Baca Juga
Saya tidak paham betul mengapa Komisi Pemilihan Umum (KPU) mempertimbangkan akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Namun seharusnya KPU tak perlu mengajukan PK, karena memang tak ada upaya hukum lain.
Meski begitu, pernyataan Hasyim Asy’ari (Komisioner KPU) tidak tepat dikategorikan menyebar kebohongan, karena KPU dan Bawaslu sendiri punya data akurat untuk menyatakan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) tak lolos sebagai peserta Pemilu 2019. Sebab pada dasarnya ucapan dan tindakan setiap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) melekat atas wewenang yang dimilikinya.
Tetapi saya sepakat bahwa ucapan Hasyim Asy’ari punya dampak politis, karena bisa menimbulkan ketidakpercayaan bagi kader PKPI. Namun langkah PKPI yang melaporkan Hasyim Asy’ari atas dugaan pencemaran nama baik/menyebarkan kebohongan juga tidak wajar. Harusnya bukan dipolisikan, tetapi dibawa ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) atas dugaan pelanggaran etik. Sebab pernyataan Hasyim sangat mungkin berpotensi melanggar etika sebagai Komisioner KPU.
Dengan demikian, ucapan Hasyim tidak pantas dipolisikan. Laporan PKPI hanya buang-buang energi, begitupun rencana KPU yang mempertimbangkan akan mengajukan PK. (mry)
Penyelesaian sengketa proses pemilu sesungguhnya diselesaikan dalam dua tingkat. Pada tingkat pertama penyelesaian administratif melalui ajudikasi di Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) yang putusannya juga bersifat final dan mengikat. Namun jika terdapat keberatan, pihak pemohon atau termohon dapat mengajukan upaya hukum keberatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang diatur dalam Pasal 469 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Sementara pada tingkat kedua, pemeriksaan keberatan di PTUN yang terhadap putusannya tidak dapat diajukan upaya hukum (Pasal 471 UU Pemilu).
Yang perlu dipahami, dalam konteks sistem peradilan di Indonesia, tingkat peradilan terdiri dari dua fase/tingkat. Pertama, Judex factie adalah pemeriksaan yang memeriksa sengketa dari sudut fakta dan bukti, baik pemeriksaan di tingkat Pengadilan Negeri-PTUN (pemeriksaan tingkat pertama) dan Pengadilan Tinggi-Pengadilan Tinggi TUN (pemeriksaan tingkat Banding). Kedua, judex yuri adalah tingkat pemeriksaan soal akurasi penerapan hukumnya atas suatu perkara, yaitu di Mahkamah Agung (pemeriksaan Kasasi).
Dalam konteks UU Pemilu, pemeriksaan judex factie dilakukan pada pemeriksaan ajudikasi di BAWASLU dan PTUN. Sedangkan pemeriksaan judex jurie-nya tidak diatur. Dengan skema demikian, maka pengertian Pasal 471 UU Pemilu yang menyatakan ‘putusan PTUN bersifat final dan mengikat serta tidak bisa dilakukan upaya hukum’ harus diartikan sebagai tidak bisa banding Pengadilan Tinggi TUN dan tidak bisa kasasi ke MA.
Tetapi untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) untuk memeriksa dan menguji ‘akurasi penerapan hukum’ yang diterapkan BAWASLU dan putusan PTUN merupakan hak para pihak (KPU atau partai politik) yang tidak bisa dikesampingkan oleh alasan apapun.
Karena itu, apa yang dikemukakan oleh Komisioner Komisi Pemilihan Umum (Hasyim Asy’ari) yang menyatakan KPU mempertimbangkan akan mengajukan PK tidak salah, tidak keliru, dan tidak melanggar hukum.
Sehingga tindakan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) yang melaporkan Komisioner KPU kepada Kepolisian adalah tindakan yang berlebihan (lebay), karena laporan itu akan sia-sia. Sebab KPU sudah melaksanakan putusan PTUN. Artinya KPU sudah menundukan dirinya pada putusan PTUN. Tetapi KPU juga mempunyai hak untuk mengajukan PK, di mana upaya hukum tersebut adalah hak KPU yang tidak bisa dinafikan.
Jadi laporan terhadap Komisioner KPU ke kepolisian dengan mendasarkan UU ITE tersebut juga tidak berdasar, karena itu kepolisian harus menyatakan tidak cukup bukti untuk memprosesnya.
Memang laporan masyarakat (termasuk parpol) kepada kepolisian dalam setiap masalah adalah indikator meningkatnya kesadaran hukum, khususnya hukum pidana. Tetapi juga aparat penegak hukum ic kepolisian harus hati-hati dan profesional menanggapi setiap laporan masyarakat, satu dan lain hal untuk menghindari kesan bahwa laporan ke polisi digunakan sebagai alat politik dan alat untuk menekan pihak lain, termasuk KPU. (mry)
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang mengabulkan permohonan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) memang terkesan aneh. Keanehan tersebut setidaknya dapat didasarkan pada dua hal. Pertama, alasan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak meloloskan PKPI mirip dengan Partai Idaman, yaitu tidak terpenuhinya sebaran anggota/kepengurusan di provinsi atau kab/kota. Singkatnya, kedua-partai itu mengajukan gugatan kepada PTUN setelah sama-sama kalah dalam sidang di Bawaslu. Tapi dalam putusan PTUN justru berbicara lain yaitu PKPI lolos namun Partai Idaman dinyatakan sebaliknya.
Kedua, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) melakukan koordinasi dengan PTUN pada akhir Maret 2018. Walau yang diajak berkoordinasi bukan Ketua PTUN, sulit menghilangkan kesan adanya “arahan” agar memutus lain terhadap dua parpol yang sedang melakukan gugatan tersebut.
Atas hal itu, inisiasi KPU yang akan melaporkan dugaan pelanggaran etik hakim PTUN pada Komisi Yudisial (KY) harus didukung. Hal ini untuk memastikan putusan PTUN terhadap PKPI murni atas dasar pertimbangan yuridis-fakta empiris, bukan atas intervensi atau komando dari pihak lain. Tapi jika melihat putusan Bawaslu, sebenarnya PKPI tidak memenuhi persyaratan sebagai peserta pemilu, baik secara prosedural maupun substansi.
PKPI seharusnya tak perlu resah dengan pernyataan Hasyim Asy’ari (Komisioner KPU) mengenai rencana KPU mempertimbangan Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan PTUN. Karena Pasal 471 ayat (7) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyatakan bahwa putusan PTUN bersifat final dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain.
Oleh sebab itu, tindakan PKPI yang melaporkan Hasyim Asy’ari kepada kepolisian dengan alasan pencemaran nama baik justru menimbulkan tanya. Apa betul karena pernyataan Hasyim soal rencana PK? Atau malah PKPI khawatir karena hakim PTUN yang menanganinya akan dilaporkan ke KY? Jika kemungkinan kedua benar adanya, maka semakin terkesan bahwa putusan PTUN yang meloloskan PKPI sebagai peserta pemilu tidak netral dan tidak berdasarkan pertimbangan yuridis-fakta empiris. (mry)