Secara general penurunan nilai tukar rupiah ini merupakan warning terhadap daya saing komoditas ekspor kita. Penurunan nilai tukar rupiah artinya daya saing produk kita lemah. Dengan melemahnya rupiah memang hendaknya bisa mendorong tradeable goods, atau barang-barang yang dapat diperdagangkan untuk ekspor. Tetapi masalahnya bagaimana kita bisa mendorong ekspor. Padahal sekarang saja barang-barang yang diekspor secara kuantitatif menurun.
Jika untuk memperbaiki kinerja fiskal dengan menaikkan suku bunga, maka investor asing dan domestik akan berpikir ulang. Dengan kondisi sekarang pun minat investasi rendah. Kalau diturunkan memang akan ada pergerakan, hanya saja besarannya sebesar apa, ini yang harus betul-betul dihitung.
Dalam kondisi ekonomi yang melemah seperti saat ini maka kebijakan suku bunga investasi harus mampu mendorong peningkatan gairah berinvestasi. Pemerintah sebaiknya mendorong industri-industri yang memiliki multiplier effect dan memberikan sumbangsih terhadap peningkatan ekspor.
Kalaupun didorong ke volume ekspor yang lebih tinggi maka harus dipilih industri-industri mana saja, karena tidak semua industri mampu untuk melaksanakan ekspor. Yang harus dipilih adalah manufaktur yang berbasis sumber daya. Kondisi pelemahan Rupiah ini harus jadi pendorong ekspor atau kondisi ini bisa jadi tidak berdampak apa apa terhadap ekspor. Tentu harus ada instrumen lain yang tidak hanya suku bunga, tetapi memperbaiki iklim investasi, pelayanan, kemudahan orang untuk berbisnis juga harus diperbaiki. Karena ini semua sebagai pendukung dalam upaya meningkatkan gairah investasi, dan tidak sebatas modal saja.
Dikeluarkannya 16 paket kebijakan ekonomi nampaknya belum mampu mendorong gairah investasi, karena penerbitan kebijakan tersebut seperti berbarengan waktunya sehingga tidak cukup waktu untuk mengevaluasi apakah kebijakan tersebut efektif.
Mestinya setelah ada evaluasi baru menyusun kebijakan berikutnya sehingga kebijakan yang baru akan mengefektifkan kebijakan sebelumnya.
Kunci peningkatan ekspor adalah produktivitas industri manufaktur berbasis sumber daya, salah satunya pertanian. Industri pertanian dalam arti luas harus didorong untuk ekspor tetapi sering kali dilupakan. Kita harus mulai memikirkan renewable resources. Jadi, untuk mengantisipasi gejolak nilai tukar rupiah kuncinya pada daya saing. Karena semakin terdepresiasi mata uang kita, daya saing kita sebenarnya sudah rendah khusus komoditi yang tradeable di pasar ekspor. (sar)

Keinginan ekspor itu sebetulnya ada, tetapi sulit jika tanpa dibarengi action. Dalam artian fasilitas-fasilitas untuk menunjang ekspor supaya meningkat itu belum terlihat. Program-program yang didistribusikan dengan tujuan meningkatkan ekspor juga tidak ada. Jadi, istilah dorongan ekspor itu hanya di permukaan saja.
Itulah kemudian yang harus dipikirkan. Keinginan ada, tetapi action dan treatment untuk meningkatkan ekspor itu mana?
Contohnya, mestinya sudah ada tindakan preventif menjelang adanya event-event menghadapi pemilu misalnya. Setiap kementerian atau lembaga seharusnya sudah ada saling koordinasi bagaimana agar kinerja ekspor tetap terjaga.
Adanya 16 paket kebijakan ekonomi juga tidak terlihat punya pengaruh signifikan terhadap peningkatan sektor rill kita. Jangankan sampai paket ke 16, dari paket 1 sampai paket 12 saja, lalu 12 sampai ke paket kebijakan 16 mana yang berpengaruh terhadap sektor riil? Dalam arti pemerintah punya keinginan untuk meningkatkan kuantitatif pertumbuhannya atau menjadikan penerimaan meningkat. Tapi yang ada lebih pada mengejar peningkatan kuantitatif pertumbuhannya. Upaya peningkatan ekspor itu hendaknya dapat mengejar banyak ketertinggalan di bidang ekspor kita. jangan hanya menjadi mimpi semata. Apalagi jika bicara sektor riil.
Sebenarnya selama ini bukannya kita terlena terhadap penerimaan dari hasil ekspor komoditas saja, tetapi saya tidak tahu apakah memang kita tidak bisa mempersembahkan kebijakan-kebijakan yang lebih fundamental untuk kemudian dapat mendorong peningkatan sektor riil ini. Hal-hal ini yang perlu diperbaiki.
Saya pikir kalaupun kemudian ada keinginan memperbaiki sektor riil dalam arti membuka ruang sebesar-besarnya kepada apa saja yang bisa diperbuat di dalam pasar bebas. Tetapi yang terjadi kan treatment-treatment nya tidak memberikan fasilitas kepada peningkatan ekspor. Persoalannya lebih kepada bagaimana menterjemahkan tujuan-tujuan yang ada. Lebih kepada operasionalisasinya saja yang tidak jalan dari kementerian atau lembaga yang diberi kewenangan dalam sektor riil.
Jika tidak ditreatmen dengan benar, apalagi dalam fluktuasi kurs Rupiah seperti ini, bisa jadi persolan-persoalan kemiskinan dan pengangguran akan meningkat.
Sekarang, jika BI saja sudah mengeluarkan statemen agar kinerja ekspor betul-betul didorong, berarti pak Jokowi sebagai pengelola anggaran harus cepat-cepat melakukan evaluasi terhadap kementerian atau lembaga yang ditunjuk mengelola persoalan finansial atau perekonomian. Mengevaluasi bagaimana 16 paket kebijakan deregulasi ekonomi itu bisa direspon secara operasional dan apakah sudah dilakukan evaluasi. Apakah terbukanya investasi itu benar-benar memberikan pengaruh kepada perekonomian Indonesia. Jangan-jangan diantara paket-paket kebijakan itu ada yang mempengaruhi dalam hal keterpurukan perekonomian Indonesia.
Kalau ditemukan persoalan, berarti ada yang salah. Harus dilihat kemudian, apakah yang salah pada sistemnya, atau sumber daya manusianya, atau pada anggarannya. Ketiga hal itu yang kemudian harus dilakukan evaluasi. (pso)
Semua organisasi, sekecil apapun bisa berjalan bila ada produksi. Apalagi sebuah negara. Suatu negara bisa survive bila devisa positif. Untuk bisa positif, maka ekspor harus lebih besar dari impor. Syarat-syarat untuk menunjang ekspor adalah sebagai berikut:
Pertama, sumber daya alam atau hutan. Sayangnya, sudah lebih dari 80 persen hutan kita habis dibabat sejak zaman Orde Baru. Kedua, sumber daya mineral. Sumber daya mineral milik kita yang punya nilai jual internasional juga hampir habis dikontrak karyakan, sedang negara hanya dapat income sedikit. Ketiga, regulasi yang sudah banyak berubah. kita termasuk high risk country untuk berinvestasi. Keempat, sistem moneter. Sistem yang ada sekarang kurang kondusif untuk berkembangnya Industri/produksi. Kelima, ekonomi rente yang masih merajalela menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan menyebabkan keraguan untuk berinvestasi. Keenam, mindset bangsa yang buruk dengan gap sosial ekonomi yang sangat lebar karena sistem ekonomi yang tidak berpihak pada rakyat banyak. Ketujuh, sumber daya manusia. Kita punya banyak tetapi yang berkualitas sedikit, sedang pengangguran bertambah terus. Kedelapan, utang negara yang harusnya bisa untuk segera menghasilkan produksi tetapi ternyata belum bisa dan masih perlu waktu.
Dari 8 pointers penunjang ekspor di atas hampir semua negatif. Artinya negara kita hampir tidak berproduksi. Pendapatan negara selain pajak hanya dari jualan bahan mentah/mineral dan sangat sedikit dari industri manufaktur, serta tentu dari beberapa SUN.
Dengan demikian sudah pasti dapat diukur neraca pembayaran akan selalu defisit dan devisa akan terkuras. Hal ini akan menyebabkan keniscayaan terjadinya momentum kritis dalam bidang ekonomi yang akan diikuti momentum kritis secara politik dalam waktu yang singkat, bila pemerintah tidak segera merubah sistem ekonomi ke arah konsep berdikari. Juga menjadikan Indonesia sebagai gudang pangan dunia dan tujuan pariwisata dunia.
Tata kelola keuangan negara harus fokus dalam membantu penuh permodalan program pertanian atau kelautan dan wisata, sehingga terbangun banyak pelaku ekonomi rakyat yang akan berproduksi dalam waktu singkat karena sesungguhnya bangsa ini bisa bangkit bila terbangun enterpreuner minimal 2 persen dari jumlah penduduk. Kondisi sekarang, amat jauh dari syarat minimal. Semoga! (pso)
Defisit perdagangan RI per April 2018 ini tidak terlalu membuat kaget, selain dinamika sebuah perdagangan bebas di era ekonomi digital ini, juga karena Indonesia belum bisa move on dari ekspor komoditas (raw material maupun setengah jadi) serta ekspor migas.
Selain itu kurangnya varian produk, minimnya jumlah pelaku ekspor serta minimnya industri olahan sumber daya alam sangat berpengaruh, termasuk ongkos logistik nasional.
Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam potensial, namun Indonesia belum mengoptimalkan potensi tersebut menuju negara industri berbasis olahan pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan serta hasil bumi lainnya. Jika ini dioptimalkan, maka Indonesia akan mengikuti jejak China dan India untuk menjadi negara super ekonomi.
Pelaku ekspor selama ini sebagian terjebak oleh kontrak jangka panjang ekspor komoditas dan hasil alam bernilai tambah kecil sekali. Untuk itu perlu adanya sebuah gebrakan dan sinergitas seluruh stakeholder di negeri ini untuk mengelola sumber daya alam kita mulai dari hulu sampai hilir.
Pemerintah juga perlu memperkuat sinergi dan kerjasama dengan berbagai komunitas atau organisasi berbasis usaha yang konsen kepada pengembangan ekspor nasional. Karena setiap kebijakan dari pusat tidak akan bisa terealisasi kalau tidak ada implementasi di level teknis dan ke sumber database terbawah.
Pemerintah juga tidak boleh mengesampingkan peran UKM/IKM untuk menjadi pahlawan devisa utama dalam beberapa tahun ke depan, karena sebenarnya potensi mereka sangat luar biasa untuk market global namun terkendala kapasitas produksi dan stimulus fiskal yang kurang berpihak kepada mereka.
Di sinilah perlu keseriusan dan kebersinambungan kebijakan yang benar-benar turun ke bawah, mulai dari pemetaan sumber daya alam, sumber bahan baku, infrastruktur, industri pendukung, ataupun sampai ke pelaku usaha itu sendiri.
Selain memperbaiki sektor hulu (industri berbasis olahan), perlu untuk memperkuat market intelligent dan supply informasi pasar dari luar negeri untuk para pelaku ekspor dan IKM dalam negeri dengan memperbanyak ‘tim intel market’ yang bersinergi dari beberapa kantor-kantor perwakilan pemerintah Indonesia yang berada di luar negeri. Karena sumber data informasi pasar serta kecepatan akses dari luar negeri ke dalam negeri akan ikut mempercepat eksekusi pelaku ekspor dalam negeri.
KEMI (Komunitas Eksporter Muda Indonesia) dalam hal ini sudah mulai terlibat dalam ekspor nasional dengan cara mendorong para IKM dan UKM untuk berani go ekspor sesuai misi kami, yakni mencetak sekurangnya 1.000 pelaku ekspor setiap tahun dan meningkatkan olahan sumber daya alam menjadi produk jadi berorientasi ekspor, agar varian dan volume ekspor meningkat.
Semoga sinergitas dan pola gotong royong nasional seluruh stake holder negeri ini akan menjadi awal kebangkitan ekonomi Indonesia menuju Indonesia maju 2030. (pso)