
Baca Juga
Benyamin Biang Kerok adalah aset perfilman nasional. Film ini mendapat aspirasi dari masyarakat cukup luar biasa. Ketika film ini naik ke panggung, ada gugatan yang menurut saya bikin kaget juga. Dari penulis kok ada gugatan? Pak Ody (Ody Mulya, produser MAX Pictures) sebagai produser film yang sudah puluhan tahun (berkecimpung di industri film), tidak mungkin menabrak aturan yang ada
Ketika kami akuisisi sebuah film, pasti ada faktor hukum (yang harus dituntaskan dahulu). Maka, ketika ada gugatan saya secara pribadi tanya ke Pak Ody, "Pak, akusisi film Benyamin legal standing-nya bagaimana?" (Dijawab) itu proses (akuisisi) sejak 2010. Pak Ody bilang semua proses hukum (legalisasi) itu sudah dibuat (dilakukan).
Sah-sah saja orang melakukan upaya hukum, mengugat pada MAX Pictures sampai puluhan miliar. Ini bukan urusan uang. Tapi (kami lakukan) mediasi. Ketika ada gugatan dari Syamsul, Pak Ody ada (melakukan) mediasi. Dia tawarkan banyak hal. Memanusiakan posisinya (Syamsul Fuad).
Tapi dalam proses perjalanan kami nggak tahu. Ketika masalahnya sampai pengadilan tuntutannya hampir Rp13 miliar. Ketika tuntutannya (inginkan) uang, kami tahu tuntutan hak cipta ini tidak gampang (proses hukumnya). Ketika persoalan sudah ke (tuntutan) uang, kami akhirnya responnya juga sama.
Kami menggugat juga bukan hanya uang. Tapi permintaan maaf dan 1000 rupiah. Kalau mau selesai dengan musyawarah oke, tapi kalau mau terus ya kita lanjut. Kalau mau damai, besok pun kami cabut (gugatan balik ke Syamsul). Dalam kasus ini kami posisinya memanusiakan orang.
(Lagipula) kalau gugat pada Pak Ody salah alamat. Beliau sebagai pembeli (hak cipta), di situ ada transaksional (penjual dan pembeli), masuk ke produk perjanjian. Kalau menuntut (seharusnya) ya ke penjual, kami seharusnya hanya turut. Bukan malah menjadi tergugat. (ade)
CATATAN: Disampaikan di depan media Kamis malam, 19 April 2018 di Plaza Semanggi, Jakarta Pusat.
Kemungkinan kasus saling gugat produser Benyamin Biang Kerok dan penulis skenario film aslinya Syamsul Fuad ini bisa berdamai, karena ini hanya masalah uang. Saya sendiri bersedia menjadi juru damai untuk jadi perantara.
Masalahnya, dari pihak Syamsul Fuad tidak mau berhubungan dengan anak alm. Benyamin S., Beno Benyamin. Sementara dari pihak Ody Mulya Hidayat (produser MAX Pictures), semua hak cipta film Benyamin sudah dibeli dari pihak ahli waris. Jadi, di isi perjanjian (jual-beli hak cipta) itu ada delik, tidak ada tuntutan dari pihak ketiga. Dalam hal ini Syamsul Fuad adalah pihak ketiga.
Sejak awal (sebelum ramai diberitakan), ada usulan untuk memberi kompensasi materi pada Syamsul Fuad sejumlah Rp25 juta. Ody bilang, uang itu bukan dari dia sendiri, tapi harus dibagi antara ia dan Beno Benyamin. Tetapi rupanya Syamsul Fuad menolak, karena tidak mau berhubungan dengan pihak Benyamin.
Akhirnya timbul masalah seperti ini. Belakangan, dari pihak Falcon Pictures (satu grup usaha dengan MAX Pictures) juga kesal. Mereka punya hak penuh atas film Benyamin. Maka mereka menuntut balik (dengan alasan) karena ada heboh (pemberitaan) gugatan ini, filmnya kurang mendapat respon di bioskop. Padahal penontonnya sudah 700 ribuan.
Omongan seharusnya dapat 6 juta penonton itu bisa saja (jadi alasan). Karena mereka pernah meraih penonton terbanyak sepanjang masa lewat Warkop DKI Reborn-Part I sebanyak 6 juta sekian. Mereka mengira bakal dapat jumlah penonton yang sama. Padahal, tidak ada orang yang bisa meramal Benyamin Biang Kerok (2018) bisa mendatangkan 6 juta penonton.
Maka, menurut saya pribadi, alasan itu hanya dicari-cari. Alasan itu nggak kuat. Banyak orang yang tak tahu-menahu tentang kasus ini, kok. Kecuali di kalangan wartawan. Kalau orang awam banyak yang tak tahu. Banyak juga teman wartawan yang bukan bidang film, tak tahu mengenai kasus ini. Karena media-media besar, seperti harian Kompas atau majalah Tempo belum bahas kasus ini sedikit pun.
Kalau saling ngotot ini tentu akan ke persidangan. Kita nanti akan dengar keputusan hakim seperti apa. Namun angka yang bermiliar-miliar itu angka yang terlalu besar.
Di Indonesia pernah terjadi kasus serupa pada awal 2003, produser Raam Punjabi digugat penyanyi dangdut A.Rafiq. Dia menuntut Raam atas film Pandangan Pertama. Lagunya pakai punya A.Rafiq yang terkenal "Pandangan Pertama." Tapi kemudian oleh Raam filmnya dijual untuk tayang di TV dan diedarkan dalam VCD. Lalu A.Rafiq menggugat karena ia menjual lagu untuk film bioskop, bukan untuk TV atau VCD. Dia minta ada pembayaran royalti. Hasil pengadilan, A.Rafiq kalah, karena film adalah hak milik produser. Mau jual ke stasiun TV atau ke format VCD/DVD hak dia sepenuhnya. Penulis skenario sudah tak punya hak lagi.
Misal di Hollywood, film Ben Hur ketika dibuat ulang apa ada ribut-ribut? 'Kan nggak. Misal pemain asli atau penulis skenarionya nggak ribut minta royalti. Di Indonesia, baru edar film Arini, remake film sama. Nggak ada tuntutan apa-apa. Atau Badai Pasti Berlalu, dulu dibuat Teguh Karya, lalu dibuat ulang Teddy Soeriaatmadja tahun 2007. Nggak ada masalah. Kalau semua merasa punya hak, nanti semuanya, dari sutradara, pemain, pada menuntut.
Intinya, kasus ini sebaiknya jangan diselesaikan di pengadilan. Hanya angkanya saja tinggal disepakati. (ade)
Apa sebuah gugatan hukum membuat sebuah film tidak laku? Jawabannya bisa iya, bisa tidak. Maksudnya, pemberitaan semacam (bahwa ada gugatan) itu bisa justru meningkatkan jumlah penonton. (akibat pemberitaan gugatan terjadap suatu film) publikasinya menjadi luas. Maka kemudian, jika dibilang filmnya tak laku karena ada gugatan hukum, dia (yang menggugat) harus bisa buktikan dengan riset. Tidak bisa cuma ngomong.
Di dalam kasus gugatan hukum Benyamin Biang Kerok (2018) ini kan penggugat (MAX Pictures) mengasumsikan filmnya (seharusnya) ditonton enam juta orang. nah, darimana mereka dapat mengasumsikan penontonnya harus enam juta? Itu harus pakai riset. Kalau tidak pakai riset, itu namanya asumsi, yang kebenarannya masih diragukan.
Kan ada dalil yang mengatakan "Semakin diberitakan, semakin banyak digosipkan, maka orang semakin tahu. Karena semakin tahu orang akan penasaran." Nah, ketika penasaran, orang akan cenderung menonton.Sekarang produser datang dengan asumsi terbalik: Karena diberitakan ada sengketa, maka filmnya yang seharusnya ditonton 6 juta orang, (jadi) nggak laku, cuma dapat penonton 700 ribu.
Nah, dia (pihak produser) harus buktikan, darimana angka (6 juta penonton) itu? Kalau dia bisa buktikan, maka terbukti (asumsinya). Tapi, kalau tidak bisa dibuktikan, jangan-jangan, justru angka 700 ribu penonton itu hasil dari ribut-ribut (sengketa hukum). Jangan-jangan, tanpa ribut-ribut cuma bisa dapat 300 ribu (penonton).
Produser boleh bikin asumsi atau proyeksi. Tapi kita kan sering temukan, ada film yang diasumsikan sukses, ternyata flop, merugi. Lalu ada film yang diasumsikan biasa-biasa saja, ternyata meledak. Itu artinya asumsi bisa benar, bisa tidak. Asumsi tidak bisa jadi pegangan selama todak ada hasil risetnya.
Dalam urusan hal cipta, ada dua unsur. Ada pencipta dan pemegang hak cipta. Semula, semua pencipta adalah pemegang hak cipta. Ketika pencipta menjual hak atas ciptaannya, maka pemegang hak ciptanya bukan dia lagi. (ade)