
Aksi protes yang menjalar di Manokwari, Papua Barat dan di Jayapura, Papua, yang terjadi hari ini (19/8) adalah kebebasan berekspresi dan perlawanan terhadap dehumanisasi masyarakat Papua yang berkepanjangan. Meskipun aksi pembakaran sejumlah gedung tidak dapat dibenarkan, tetapi aksi tersebut menggambarkan tentang bagaimana politik rasial yang dipelihara negara menimbulkan bahaya berkelanjutan.
Peringatan Hari Kemanusiaan Internasional, yang diperingati setiap 19 Agustus, dirusak oleh hilangnya kemanusiaan di tengah masyarakat dan tubuh aparat negara. Rentetan kekerasan, diskriminasi hingga intimidasi yang diterima oleh mahasiswa Papua di beberapa daerah dalam satu pekan terakhir mencederai kemanusiaan dan HAM.
Sejumlah mahasiswa Papua yang berencana melakukan aksi unjuk rasa di Malang menghadapi penghadangan, tindak kekerasan, dan pemaksaan oleh masyarakat, aparat, maupun pemerintah Kota Malang (15/8/2019). Intimidasi kembali terjadi di Surabaya dengan penyerbuan asrama Papua oleh aparat kepolisian, TNI, Pol PP, dan ormas (16/8/2019).
Pelanggengan rasialisme dan stigmatisasi menjadi akar rantai kekerasan yang berulang kali dialami oleh masyarakat Papua, baik secara struktural, kultural, maupun langsung. Cerminan stigmatisasi dan rasialisme tampak pada penyebutan tertentu terhadap masyarakat Papua. Sebutan yang mereduksi posisi sebagai manusia atau dehumanisasi yang bercokol dari waktu ke waktu dan menjadi legitimasi tindakan kekerasan terhadap mereka.
Pengakuan atas hak yang melekat pada mereka sebagai manusia berada di titik rawan dan rapuh sebagaimana ditunjukkan dengan frekuensi insiden kekerasan terhadap masyarakat Papua yang tinggi sehingga melanggar kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat, hak atas rasa aman, dan hak berpindah. Pelanggaran HAM dan kebebasan masyarakat Papua menjadi catatan buruk berkelanjutan karena kegagalan negara mencari solusi berkeadilan di Papua.
Harus ada tindakan tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh aparat dan Papua sebagai preseden pengurangan tindakan represif sekaligus memastikan kebijakan ketidakberulangan (guarantees of non-repetition). Paralel dengan langkah itu, Kapolri juga memastikan dampak ikutan dari dehumanisasi di berbagai daerah tidak menjadi pemicu kekerasan terhadap masyarakat Papua, termasuk memulihkan segera kondisi Papua pasca-aksi massa. (yed)
Perkembangan perjalanan sejarah bangsa-bangsa umat manusia di dunia, rasisme adalah hal yang paling dikecam dari berbagai bentuk diskriminasi yang terjadi di dunia.
Sejarah mencatat peristiwa holucoust di Jerman (menimpa Kaum Yahudi), di Amerika Perjuangan mengakhiri rasisme oleh Marthen Luther King Jr terhadap orang kulit hitam (Negro) Black American, sebagian bangsa lain di belahan dunia juga memperjuangkan hal sama, baik pada saat masih dalam masa colonial dan pasca Kolonial (new colonialism).
Situasi diskriminasi rasis yang dialami oleh Orang Asli Papua (OAP) yang di Surabaya, Malang dan Semarang beberapa waktu lalu, bukanlah peristiwa baru namun secara struktur dan sistematis rasisme telah terjadi sejak Integrasi Papua ke dalam NKRI hingga saat ini (1969-2019) sehingga ketika peristiwa tersebut terjadi maka secara spontan terjadi kebangkitan masyarakat sipil di Papua untuk melawan rasisme dan politik diskriminatif.
Sejak kebijakan transmigrasi nasional diperlakukan ribuan masyarakat jawa, sumatra, sulawesi datang ke Papua untuk membangun kehidupan ekononi mereka secara baik, mereka diberikan tanah adat yang luas dan keleluasaan untuk membangun kehidupan mereka secara damai.
Aksi demonstrasi gabungan masyarakat papua di berbagai kota di papua & papua barat memprotes rasisme OAP di Jawa merupakan titik balik ketidakpercayaan Orang Papua terhadap negara. Sikap ini perlu dihadapi secara serius secara hukum sesuai dengan Undang-Undang Anti Rasisme Pasal 40 Tahun 2008.
Jika tidak diproses secara baik dan berkeadilan maka rasisme akan berkelanjutan secara luas di Indonesia. Mengutip sambutan Gubernur Papua Lukas Enembe, pada 19 Agustus 2019 dalam sambutannya di depan massa di halaman kantor Gubernur "jika rasisme masih tetap berlanjut dan otsus akan berakhir pada 2021 dan jika belum menunjukan kemajuan pembangunan demokrasi dan penghargaan terhadap harkat hidup Orang Asli Papua maka kedaulatan sepenuhnya saya serahkan kepada rakyat Papua ".
Dalam pidato Presiden Joko Widodo menyampaikan "kita harus saling memaafkan", menurut hemat saya sikap presiden harus didukung oleh proses hukum berkeadilan dan berperikemanusiaan.
Negara harus hadir secara nyata dengan tindakan yang jelas, jika tidak maka kepercayaan Rakyat Papua terhadap Jakarta semakin meningkat, dan implikasi politiknyapun akan semakin memanas dan meluas. (yed)