Menyalakan petasan atau kembang api menjelang dan saat hari-hari besar keagamaan. merupakan suatu tradisi yang telah dilakukan oleh masyarakat. Hal itu juga dilakukan dalam kegiatan hajatan, sunatan atau pun yang lainnya, sebagai bentuk keceriaan dan kemeriahan kegiatan-kegiatan tersebut.
Dari sisi bisnis memang ini sangat menjanjikan walaupun banyak pro kontra. Akan tetapi masyarakat sering melakukan pembuatan home industri secara sembunyi, inilah yang menjadi permasalahan.
Seharusnya pemerintah lebih tegas dan fleksibel dalam membuat perundang-undangan dengan meninjau aspek keamanan dan kenyamanan dalam menjalankan bisnis petasan tersebut.
Dalam ruang lingkup wilayah Provinsi DKI Jakarta, saya pribadi lebih setuju jika Pemda DKI Jakarta membuat suatu Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang hanya khusus memproduksi petasan atau mercon ini. BUMD tersebut nantinya bisa menaungi atau memproduksi petasan secara baik dan benar sesuai standar aman produksi petasan atau mercon untuk kepentingan hari-hari raya.
Selain itu BUMN tersebut bisa dijadikan ladang pemasukan untuk penambahan APBD DKI Jakarta, juga membuka lapangan kerja atau mengkaryakan atau memberikan warga masyarakat DKI Jakarta dan sekitarnya. Tentunya jika itu semua bisa berjalan sebagaimana mestinya, pengurangan pengangguran akan menjadi nilai plus. Tetapi tetap harus memperhatikan keselamat lingkungan serta AMDAL di DKI Jakarta. Dengan demikian, pemerintah telah menyelesaikan dua masalah sekaligus, tanpa menciptakan masalah baru. (ast)
Petasan atau mercon, tidak ada kaitannya dengan agama Islam. Penggunaannya pada hari Lebaran atau Idul Fithri oleh sebagian golongan dianggap sebagai bid’ah sesat, sebab di zaman Rasulullah tidak ada dan beliau tidak pernah mengajarkan bahkan dianggap tidak berfaedah sama sekali.
Akan tetapi, sebagian berpendapat lain, petasan di hari Lebaran merupakan bagian dari syiar Islam. Tradisi menyalakan petasan sudah dimulai sejak abad ke-12 di China. Dalam perkembangannya, budaya ini sampai juga di Indonesia meramaikan hari-hari besar seperti pernikahan, khitanan, dan juga Ramadhan. Perkembangan petasan memang sudah menjalar jauh yang bukan saja tradisi pada setiap perayaan saja tetapi menjadi pendapatan ekonomi masyarakat yang memperkerjakan banyak tenaga manusia setempat.
Satu sisi perkembangan dan kehadiran petasan menimbulkan keresahan serta masalah tersendiri yang harus diselesaikan oleh negara lewat pemerintah dan pemerintah daerah dengan instrumen kebijakan publik dalam mengatur dan mengelola kepentingan publik di tengah masyarakat. Di sinilah letak pemerintah sebagai administratur publik bertanggung jawab untuk memperbaiki kesehatan publik guna mempertahankan keamanan publik.
Maka dari itu kebijakan publik bukanlah ruang kosong yang dapat dijalankan dan diterima oleh masyarakat dalam setiap solusi dari setiap permasalahan maupun permasalahan baru. Melainkan kebijakan publik dimuat dengan rumusan yang dalam dan tidak hanya dari sisi pemerintah saja sebagai administratur publik, melainkan pula keterlibatan masyarakat yang ikut serta memuat rumusan kepentingan publik sehingga kualitas kebijakan publik berkualitas tinggi dengan kepatuhan masyarakat bersedia dan mampu menjalankan dari setiap hasil dari kebijakan publik tersebut.
Sehingga ketika dalam merumuskan kebijakan publik mengenai pelarangan petasan haruslah sedalam mungkin, mengingat rantai ekonomi petasan pun mulai begitu dasyat. Seperti halnya kebijakan publik pemerintah daerah tidak sekadar kebijakan publik mengeluarkan larangan dan sanksi petasan melainkan bagaimana keterlibatan masyarakat dalam ikut menentukan pengaturan dan pengelolaan yang mengatur dirinya sendiri dari kebijakan publik tersebut dalam kehidupannya di masyarakat.
Pemerintah daerah melihat dan menetapkan lewat instrumen kebijakan publik, bisa jadi keberadaan petasan diperbolehkan dengan pengaturan dan pengelolaan yang jelas dan tepat, tapi bisa jadi keberadaan petasan memang tidak diperbolehkan. Namun proses kebijakan publik tersebut haruslah jelas, dan bertanggungjawab bukan hanya sekadar pelarangan melainkan solusi alternatif di balik pelarangan tersebut yang rangkaiannya mengkaitkan kehidupan masyarakat yang harus juga dipertanggungjawaban oleh pemerintah sebagai administratur publik yang mempunyai wewenang atas kekuasaan yang di milikinya. (ast)
Petasan adalah hadil invetion atau rekayasa dari Cina yang mempunyai tradisi mengusir kekuatan jahat yang tidak nampak setiap ada acara besar. Invention petasan yang semula terdorong oleh kebutuhan untuk menciptakan kedamaian itu kemudian berkembang menjadi amunisi alutsista dan diekspor ke Barat. Kebiasaan membakar petasan untuk mengusir setan itu berdefusi atau menyebar ke kepulauan Nusantara melalui tukar menukar dan pinjam meminjam unsur kebudayaan, mengikuti berbagai jenis makanan dan busana dan unsur kebudayaan non materiil lainnya.
Pengaruh kebudayaan China itu sangat kuat di kalangan orang pantai, seperti Betawi, karena intensitas akulturasi terjadi sejalan dengan kegiatan perdagangan di lintasan kapal niaga.
Orang Betawi pun suka membakar petasan setiap mengadakan hajatan sebagai sarana pembersihan dan pengamanan dari gangguan jahat. Melekat pada tradisi tersebut, makna potletch atau pamer kekayaan dilakukan melalui kemeriahan penyelenggaran hajatan dengan sejumlah besar rangkaian petasan.
Sayang, karena alasan keamanan, tradisi yang penuh makna dan fungsional sebagai insentif untuk mencari rezeki itu dilarang. Lama lama bisa hilang bukan hanya petasannya, melainkan tradisi yang melekat. Menjurus kepemiskinan budaya yang konon harus dilestarikan
Ingatbudaya tanjidor dan cokek, bahkan lenong dan gambang kromong sudah tersisihkan. (ast)