Sumber Foto: viva.co.id
10 February 2018 13:00Pasar tidak bisa dikomando, karena punya hukum supply and demand. Kalau demand naik dan Anda tidak punya supply, ya harga pasti naik. Ini mekanisme pasar yang baru diinsafi oleh Deng Xiao Ping setelah 30 tahun menerapkan Marxisme Sosialisme di Tiongkok 1949-1979. Uni Soviet meluncurkan Sputnik ke ruang angkasa pada 1957 mendahului Amerika Serikat (AS), tapi ternyata kemudian ekonominya juga tidak stangguh AS atau Eropa Barat, karena melawan hukum besi pasar ekonomi,
Program SIWAB atau apapun namanya mesti berorientasi pada pemberdayaan masyarakat peternak. Sebetulnya kan tinggal belajar saja dari Eropa Barat dan AS yang sukses melindungi sektor pertanian dari ancaman impor dari luar AS dan Eropa. Proteksi oke, tapi dalam jangka panjang harus menciptakan ketahanan dan kedaulatan sektor itu. Riwayat lahirnya APEC memicu WTO kan karena Uni Eropa agak berlebihan memproteksi produk pertanian membendung ekspor AS, maka AS menyodorkan pasar bebas APEC di KTT APEC I di Seattle 1993 dan KTT II di Bogor 1994. Soeharto malah berani teken APEC jadi pasar bebas 2020. Kalau itu dituruti, semuanya tinggal dua tahun lagi.
Tapi yang terjadi adalah proteksionisme Trump dan konfrontasi AS-RRT dalam perdagangan global, karena AS defisit dan hanya bayar surat utang kepada impor dari RRT. Jadi kita harus mawas diri, birokrat kita yang melindungi petani dan peternak itu sebetulnya "kerja apa riilnya" sebab ukurannya tentu keberhasilan tingkatkan produksi dan surplus serta ekspor.
Menteri Pertanian bukan orang partai, mestinya bisa mengatasi kepentingan partisan sektarian dalam mengelola sektor pertanian serta proteksi berkinerja sistem Eropa Barat-AS. Kita selalu sok mau bikin sistem sendiri, akhirnya tidak jadi apa-apa dan tidak mencapai apa-apa.
Keberanian Presiden tetap terbang ke Kabul meski hadapi acaman bom Afghanistan, mestinya bisa diterapkan dalam menghadapi problem proteksi berkelanjutan sektor pertanian tanpa ada imbalan kinerja sukses berupa mentasnya sektor ini dari gelombang peradaban I Alvin Toffler. Pertanian kita telah dimodernisasikan. Bulog memproteksi tapi yang kaya pengurus Bulog, petani tetap saja melarat dan subsistense. Koperasi justru tumbuh subur di Eropa, Kanada, Skandiavia, AS, dan Australia berdampingan dengan korporasi secara koopetitif.
Kita terlalu banyak mempraktikkan "perang kelas" ala Marxis yang sudah bangkrut di Uni Soviet dan RRT. Maka kita tidak kemana-mana dengan pelbagai slogan muluk dan luhur tentang kedaulatan dan ketahanan pangan. Sebab akhirnya harus kembali ke hukum besi ekonomi: efisiensi, efektivitas, dan produktivitas.
Gampang kok, kembali ke basis jer basuki mawa bea. Anda harus berkeringat untuk menghasilkan, dan prinsip ekonomi adalah dengan biaya minimal memperoleh hasil maksimal. Nah kita semua sudah mengabaikan itu karena justru mark up lebih besar dari nilai ril barang yang ditransaksikan. Korupsi high cost economy mengakibatkan pertanian juga tidak berdaya. Mirip ketika Tiongkok bikin komune yang gagal total mengakibatkan bahaya kelaparan era Mao Ze Dong 1960an. (pso)
Berdasarkan data Kemendag, harga rata-rata nasional daging sapi per 9 Februari 2018 relatif stabil sebesar Rp116.600 ribu per kilogram, bahkan turun 0,58 persen jika dibandingkan satu bulan yang lalu.
Pada pertengahan 2016 hingga saat ini, pemerintah melalui Perum Bulog melakukan importasi daging kerbau beku guna menambah pasokan daging ke pasar dan memberikan alternatif kepada masyarakat untuk memperoleh daging dengan harga yang lebih murah, sehingga diharapkan dapat menurunkan harga daging sapi. Selanjutnya pada 2017 Kemendag telah melakukan pertemuan dengan distributor daging dan pelaku usaha toko modern anggota APRINDO, yang menyepakati HET untuk daging beku sebesar Rp80.000 per kilogram di seluruh outlet toko modern anggota APRINDO di seluruh Indonesia, hal ini dilakukan guna menyediakan daging dengan harga lebih murah.
Peternakan sapi lokal di Indonesia masih bersifat tradisional (pemotongan dan penjualan dilakukan sewaktu-waktu ketika dibutuhkan), sehingga pasokan sapi lokal ke RPH tidak kontinyu, dan jumlah tidak signifikan dibandingkan jumlah sapi bakalan ex-impor dari feedlotter.
Dalam upaya meningkatkan populasi sapi lokal, pada 2016 Kementan melakukan program Upaya Khusus Sapi Wajib Bunting (UPSUS SIWAB) baik melalui perkawinan alami, maupun Inseminasi Buatan. Berdasarkan data Kementan, pada pertengahan tahun 2017 realisasi program ini sebesar 50 persen, dan diharapkan pada akhir 2017 target akan tercapai 100 persen.
Pemerintah juga telah menerbitkan izin impor sapi bakalan dan sapi indukan dari Mexico untuk menambah populasi.
Dengan tercapainya kedua program tersebut, diharapkan akan menambah populasi sapi di Indonesia, sehingga dapat memenuhi kebutuhan daging sapi nasional.
Dalam upaya meningkatkan populasi sapi lokal, perlu diupayakan optimalisasi program UPSUS SIWAB dan efektivitas impor sapi indukan ketika melakukan impor sapi bakalan oleh feedlotter, baik melalui kerangka kemitraan koperasi maupun secara mandiri. (afd)
Sebenarnya karakter masyarakat Indonesia itu lebih suka karkas daging segar daripada harus mengkonsumsi daging beku. Jadi yang dibutuhkan itu memang kecukupan dari pasokan sapi bakalan yang dipotong di dalam negeri dan dikonsumsi. Untuk itu jalannya ya harus impor kalau kebutuhan kurang. Saat ini yang terjadi alih-alih memenuhi kebutuhan daging sapi segar dengan sapi bakalan impor, tapi yang diperbanyak malah impor daging beku dari India, yang kemudian menciptakan moral hazard bagi masyarakat, terutama pedagang karena mereka lalu mengoplos daging kerbau India dengan daging sapi.
Kesimpulannya, ibarat kita sakit kepala, tapi yang diberi obat salep. Jadi tidak selesai penyakitnya. Indonesia butuh sapi bakalan untuk dikonsumsi, tapi yang diberi daging kerbau beku, akibatnya harga daging sapi tidak kunjung turun, karena pasokan terus berkurang.
Ihwal SIWAB, itu sebetulnya sama dengan dulu namanya program inseminasi buatan, dan jika itu dilakukan juga hasilnya tidak 100 persen berhasil. Karena jika sekadar menghasilkan sapi bunting dan lahir, itu baru bisa dipotong 3 tahun kemudian. Sekarang terjadi kelangkaan sapi indukan. Karena ketika harga naik, 80 persen yang dipotong itu sapi indukan/betina, dalam keadaan bunting pula (lebih kurang 30 persen). Padahal dalam UU dilarang memotong sapi bunting. Sapi jantan tidak dipotong karena disimpan untuk Idul Adha. Jadi tragedi ini. Nah, untuk memenuhi kelangkaan sapi indukan dan bakalan, kita harus impor sebetulnya, tapi impor toh sudah dipangkas kuotanya. Sehingga yang terjadi kekurangan terus menerus.
Impor sapi dari Meksiko, saya tidak tahu persis sampai dimana. hanya ketika ada info bahwa 4000 sapi indukan masuk dari Meksiko, perkiraan saya sapi indukan tersebut akan beranak 3000 ekor. Jika rasio sex nya 50 persen maka akan diperoleh 1500 sapi jantan siap potong tiga tahun kemudian.
Supaya peternak berdaya, saya sarankan secepatnya adakan bimbingan bagi peternak agar dapat memenuhi kekurangan sapi bakalan. Selain pemberdayaan peternak, mau tidak mau ya harus impor. Kedua, stop daging kerbau beku India untuk konsumsi masyarakat. Daging beku India itu sebaiknya hanya untuk industri, untuk produksi sosis, kornet, dan lain-lain. Sekaligus itu untuk menekan biaya produksi. Kita harus hindari kerusakan moral yang terjadi karena kasus pengoplosan daging tadi.
Ketiga, pemerintah tidak perlu ikut campur dalam program membuntingi sapi betina. Peternak sudah lebih paham hal itu. Yang harus dilakukan pemerintah, bagaimana membantu agar ketersediaan pakan ternak terjamin kala musim penghujan seperti sekarang. Juga kecukupan air di musim kemarau. bagi peternak. Dua hal itu amat penting. Lalu kendala-kendala lain yang bisa diidentifikasi dari peternak, harus dilakukan upaya-upaya menyelesaikannya, agar peternak bisa fokus memproduksi sapi bakalan ke depan.
Untuk swasembada tahun 2026, saya kira Pak Jokowi mungkin mendapat masukan yang kurang tepat. Butuh waktu setidaknya 30 tahun untuk itu. Saya berani bertaruh nanti apakah pada 2026 kita bisa swasembada apa tidak? Saya berani jamin tidak akan bisa. (pso)