Saya kira persiapan atlet memang kurang pemberitaan. Bisa seperti itu antara lain karena dari awal belum jelas dalam Asian Games 2018 ini kita targetnya apa. Jadi kalau belom jelas akhirnya perhatian juga gak fokus ke sana. Memang secara tidak resmi kita menargetkan 16 emas minimal. Tapi target 16 emas itu memang masih meragukan. Meragukan bukan karena apa-apa, itu kan karena pengurus cabang-cabang olahraga ini kurang jelas. Mereka diminta, kamu mau targetnya berapa emas, yang mereka ajukan itu, sebagian memang tidak jelas.
Ada yang bilang dua emas dan ada yang bilang tiga emas. Padahal tidak sebaik itu, secara realistis paling cuma dapet satu emas. Jadi kurang ada yang realistis. Akhirnya kalau dihimpun dari berbagai cabang, kelihatannya 16 emas. Itu pun kelihatannya juga meragukan. Akan tetapi bisa saja nanti yang diperoleh lebih dari 16. Ya faktanya memang, mungkin sebagian besar pengurus cabang kurang jelas dalam targeting policy-nya, dan di situlah kemudian menjadi sulit dalam menentukan target yang jelas.Kalau mau 16 emas itu kira-kira masuk 10 besar gak? Kita kan tuan rumah, idealnya kalau bisa kita masuk 5 besar. Kalau 10 besar sih, ya itu posisi yang memang umum bagi Indonesia.
Karena targetnya memang belum jelas, makanya sekarang perhatian lebih kepada infrastruktur. Jadi katanya ada Tri Sukses penyelengaraan Asian Games 2018. Antara lain: pertama, sukses infrastruktur, kelihatannya tidak ada masalah dengan infrastruktur. Kedua, sukses ekonomi, meninggkatlah ekonomi karena penjualan marchandise Asian Games dan kedatangan turis-turis dari negara peserta. Dan yang ketiga, sukses prestasi, pelan-pelan perhatian akan ke sana.
Kalau kita gagal, nanti akan ada anggapan ngapain bikin-bikin infrastruktur kalau prestasinya jeblog. Tapi kalau berhasil, waduh ternyata persiapan infrastruktur memang bagus, dan prestasinya juga bagus, tepuk tangan untuk pemerintah. Tentunya pujian keberhasilan itu pasti ke atlet juga. Tapi pada akhirnya pujian itu ke pemerintah, karena pemerintahlah yang berperan sangat aktif dan sangat dominan dalam persiapan Asian games. Memang sejak awal ini pemerintah sudah ikut campur secara aktif. Awalnya kan kalau saya tidak salah budget anggaran yang disiapkan pemerintah Rp8 triliun. Tapi terus terpotong 50 persen, karena banyak anggaran yang terpakai untuk infrastruktur.
Nah dengan 4 triliun ini kurang lebih, bisa gak kita mencatatkan prestasi seperti yang ditargetkan. Karenakan anggaran itu juga terbuang bukan hanya untuk infrastruktur, tapi untuk masing-masing cabang olahraga. Yaitu untuk tryout ke luar negeri, sewa pelatih, membeli peralatan, dan sebagainya. Sampai sekarang untuk sebagian cabang sudah terrealisasi, ada yang lagi ke Amerika, ada yang ke Eropa, macam-macam lah.
Selanjutnya kalau dikatakan kita bisa mengulang prestasi Asian Games 1962, saya kira mustahil untuk menempati peringkat dua dalam perolehan mendali. Pada 1962 kekuatan di Asia masih cukup berimbang. Waktu itu walaupun negara kita baru,olahraganya relatif bagus, apalagi tuan rumah. Jadi urutan kedua udah pantas lah waktu itu. Kalau sekarang mustahil, karena kekuatan sudah tidak merata buat kita. Kita sudah tertinggal jauh, sekarang yang dominan itu negara-negara di Asia belahan utara, ada China, Jepang dan Taiwan sudah lumayan. Terus yang di Asia bagian barat, ada Iran, Iraq dan negara-negara teluk Persia. Itu dua kutub yang sudah jauh meninggalkan kita.
Kita di Asean saja terancam terus, udah pringkat 4 atau 5. Jadi memang berat, kalau peringkat perolehan medali dalam Asian Games 2018, apalagi soal 2 besar, itu mustahil. Makanya kalau 5 besar itu alhamdulilah, kalau 10 besar tidak ada yang istimewa, sama dengan sebelum-sebelumnya. Asalkan jangan terlempar dari 20 besar. Kita pernah tuh terlempar dari 20 besar, urutan 20 sekian, kalau itu memalukan. Terlempar dari 10 besar untuk ukuran tuan rumah sekarang, juga memalukan. Jadi 10 besar masih bisa diterima dan realistis. Tapi alangkah baiknya kalau 5 besar, baru terasa sebagai tuan rumah. (ast)
Pengelola negara di negeri ini memang belum secara tegas, rigid dan konsisten menempatkan olahraga sebagai bagian dari industri menyehatkan yang mempersatukan dan memajukan derap fisik, mental, cara berpikir sampai taraf kehidupan publik. Itu mempengaruhi perilaku luar dalam terhadap eksistensi Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games 2018. Sayangnya, membangun dan merenovasi total infrastruktur di seputar Jakarta-Palembang sebagai konsekuensi logis bagi setiap tuan rumah multi-event internasional, tak dilengkapi program sosialisasi yang komprehensif guna menimbulkan demam di tengah publik lapis bawah, tengah maupun atas.
Sebagai komparasi, negara lain yang jadi tuan rumah minimal dalam 2 tahun jelang gong event besar beberapa kali melibatkan media nasional dan internasional, buat lebih menggaungkan persiapan secara mendalam hingga jelang event dimulai. INASGOC sebagai badan, paling bertanggung jawab atas pelaksanaan Asian Games 2018 minim kreativitas dalam upaya mengajak ragam media nasional dan internasional buat menggaungkan event yang sesungguhnya bernilai sejarah tinggi bagi NKRI sejak kali pertama pada 1962 ini. Wakapolri sebagai Chief de Mission (CdM) dan tim kerjanya pun kurang lincah dalam upaya menggugah perhatian publik terkait lika-liku persiapan para atlet Indonesia menuju Asian Games 2018.
Harusnya, minimal sejak 6 bulan lalu, CdM ajak ragam media satroni cabor demi cabor agar arus informasi di media mainstream (TV, radio, portal, cetak) terus mengencang dan menimbulkan demam di tengah publik. Bagian media INASGOC mestinya punya skenario memunculkan atlet idola dari sejumlah cabor favorit, sebagai magnet persiapan kontingen Indonesia menuju Asian Games 2018. Itu tak dilakukan, tak heran jika mayoritas publik tak banyak tahu dan tak tergugah dengan momen bersejarah Indonesia kali ke-2 jadi tuan rumah Asian Games.
Situasi diperparah dengan lemahnya konsep branding INASGOC. Bagaimana awareness di tengah publik menguat dan jadi magnet, jika penerapan branding/promo Asian Games 2018 pun minim?Selain itu, pengelola media mainstream di negeri ini juga kurang gereget buat mengasah kreativitas konsep konten terkait momen Asian Games 2018. Mestinya, menurut saya tak harus bergantung kepada INASGOC plus berbagai kelemahannya. Mestinya, pengelola media mainstream di negeri punya clue dan effort sendiri buat mendekatkan momen sebersejarah Asian Games 2018 dengan readers-viewers-publik.
Lalu ada yang konyol juga berisiko, yaitu penetapan target Indonesia tembus deret 10 besar di klasemen akhir perolehan medali Asian Games 2018. Target yang dicetuskan Menpora Imam Nahrawi itu jelas asal ucap, sehingga berisiko menimbulkan cemooh karena bakal sulit dipenuhi. Mestinya Menpora bersama INASGOC susun dulu tim task force dengan menggandeng beberapa media mainstream pilihan buat meriset fakta dan data terkini terkait persiapan serta pencapaian atlet Indonesia. Lalu, dikomparasi dengan persiapan dan pencapaian atlet negara-negara yang masuk deret 10 besar di Asian Games 2014. Itu jadi dasar pencetusan target prestasi agar tak berkesan asal ucap dan konyol. (ast)
Bagaimana mau menang dalam setiap kompetisi olahraga khususnya Asian Games 2018, kalau tidak ada upaya tanamkan semangat sportivitas, kejujuran dan keterbukaan dalam persaingan. Anak-anak muda dihalangi pamer keberhasilan binaraga dengan pakaian minim. Lapangan olahraga dan sports venues dikomersialkan. Jumat siang pulang dini harus antri. Kemacetan kurangi waktu olahraga.
Kalo sekarang masjid terbuka untuk kegiatan politik dan sosial, mengapa tidak digunakan juga untuk olahraga? Mens sana in corpore sano untuk menanamkan sportivitas dan mengejar prestasi olahraga dan aktualisasi pribadi generasi muda ke arah yang positif.
Sementara itu pada ajang Asian Games 2018, bisakah masuk empat atau lima besar? Saya belum merasakan adanya demam kompetisi olahraga dikalangan masyarakat. Mungkin karena yang muncul pertikaian memperebutkan peluang kekuasaan dan kekayaan semata. Ya artinya kita harus sadar bahwa selama ini masyarakat dan pemerintah sejak Orde Baru hingga kini melalaikan tanggung jawab membangun manusia seutuhnya.
Diperlukan kesadaran dan tanggung jawab bersama untuk menyusun grand strategy pembangunan nasional secara menyeluruh dengan target tahunan dan lima tahunan sampai 25 tahunan. Tutup pertikaian yang mendahulukan kepentingan perorangan dan kelompok. Jangan ada yang klaim paling pandai atau paling banyak karena pembangunan manusia seutuhnya itu harus didukung semua pihak. (ast)