Secara psikologis ada tempat yang nyaman dan tidak nyaman. Ada tempat yang netral dan tidak netral. Pertemuan kan tidak harus di kediaman Prabowo atau Jokowi. Di manapun bisa, yang penting tempatnya nyaman dan enak. Termasuk di stasiun MRT Lebak Bulus.
Mungkin dipilihnya stasiun MRT Lebak Bulus, sebagai tempat titik mulai sejarah peradaban bangsa. Karena MRT menjadi dimulainya sejarah peradaban itu. Dan bisa jadi pertemuan disana, menjadi awal mula sejarah persatuan antara Prabowo dan jokowi serta pendukung-pendukungnya.
Tafsir politik bisa macam-macam. Dan bisa kemana-mana. Namun apapun tafsir dari masyarakat harus kita hargai. Stasiun MRT Lebak Bulus menjadi tempat netral yang bisa diterima kedua belah pihak. Dan menjadi tempat yang baik dan positif untuk merajut kebersamaan, sambil memperkenalkan alat transportasi publik ke masyarakat.
Apapun tafsirnya kita harus berbangga kepada dua tokoh tersebut yang telah mau saling menyapa dan saling bercanda yang penuh tawa. Di manapun tempat pertemuannya pasti akan dimaknai dan ditafsirkan macam-macam. Yang terpenting mereka sudah bertemu. Sudah menjadi pintu masuk untuk melakukan rekonsiliasi.
Buat saya tak ada yang namanya penumpang gelap. Semua adalah bagian dari rakyat Indonesia. Hanya beda pandangan saja. Beda pendapat saja. Dan beda pilihan saja. Tak ada tempat bagi khilafah di negeri ini. Tak boleh juga ada yang akan mendirikan khilafah di republik ini.
Soal menelikung demokrasi atau tidak itu urusan mereka. Yang pasti dan yang jelas, Prabowo-Sandi cinta Pancasila dan NKRI harga mati. Yang diperlukan, kedewasaan berpolitik bagi masyarakat.
Demokrasi itu harus menghormati yang menang. Sekaligus juga menghargai yang kalah. Kalah menang dalam kontestasi demokrasi itu soal biasa. Yang menang, jangan jumawa. Dan yang kalah jangan kecewa. (ade)
Pertemuan Jokowi dan Prabowo di MRT menjadi perhatian masyarakat dalam minggu ini. Pertemuan dua tokoh besar bangsa ini menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat baik masyarakat “offline” ataupun masyarakat “online”. Perbincangan masyarakat tersebut bahkan melahirkan berbagai macam tafsir dan pemaknaan terhadap pertemuan dua tokoh tersebut.
Tafsir terhadap pertemuan dua tokoh besar tersebut terlihat ramai dalam dunia maya. Memang masyarakat online paling banyak memberikan penafsiran terhadap pertemuan tersebut. Menafsirkan sesuatu tidak ada salahnya, namun harus dipahami setiap tafsir yang berkembang dari berbagai pihak dalam hal ini individu ataupun kelompok, pasti hal tersebut banyak dipengaruhi latar belakang pendidikan, afiliasi partai politik tertentu, sampai berasal dari daerah mana si penafsir tersebut berasal juga turut mempengaruhi hasil dari pemaknaan tersebut.
Semiotika sebenarnya memberikan sedikit jalan tengah dari banyaknya tafsir “liar” di masyarakat saat ini, karena setiap hasil pemaknaan dari semiotika sebenarnya sudah melalui intertekstualitas, dalam bahasa sederhananya setiap pemaknaan dari sebuah tanda pasti selalu menghubungkan dengan teks yang lain. Artinya pemaknaan yang dihasilkan semiotika tidak tiba-tiba muncul tetapi sudah diperkuat data dan kajian-kajian akademis atau non akademis yang memperkuat pemaknaan tersebut.
Oleh karena itu dalam hal ini saya mencoba sedikit bersemiotika dari pertemuan Prabowo dan Jokowi, melihat berbagai gambar yang beredar di berbagai media dari pertemuan tersebut saya mengambil dua tanda yang akan saya analisis yaitu Mass Rapit Transid (MRT) dan baju putih yang digunakan oleh kedua tokoh tersebut.
Meminjam istilah salah satu tokoh semiotika Roland Barthes, bahwa ada makna denotasi dan konotasi yang bisa kita gali dari dua tanda tersebut. Secara denotatif kita bisa melihat bahwa MRT adalah sebuah kereta cepat dengan desain yang berbeda dengan kereta api pada umumnya pastinya terlihat lebih modern Sedangkan secara konotatif MRT adalah simbol kemajuan sebuah bangsa, moda transportasi modern dan salah satu solusi kemacetan yang ada di Jakarta (makna konotatif tersebut hasil dari penelusuran berbagai sumber).
Jika kita lihat secara seksama sebenarnya banyak hal yang bisa kita maknai dari pertemuan tersebut salah satunya merujuk pada hasil analisis di atas maka bisa jadi pertemuan dua tokoh tersebut di MRT merupakan sinyal bahwa mereka berdua sama-sama menginginkan Indonesia menjadi negara maju dan segera lepas dari istilah negara “berkembang”. Karena mereka bertemu dalam sebuah simbol kemajuan sebuah bangsa dalam bidang transortasi.
Kemudian baju putih yang mereka gunakan secara denotatif jelas terlihat bahwa Jokowi menggunakan lengan panjang sedangkan Prabowo menggunakan lengan pendek dengan kombinasi empat saku pakaian. Sedangkan secara konotatif baju putih bisa dimaknai adalah bentuk kesederhanaan, kebebasan, keterbukaan bahkan mampu mengurangi rasa nyeri (makna konotatif tersebut hasil dari penelusuran berbagai sumber).
Melihat dua tokoh tersebut bersama-sama menggunakan baju putih (terlepas hal tersebut disengaja atau tidak disengaja) menunjukkan bahwa kedua pemimpin tersebut sebenarnya mempunyai sifat yang sama dalam memimpin sebuah bangsa yaitu penuh kesederhanaan, dan kedua pemimpin tersebut sangat menyukai keterbukaan dalam berbagai bidang, serta yang terpentih makna baju putih menunjukkan bahwa tidak ada luka dan dendam lagi diantara kedua pemimpin tersebut. Artinya rasa sakit yang dirasakan selama Pemilihan Presiden akibat saling serang dan menghujat beberapa waktu yang lalu berangsur-angsur akan hilang.
Jika kita tafsirkan secara keseluruhan maka pertemuan Jokowi dan Prabowo yang menggunakan baju putih dan dilakukan di MRT merupakan bentuk pesan kepada publik bahwa rekonsiliasi itu sudah terjadi dan mereka sama-sama berkomitmen untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju yang pastinya akan mensejahterakan rakyatnya lewat berbagai fasilitas yang nantinya mampu menunjang produktivitas masyarakat Indonesia. (ade)