Informasi yang dimunculkan Badan Kepegawaian Negara (BKN) sangat menarik. Banyak orang terkaget-kaget, ternyata selama ini ribuan ASN terpidana korupsi yang harusnya dipecat tapi rupanya masih aktif sebagai PNS. Dan selama ini juga ternyata negara mengeluarkan uang begitu besar untuk memberikan gaji kepada mereka. Ini sepertinya akibat ada miskoordinasi atau mismanajemen dalam tata kelola di pengadilan dengan BKN, termasuk di pemerintah daerah--karena ASN juga ada di daerah yang pembinanya adalah sekretaris daerah.
Informasi yang disampaikan BKN ini memperjelas bahwa selama ini ASN terpidana korupsi tidak terpantau. Saya kira, dengan temuan ini Kementerian PAN-RB harus segera mengambil langkah-langkah bersama Kementerian Dalam Negeri untuk menertibkan ASN yang sudah terbukti melakukan tindak pidana. Sebab, saya yakin masyarakat tidak ingin ribuan ASN ini masih menerima gaji dari rakyat, mendapat fasilitias, termasuk mereka mengelola anggaran. Kita khawatir nih, jangan-jangan ASN terpidana korupsi yang memang tidak bisa menjalankan tugasnya menjadi penyebab buruknya kinerja birokrasi selama ini.
Kalau temuan BKN soal ASN terpidana korupsi dibiarkan berlarut-larut, ini akan menjadi polemik yang panjang. Begitu ada putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap, maka seharusnya sudah ada tindak lanjut untuk melakukan pemberhentian secara tidak terhormat. [
Ketika ASN tersebut sudah menjalani hukuman satu atau dua tahun, misalnya, nah apakah ada kewajiban untuk mengembalikan uang yang selama ini mereka peroleh sejak menjadi terpidana korupsi? Saya pikir, mungkin akan dipilih suatu langkah strategisnya. Tetapi bisa saja menghentikan pemberian gaji itu bersamaan dengan surat pemberhentian secara tidak hormat. Artinya, gaji yang mereka selama ini mereka terima tidak dikembalikan ke kas negara. Karena memang ini kelalaian pimpinan ASN, terutama Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) instansi terkait. Nah, di sini saya kira perlu di-mention kepada para pimpinan ASN mengapa melakukan pembiaran terhadap status kepegawaian bagi ASN terpidana korupsi. Kalau memang mereka tetap melakukan pembiaran, ya, mereka juga nanti melanggar UU ASN.
Yang harus juga diingatkan adalah para Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) instansi terkait. Jangan sampai PPK ini memang sengaja untuk tidak mengeksekusi (memecat) para ASN yang melanggar Pasal 87 UU ASN. Tetapi bisa juga ASN terpidana korupsi ini adalah kerabat/keluarga dari pejabat-pejabat di daerah, sehingga para sekretaris daerah atau pembinanya tidak mengeluarkan sanksi.
Saya kira, kita perlu meminta kepada Kementerian PAN-RB, BKN, termasuk Kementerian Dalam Negeri untuk segera memberhentikan para ASN terpidana korupsi.
Terlepas dari itu, informas BKN ini memperlihatkan fakta bahwa sistem E-Government kita belum berjalan. Jadi, harusnya informasi itu linkage di seluruh kementerian dan lembaga--yang erat kaitannya dengan apa yang menjadi kewenangan masing-masing. Misalnya, ketika ada kejaksaan melakukan pengusutan terhadap ASN yang diduga melakukan tindak pidana, kemudian di pengadilan ASN tersebut terbukti melakukan tindak pidana dan memiliki kekuatan hukum tetap, maka kejaksaan langsung menginformasikannya melaui E-Government ke Kementerian PAN-RB, BKN, dan pembina ASN yang bersangkutan untuk dilakukan langkah-langkah sesuai Pasal 87 UU ASN. Sekali lagi, sudah saatnya kita membangun sistem yang terintegrasi antar kementerian/lembaga. (mry)
Terjadinya kasus seperti ini (tidak dipecatnya ribuan ASN yang terpidana korupsi) sebenarnya bukan hal baru. Bahkan banyak di level pejabat yang terlibat korupsi belum dipecat. Ada juga anggota DPR korupsi sudah di penjara, tapi masih menerima gaji. Menurut saya komitmen pemimpin kita untuk menuju good governance dan good government itu masih setengah hati. Bisa jadi para pemimpin yang tidak segera memecat ASN itu juga tersandera karena mereka juga tidak bersih.
Saya sarankan, perbuat komunikasi antar lembaga negara, kalau ada ASN yang sudah inkrah segera bikin surat tembusan agar segera dieksekusi (pemberhentian secara tidak hormat). Prinsipnya hukum harus tidak pandang bulu. Tetapi hukum harus ditopang dengan komitmen para pemimpinnya sebagai pelaksana undang-undang. Komitmen ini menurut saya yang belum ada.
Di sini kontrol pers dan media sosial penting agar birokrasi "berdaya" dan proaktif. Borok birokrasi sudah akut. Kalau tidak dikontrol bisa jadi kanker. (mry)
Sesungguhnya tidak mengherankan, adanya fakta ribuan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang tersangkut korupsi tapi masih belum dipecat dan menikmati gaji dari pajak rakyat. Ironis memang, tapi fakta-fakta demikian menjadi hal lumrah terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pun tak perlu berlebihan mengherankan realitas itu. Tinggal bagaimana ia bergerak cepat melakukan koordinasi dan memberikan rekomendasi kepada Badan Kepegawaian Negara untuk memecat PNS yang telah menjadi terdakwa kasus korupsi.
Apologi beban psikologis karena adanya faktor kekerabatan sehingga memunculkan ewuh-pakewuh untuk memecat, tentu kontradiktif dengan prinsip profesionalisme dalam bekerja. Bangunan kekerabatan antara Aparatus Sipil Negara (ASN), salah satu yang patut dicurigai karena pada mula rekrutmennya yang tidak profesional dengan mengutamakan tali persaudaraan untuk diprioritaskan masuk menjadi ASN maupun PNS. Akibatnya, ketika tersangkut persoalan seperti saat ini, kepentingan hubungan kerabat diutamakan ketimbang kepentingan bangsa. Padahal itu semua, dalam janji seorang ASN ialah senantiasa mengedepankan kepentingan bangsa dan negara ketimbang kepentingan pribadi.
Ego sektoral yang cenderung dominan antar lembaga penyelenggara negara, yang kemudian memandegkan fungsi koordinasi kiranya dapat menjadi faktor lanjutan adanya “pembiaran” ASN yang tidak dipecat karena terjerat korupsi. Lemahnya koordinasi antar lembaga negara, sesungguhnya sangat lumrah terjadi namun terus saja dibiarkan. Sebagai contoh dalam hal penentuan Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam pemilu, tiap tahun masih saja terus mengalami persoalan. Padahal kejadiannya terus berulang namun tetap saja dibiarkan. Semua itu terjadi karena koordinasi yang belum berjalan dengan baik.
Atas hal tersebut, maka beberapa langkah perlu dilakukan guna mengurai persoalan ASN di atas. Pertama, intensitas dan rutinitas pendataan harus dilakukan oleh BKN terhadap keberadaan ASN. Kedua, check and balance (kawal-imbang) antar kementerian harus menjadi budaya dalam menjalankan roda pemerintahan. Karena itu, saling lempar tanggungjawab dan pura-pura heran sudah saatnya dihilangkan. Dengan demikian, sikap kesatria mengaku salah menjadi hal yang utama karena ditunjuknya seorang menjadi menteri, dan diangkat menjadi ASN maupun PNS karena bertugas dan mengemban kewajiban untuk membereskan persoalan, bukan membiarkan apalagi mengherankan persoalan. (mry)