Sumber Foto: www.faeterj-rio.edu.br (gie/Watyutink.com)
05 April 2018 13:00Saya sudah membaca surat dari IDI tersebut. Saya kira ini hanya soal komunikasi yang tidak terjalin dengan baik dengan sejawat. Selain itu hubungan dengan organisasi seperti IDI, MKEK, dan lain-lain, juga tidak terjalin dengan baik. Akhirnya faktor-faktor ini jadi lebih kuat dibandingkan faktor akademis.
Pada surat itu disebutkan bahwa dr Terawan tiga kali tidak menghadiri panggilan dari PP IDI. Hal ini membuat IDI beranggapan bahwa dr Terawan telah melakukan pelanggaran etik yang berat. Sehingga berakhir dengan pemecatan dari keanggotaan IDI.
Sebetulnya hal ini tidak akan terjadi jika dr Terawan bersedia menghadiri panggilan PP IDI dan menjelaskan tentang metode terapi yang dilakukannya. Sebab pada dasarnya IDI membuka peluang seluas-luasnya bagi para dokter untuk berinovasi dan berkreasi dalam menangani pasien.
Namun hal itu tentu ada tata caranya, ada kode etiknya. Selain itu harus ada Evidence Based Medicine (EBM) atau pembuktian ilmiah dari temuan tersebut. Hal inilah yang sebetulnya hendak dilakukan IDI dengan memanggil dr Terawan. Sangat disayangkan dr Terawan tidak memenuhi panggilan tersebut.
Padahal sebetulnya melalu pertemuan itulah dr Terawan bisa menjelaskan apa dan bagaimana dari temuan-temuan atau inovasi-inovasinya. Jadi menurut pendapat saya ini adalah akibat dari kegagalan komunikasi dan bukan permasalahan akademis atau hal-hal yang berkaitan dengan inovasi-inovasi dr Terawan dalam melakukan terapi atau penyembuhan kepada pasien. (ysf)
Sebagai instansi pemerintah yang membidangi riset dan teknologi, Kemenristekdikti selalu memberikan apresiasi kepada siapapun yang berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan. Terutama temuan-temuan atau inovasi yang terkait dengan pengembangan ilmu pengetahuan.
Namun Kemeristekdikti tidak bisa bekerja sendiri dan harus selalu bekerja sama dengan kementerian terkait. Jika penemuan itu terkait dengan kesehatan harus bekerjasama dengan Kemenkes, jika penemuan itu terkait dengan teknologi infomasi harus bekerjasama dengan Kementerian Kominfo dan lain-lain. Kemenristekdikti tidak bisa melangkahi wewenang dari kementerian terkait.
Sebagai contoh, alat yang ditemukan oleh Prof Warsito. Kemenristekdikti sangat mengapresiasi Prof Warsito yang berhasil menemukan rompi dan helm yang mampu meminimalisir perkembangan sel kanker. Namun ternyata Kemenkes belum mengakui dan mengizinkan penggunaan alat hasil temuan Prof Warsito tersebut. Pasalnya menurut Kemenkes ada beberapa persyaratan yang belum dilakukan oleh Prof Warsito, seperti uji klinis dan sebagainya.
Apresiasi juga diberikan kepada DR Khoirul Anwar yang berhasil mencitakan teknologi broadband 4G LTE. Namun lagi-lagi diperlukan izin dari Kementerian Kominfo yang membidangi teknologi informasi sebelum temuan tersebut dikembangkan lebih luas.
Seorang peneliti memang harus melalui beberapa prosedur sebelum hasil temuannya bisa disebarluaskan, sebelum alat-alat yang berhasil mereka ciptakan diproduksi dan diperjual belikan. Salah satu prosedur yang harus dilakukan adalah uji coba untuk melihat sejauh mana kemampuan dari alat yang telah ditemukan tersebut. Setelah uji coba yang juga disaksikan publik dilakukan maka Kemenristekdikti akan memberikan pengakuan apakah hasil temuan ini adalah sebuah inovasi atau inventor.
Penelitian seringkali terkait dengan pasar. Artinya setelah dinyatakan berhasil sebuah temuan akan diproduksi untuk selanjutnya dipasarkan. Disinilah wewenang dari kementerian terkait untuk memberikan ijin atau tidak. Kemenristekdikti tidak bisa melangkahi wewenang kementerian terkait. Maka jika ditanya apakah negara sudah memberikan perhatian dan penghargaan terhadap orang-orang yang telah berinovasi maka jawabnya negara sudah memberikan apresiasi. Namun apakah hasil temuan itu akan hasil temuannya akan diproduksi dan diperjualbelikan maka wewenangnya berada di kementerian terkait. (ysf)
Menurut saya yang terjadi pada kasus dr Terawan ini adalah penyakit bangsa ini dalam melihat sebuah inovasi. Seringkali bangsa ini tidak percaya dengan inovasi. Mungkin dulu saat menemukan listrik, Thomas Alva Edison juga dianggap orang gila. Hasil temuannya dianggap sesuatu yang tidak masuk akal. Tapi saat ini semua kehidupan manusia menggunakan listrik hasil temuan Thomas Alva Edison.
Begitu juga dengan apa yang telah dilakukan oleh dr Terawan. Dia berhasil menemukan semua metode penyembuhan yang selama ini mungkin belum terpikirkan oleh para dokter. Tapi anehnya dr Terawan justru dianggap melanggar kode etik dan sebagainya.
Kalau dikatakan bahwa dr Terawan tidak kooperatif terhadap panggilan dari IDI, maka pertanyaanya apakah pemanggilan itu sudah dilakukan dengan benar? dr Terawan ini kan tentara berpangkat Mayor Jenderal, maka untuk memanggilnya harus ijin Panglima TNI. Apakah itu sudah dilakukan?
Sebagai pasien dari dr Terawan saya merasakan bahwa metode “cuci otak” sangat luar biasa. Saya menderita migrain yang akut. Jika sedang kambuh saya sampai hampir pingsan. Saya sudah berobat ke berbagai negara, tapi tidak sembuh. Setelah berobat dengan terapi DSA dr Terawan saya sembuh. Sampai sekarang migrain saya tidak pernah kambuh.
Pasien yang sudah disembuhkan dengan terapi DSA dr Terawan sudah banyak dan bukan hanya dari dalam negeri. Saya juga bertemu dengan seorang dokter dari Amerika yang anaknya menderita autis. Setelah terapi secara rutin, anaknya berangsur sembuh. Akhirnya dokter itu menetap di Indonesia agar bisa melanjutkan proses penyembuhan anaknya.
Hal yang sama juga pada pasien dari Bangladesh yang menderita kebutaan. Selama bukan karena kerusakan kornea maka kebutaan itu bersumber dari otak. Setelah mendapat terapi “cuci otak” pasien tersebut sembuh. Ini bukti yang tak terbantahkan bahwa terapi dr Terawan sangat bermanfaat. Maka pertanyaanya apa alasannya hingga dr Terawan dikenai sanksi oleh IDI?
Prestasi dr Terawan juga terlihat selama memimpin RSPAD Gatot Subroto. Rumah sakit ini bukan hanya melayani anggota TNI tapi juga masyarakat umum. dr Terawan menerapkan subsidi silang selama memimpin RSPAD Gatot Subroto sehingga semua masyarakat bisa merasakan pelayanan kesehatan terbaik. Ini kan sebuah inovasi, baik dalam teknologi kesehatan maupun dalam mengelola rumah sakit.
Sayangnya bangsa ini tidak pernah menghargai sebuah inovasi. Dulu BJ Habibie membuat pesawat CN 235 diketawai. Sekarang dr Terawan menemukan terapi DSA justru dihujat serta masih ada inovasi-inovasi lain yang kurang dihargai. Padahal semua itu tidak diperoleh dengan mudah. Butuh riset dan penelitian bertahun-tahun yang membutuhkan biaya. Anehnya semua itu tidak dihargai. Lucunya justru kita lebih menghargai hal-hal yang berbau supranatural yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Anehnya Dimas Kanjeng yang bisa mengeluarkan uang dari kantongnya justru dianggap amazing.
Inilah kelemahan bangsa kita yang tidak pernah menghargai sebuah inovasi. Sifat ini harus segera diubah agar bangsa kita lebih terbuka menerima dan menghargai sebuah inovasi. Hanya inovasi yang bisa membuat bangsa kita menjadi maju. (ysf)