memang kalau Pak Jokowi membagi-bagi sembako kepada masyarakat tidak bisa dianggap sebagai pelanggaran kampanye karena belum masuk jadwal kampanye. Kecuali ada aturan lain yang melarangnya dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) punya nyali untuk menindaknya.
Sekarang, sebetulnya lebih mengarah pada bagaimana mendorong para politisi--termasuk Presiden Jokowi yang digadang-gadang akan maju kembali sebagai calon presiden—untuk melakukan aktifitas politik secara bijaksana. Tidak melakukan tindakan yang bernuansa kampanye di luar jadwal. Apalagi, ini kemudian menggunkan fasilitas negara dan uang rakyat dalam APBN.
Berkaitan dengan kegiatan Pak Jokowi, memang antara aktivitas sebagai presiden dan aktivitas kampanye perbedaannya sangat tipis dan sulit dibedakan. Tetapi sangat disayangkan kalau Jokowi terlalu sering melakukan bagi-bagi sembako ketika bertemu masyarakat di beberapa daerah. Itu tidak etis karena tidak sesuai dengan moral politik. Tetapi kalau kegiatan simbolik seperti memberikan Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan bagi-bagi sertifikat itu tidak masalah, karena sudah dianggarkan.
Selain itu, kebijakan penganggaran untuk sembako sangat tidak tepat. Pertanyaannya, konteksnya untuk apa? Kalau untuk ketahanan pangan bagi masyarakat, kan sudah ada program di Kementerian Sosial atau Kementerian Pertanian. Jadi, pembagian sembako tidak perlu dianggarkan khusus.
Kalau kita berbicara soal pengelolaan anggaran yang efektif dan efesien untuk kepentingan publik, maka alokasi anggaran untuk bagi-bagi sembako sudah tidak sejalan dengan semangat itu.
Pak Jokowi mestinya sadar bahwa dia seorang presiden, bukan seorang wali kota. Jadi, kebiasaan-kebiasaan wali kota saat bertemu masyarakat harus dihilangkan. Sebab masih banyak urusan publik yang lebih besar yang seharusnya bisa dipikirkan dan dijalankan oleh Presiden Jokowi. Lagipula, Presiden sudah punya pembantu (menteri) yang melakukan layanan publik kepada masyarakat. Sebab menteri itu sebagai eksekutor kebijakan pemerintah.
Pola pendekatan Pak Jokowi memang ingin lebih dekat dengan masyarakat. Tapi sebaiknya tidak melulu dengan memberi sembako. Yang perlu didekatkan dengan masyarakat adalah kebijakan Presiden yang mampu menjadi “selimut” bagi kepentingan rakyat. (mry)
Pengadaan tas sembako bantuan presiden dan bagi-bagi sembako yang sudah berkali-kali dilakukan oleh Presiden Jokowi, memiliki kaitan dengan potensi konflik kepentingan antara Presiden Joko Widodo yang disinyalir akan mencalonkan lagi pada Pemilu 2019 dengan penggunaan anggaran negara yang seharusnya netral sesuai dengan tujuan pembangunan.
Saya kira, DPR dapat memeriksa potensi konflik kepentingan tersebut dengan memaksimalkan fungsi pengawasan. Tetapi di sisi lain, DPR juga perlu memperbaiki diri, bagaimana mungkin alokasi anggaran tas-sembako dan sembako luput dalam pembahasan APBN. Apalagi penganggarannya berada di Sekretariat Negara yang notabene bukan kementerian yang mengurusi untuk menyasar memenuhi kebutuhan hidup masyarakat.
Di tahun politik seperti sekarang ini. Segala kemungkinan penyalahgunaan mungkin terjadi. Meskipun belum memasuki tahapan pencalonan, saya kira Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) perlu tegas mengatur ini agar APBN bisa digunakan benar-benar untuk kepentingan masyarakat. (mry)
Dalam dua tahun ini, 2017 dan 2018, Presiden Jokowi memiliki program nyeleneh, bukan kegiatan yang biasa ia lakukan saat blusukan “bagi-bagi sepeda”, melainkan program bagi-bagi sembako. Kenapa hal ini nyeleneh? Karena tidak seperti bagi-bagi sepeda yang diakui Jokowi dananya dari kocek sendiri, bagi-bagi dari duit rakyat. Padahal selama ini pemerintahan Jokowi sering mengkritik beberapa program rezim sebelumnya seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) karena dianggap tidak mendidik rakyat.
Di 2017 misalnya, selain kegiatan bagi-bagi sembako Jokowi juga melalui satuan kerja Istana Kepresidenan membagikan barang lainnya seperti buku tulis serta kaos. Barang-barang ini akan diberikan langsung kepada masyarakat saat ia blusukan.
Joko Widodo masih melanjutkan kegiatan yang menuai pro kontra ini pada 2018. Tercatat ada dua kegiatan yang pada intinya bagi-bagi sembako kepada rakyat, yaitu pengadaan paket bahan pokok bantuan presiden dan pengadaan tas sembako bantuan presiden. Hal ini patut disayangkan, apalagi bagi-baginya sambil dilempar dari dalam mobil ke warga yang berlarian. Sama sekali tidak mencerminkan orang terdidik.
Tidak sedikit anggaran yang disiapkan satuan kerja Istana Kepresidenan untuk program mirip BLT ini. Total pagu anggarannya jika ditotal selama 2017 dan 2018 mencapai Rp28,7 miliar. Dari jumlah itu, untuk sembako saja menghabiskan Rp23 miliar. Sisanya untuk kaos dan alat tulis.
Program bagi-bagi sembako Jokowi ini selain nyeleneh, terasa kurang etis karena ia sendiri sudah digadang-gadang akan kembali bertarung di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Bahkan dari segi kualitas, program bagi-bagi sembako sangat jauh dari kata produktif dan sangat tidak mendidik. Jokowi seperti sedang menelan ludah sendiri dengan adanya program ini. Padahal ia mendorong agar kementerian dan lembaga yang dipimpinnya hemat besar-besaran, namun ia sendiri bikin program asal-asalan. (mry)
Realitas tindakan presiden dengan membagikan sembako yang sumbernya dari dana taktis presiden, nampaknya tidak linier dengan konsepsi etik penyelenggaraan pemerintahan. Dalam konsepsi etik, presiden selaku kepala negara tidak hanya tunduk dan berlindung pada ketentuan baku yuridis, melainkan harus pula bersandar pada dimensi etik dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Letak ketidaketisan Presiden Jokowi, setidaknya dapat dilihat pada dua hal. Pertama, pembagian sembako yang sumbernya dari dana taktis kepresidenan tidak koheren dengan tujuan melancarkan pelaksanaan tugas presiden. Sehingga pembagian sembako yang diambil dari dana taktis presiden hanya bentuk tafsir yang memaksa terhadap maksud “kegiatan lain guna melancarkan pelaksanaan tugas presiden” seperti yang termaktub dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.05/2008. Kedua, aktivitas bagi-bagi sembako begitu masif dilakukan menjelang pemilihan presiden, sehingga sulit menghilangkan kesan kampanye terselubung. Memang betul, saat ini belum masuk tahapan kampanye sehingga sulit untuk dikenakan pasal pelanggaran. Namun itu justru menjadi lebih tidak etis karena Pak Jokowi seakan memulai kampanye sebelum tahapannya dimulai dengan berbaju menjalankan tugas dan fungsi kepresidenan.
Pada aspek yang lain, langkah presiden itu seakan mengafirmasi bahwa peran Kementerian Sosial tidak mampu mengentaskan persoalan kesulitan ekonomi rakyat sehingga Pak Jokowi harus turun tangan. Oleh sebab itu, akan lebih etis jika aktivitas sosial tetap diberikan pada kementerian yang membidanginya langsung, sementara tugas presiden adalah memonitoring dan melakukan evaluasi.
Di samping itu, model pembagian sembako yang mungkin dimaksudkan untuk membantu yang miskin, akan sulit dilakukan pengukuran tingkat keberhasilannya. Oleh karena itu, sepantasnya dana taktis kepresidenan tetap digunkan untuk pos keperluan yang terkait langsung dengan tugas kepresidenan. Sementara niatan untuk ikut membantu yang miskin, dilakukan melalui optimalisasi pelaksanaan program yang dilakukan oleh kementerian terkait. Dengan demikian, akan memudahkan pengukurannya dan mengeliminasi kesan kampanye menjelang pemilihan presiden. (mry)