
Baca Juga
Istri ZA dilihat dari kondisinya sangat lemah. Pertama, dia tahu betul dalam proses penangkapan suaminya hingga ditahan tidak sesuai prosedur. Dan dampak pemberitaan (tuduhan pelecehan seksual terhadap suaminya) sangat luar biasa secara psikologis. Hal ini terjadi pada istrinya, ibunya, anaknya, dan seluruh keluarganya. Kita tahu telah hampir 18 hari (wawancara Kamis, 15/2/2018--red) ditahan lewat proses yang tidak sesuai (prosedur).
Dia kini tengah menunggu kepastian (nasib suaminya). Lalu tidak ada upaya juga dari pihak-pihak yang terkait. Untuk itu istri ZA mengadu ke beberapa lembaga negara seperti Ombudsman dan Fraksi PDI Perjuangan Komisi 3 DPR RI. Kami mengadu telah terjadi suatu penggiringan opini secara paksa yang menurut kami harus segera diluruskan. Salah satu pengakuan dari istri ZA, suaminya dipaksa mengaku oleh pihak rumah sakit dan dijanjikan nanti tidak akan diapa-apakan.
Soal pelecehan seksualnya sendiri perlu pembuktian lebih lanjut karena tidak ada saksi yang melihat. Dari unsur kesehatan, dan kebetulan saya juga perawat, pengambilan alat elektroda salah satunya memang menempel di dada. Itu tindakan baku, sehabis tindakan ada penempelan itu. Kita tidak tahu persis yang dituduhkan itu--meremas payudara dan sebagainya--kita tidak tahu. Yang kita tahu hal itu baru pengakuan dari si pasien. Artinya, baru dari satu pihak.
Istri ZA ingin keadilan (dengan melaporkan balik pasien WA) soal video yang diviralkan. Kami konsultasi dengan ahli hukum, (pengunggahan video) itu tak sesuai dengan prosedur. Bagaimana video itu diviralkan tanpa izin, dan menyangkut orang yang belum tentu bersalah. Lalu yang dituduh melecehkan tidak diberikan suatu pembelaan. Itu saja titik permasalahannya. Dari pihak istri ZA ingin meluruskan berita yang beredar tak seperti itu.
Menurut Majelis Etik Keperawatan pun sudah jelas, tidak ada kode etik yang dilanggar oleh si perawat. Atas keputusan Dewan Etik itulah kami berpegang si pelaku ini tidak bersalah. Artinya, prosesnya sangat prematur ia langsung dijadikan tersangka. Kami belum menentukan untuk menuntut pihak rumah sakit atau tidak.
Sekarang ini fokusnya pada pemuatan video yang viral itu dan dampaknya. Menurut istri ZA video itu salah, sehingga ingin ada yang harus diluruskan. (ade)
Saya penyintas kekerasan seksual. Saya mengalami kekerasan seksual sejak kecil. Kalau ditanya kenapa saya tak melaporkan apa yang saya alami ke pihak berwajib, bagaimana melaporkannya? Kejadiannya sudah lama sekali, puluhan tahun lalu. Saat itu belum ada undang-undangnya. Undang-undang kita juga tak memungkinkan mengadili kejadian puluhan tahun ke belakang. Kejadian yang baru saja pembuktiannya susah, apalagi yang sudah lama.
Di Indonesia masyarakatnya seperti komplotan besar. Kalau bersikukuh mengejar (keadilan atas peristiwa sudah lama) itu malah akan back fire ke diri sendiri. Sebab, sistem hukumnya tak sebaik di luar negeri. Begitu ada laporan (kekerasan seksual), di sana perspektif korbannya jalan. Kalau di sini perspektif menyalahkan korban yang jalan.
Kesadaran masyarakat kita kalau kejahatan seksual adalah kejahatan kemanusiaan masih jauh.
Dalam kasus pelecehan seksual oleh perawat di RS di Surabaya, memviralkan sesuatu yang diyakini sebagai kejahatan--apalagi pelakunya sudah mengaku--dan sekarang kelihatannya (tuduhan) berbalik, karena ada (pihak) yang mendukung kejahatannya.
Di kasus ini ada teman sejawat dan organisasi profesi yang jadi pembelanya. Mereka kesannya ketakutan (kasus) ini jadi tuntutan hukum dan membuat orang akan sangat berhati-hati dan sangat takut pada profesi paramedik. Itu ketakutan mereka sebenarnya yang akhirnya menyerang balik korban.
Celah hukum yang mereka pakai adalah pembuktian hukumnya susah. Apalagi polisi sempat bicara video yang viral tidak bisa dijadikan bukti. Sekarang pertanyaan kritisnya: kenapa (mereka) hanya menyerang korban? Kenapa nggak menyerang rumah sakit yang mendorong (pelaku) minta maaf? Jadi menurut saya (laporan balik) ini upaya untuk membungkam korban.
Pelaporan balik oleh istri pelaku juga merupakan gambaran lain. Mereka mencoba membenturkan perempuan dengan perempuan. Narasinya: dari kasus ini ada perempuan lain (istri tersangka) yang jadi korban.
Mengenai sidang kode etik yang memutuskan pelaku telah berbuat sesuai prosedur juga bisa kita pertanyakan. Apa ada pihak independen yang dihadirkan dalam sidang itu?
Selain itu, alasan halusinasi seksual akibat pengaruh medis (obat bius) bisa merintangi proses peradilan kejahatan seksual di rumah sakit. Ini seperti upaya gaslighting (memanipulasi) balik mengkriminalisasi korban dengan alasan-alasan ketidakberdayaan. Misalnya dalam pengaruh obat bius atau penderita skizofrenia. Orang-orang tak berdaya ini jadi tak didengarkan ketika jadi korban kejahatan seksual. Padahal sama-sama manusia juga.
Apalagi (di kasus ini) perempuan dihadapkan dengan perempuan. Menurut saya perempuan telah diperalat. Kok tega banget, ya? (ade)