Sebetulnya pengenaan pajak atas impor barang-barang konsumsi PPh pasal 22 ini tidak bisa kita artikan terjadinya kenaikan tarif. Kalau kita lihat dampak tidak langsung nya pasti berkonsekuensi pada harga. Untuk bisa menurunkan current account deficit (CAD) sebaiknya total impor nya memang jangan diganggu. Karena kalau kita lihat dari komponen barang impor, yang paling besar adalah barang modal dan bahan baku penolong untuk industri. Itu sudah 90 persen lebih. Tetapi impor barang modal dan bahan baku penolong tidak mungkin dikurangi. Karena akan menjatuhkan industri itu sendiri. Industri butuh komponen-komponen itu.
Kedua, kami bisa memaklumi langkah yang diambil pemerintah dengan menaikkan tarif impor PPh pasal 22. Tetapi menurut kami itu tidak akan efektif. Karena, impor barang konsumsi hanya kurang dari 10 persen dari total impor keseluruhan. Menurut kami yang paling tepat adalah dengan memotong subsidi BBM dalam negeri. Hal itu yang paling mungkin akan mengurangi tekanan terhadap CAD. Memang kami lihat banyak yang bereaksi tidak setuju. Tetapi dalam hal ini kita harus tetap berdasarkan data.
Berdasarkan hasil simulasi tim kami: memotong subsidi BBM versus menaikkan PPh impor. Menaikkan PPh impor akan ada kontraksi output atau output berkurang. Pertumbuhan ekonomi bisa berpengaruh karena kurang lebih terdapat kontribusi minus 0,18 persen kontraksi output. Dengan kurs sekarang hampir Rp50 triliun. Kedua, kesejahteraan masyarakat juga turun sekitar Rp 5 triliun akibat pengenaan PPh impor. Jadi, apa yang dikhawatirkan oleh para pengusaha itu betul.
Kemudian, pendapat bahwa pemotongan subsidi BBM akan berakibat negatif juga, itu memang benar. Tapi, mari kita bandingkan dampak negatifnya mana yang lebih kecil. Kalau dengan kenaikan 10 persen dari tarif BBM, dibandingkan dengan 8,5 persen dari tarif PPh impor, maka kenaikan tarif 10 persen BBM punya dampak jauh lebih kecil. Kontraksi output-nya cuma Rp20 triliun, artinya kurang dari setengahnya. Pendapatan rumah tangga yang hilang cuma Rp1 triliun dibanding Rp5 triliun dari dampak pengenaan PPh impor. Jadi kalau dibandingkan secara head to head, maka dampak negatif nya paling kecil dari memotong subsidi BBM.
Kedua, kalau dilihat dari efektivitas nya, kita tahu bahwa salah satu penyumbang terbesar dari defisit current account datang dari impor BBM. Bukannya impor barang konsumsi, yang mana itu kurang dari 10 persen. Juga, kemungkinan dari kenaikan PPh impor maka akan ada potensi retaliasi dari negara partner dagang. Hal itu bisa saja dijadikan bahan sengketa.
Jadi langkah-langkah lain yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi tekanan CAD memang ada beberapa hal. Untuk TKDN misalnya, kalau diperluas kita sebenarnya belum mampu karena akan menaikkan ongkos produksi. Belum lagi perluasan B20 yang butuh waktu dan butuh biaya. Belum lagi potensi subsidi nya membengkak karena harga CPO sedang naik. Maka dari segala macam hal yang dilakukan pemerintah dengan kondisi sangat kompleks sekarang, maka cakupannya jadi jauh lebih luas dan mungkin akan melebar stakeholder yang terdampak, ketimbang dengan memotong subsidi BBM yang dilakukan sekali saja secara terukur, dibanding hal-hal lain yang dilakukan pemerintah.
Hanya memang ini adalah tahun politik. Tapi ini adalah pilihan yang harus ditempuh. Mau populis atau ingin menyelamatkan ekonomi? (pso)
Efektivitas pengenaan kenaikan PPh pasal 22 untuk impor barang konsumsi itu tergantung pelaksanannya. Bahwa ada upaya-upaya strategis untuk mengurangi impor memang harus segera dilakukan jika ingin menyelamatkan current account. Masalahnya harus lebih dulu dilihat, mana yang akan dipilih. Semua “jamu” yang diminum ini belum tentu juga menyehatkan. Karena kita sudah overdosis ‘obat’ dan sekarang kita;'ditinggal' karena ternyata sudah mulai tidak sehat.
Dalam kondisi ini, maka tergantung bagaimana cara melihatnya. Karena begitu PPh impor dinaikkan, konsekwensi nya penerimaan pajaknya juga bisa naik. Tapi sekarang targetnya bukan menaikkan pajak tetapi upaya untuk menghambat impor supaya ada peralihan ke penggunaan produk dalam negeri. Jawaban dari kesuksesan langkah pengalihan itu terdapat di skema insentif bagi pengusaha atau importir yang akan menggunakan produk lokal. Kalau insentif itu tidak ada, maka ini yang menjadi kritik bagi Kementerian Keuangan bahwa sebetulnya aturan yang diterbitkan untuk pajak impor itu tidak lengkap. Mau nya menghambat impor tapi tidak disediakan insentif nya.
Insentif itu harusnya ada. Misalnya bagi sebuah perusahaan yang tadinya menggunakan bahan baku impor lalu dia mau menggunakan atau mengalihkan dengan produk dalam negeri, maka dia harus diberi insentif. Bisa saja bentuknya PPh juga misalnya.
Kalau tidak ada perimbangannya maka tidak salah jika pengusaha sebutkan bahwa kebijakan kenaikan tarif impor itu hanya menambah beban saja. Orang akan semakin susah untuk investasi di Indonesia. Tetapi jika pengusaha diberi insentif, maka pandangan negatif itu akan tereduksi dengan sendirinya.
Jadi memang tidak cukup hanya dengan menaikkan tarif lalu ada pengawasan lebih ketat dan dianggap selesai, karena pasti nanti pengusaha di dalam negeri akan kesulitan mencari produk penggantinya seperti apa. Ketika merumuskan ribuan produk impor yang terkena itu seharusnya Kemenkeu juga sudah harus mendengarkan Kementerian Perindustrian, Perdagangan, Pertanian perihal barang apa yang bisa disubstitusi di dalam negeri. Harusnya ada koordinasi di situ. Jika tidak ada koordinasi maka seolah-olah hanya menutup pintu nya lebih rapat tetapi lupa bahwa di dalam tidak ada makanan. Itu perumpamaannya.
Memang pengusaha itu terkadang mencari keuntungan saja. Karena mereka lihat barang atau produk dalam negeri itu sebetulnya ada, tetapi harga nya mahal, dan lebih murah dari produk impor. Maka yang dipiih oleh pengusaha adalah produk impor. Hanya persoalannya, jika terus-terusan impor maka rupiahnya bisa terpuruk. Sehingga barang impor yang seolah-olah murah itu menjadi mahal. (pso)
Ekspektasi penguatan dolar AS akan semakin besar jika fundamental besaran variabel makro yang mempengaruhi nilai tukar tidak begitu baik. Meningkatnya defisit neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan akan memperlemah rupiah. Dengan mengurangi defisit tersebut permintaan dolar AS akan menurun dan pada neraca transaksi berjalan yang selalu defisit selain menurunkan kredibilitas pengelolaan ekonomi juga berpotensi memperlemah nilai tukar suatu negara. Pemerintah melakukan kebijakan fiskal dengan merevisi Pajak Impor PPh Pasal 22. Upaya ini dilakukan untuk mengurangi defisit neraca transaksi berjalan. Meningkatnya defisit tersebut merupakan cerminan permintaan dolar AS yang semakin meningkat pada gilirannya secara struktural melemahkan rupiah dalam jangka menengah dan panjang.
Revisi Pajak Impor PPh Pasal 22
Sebanyak 719 jenis barang mengalami kenaikan tarif PPh dari 2,5 persen menjadi 7,5 persen. Sejumlah barang yang masuk dalam kelompok tersebut dapat digunakan dalam proses konsumsi dan keperluan lainnya. Di antaranya seperti keramik, ban, produk tekstil, hingga perlengkapan elektronik. Terdapat 218 jenis barang lainnya merupakan barang konsumsi yang sudah dapat diproduksi di dalam negeri, seperti shampo, lampu, dan kosmetik, yang dinaikkan dari 2,5 persen menjadi 10 persen. Sebanyak 210 jenis barang mewah, seperti mobil impor utuh dan motor besar yang mengalami kenaikan dari 7,5 persen menjadi 10 persen. PPh Pasal 22 untuk mobil mewah yang tadinya di kisaran 2,5-7,5 persen naik menjadi 10 persen. Pengenaan tersebut bukanlah satu-satunya, mengingat ada juga Bea Masuk, PPN, PPh, dan PPnBM.
Defisit Neraca Transaksi Berjalan dan Impor Indonesia
Berdasarkan data BPS, impor bahan baku penolong Januari 2018 masih mendominasi total impor mencapai 11,29 miliar dolar AS. Adapun impor barang modal dan konsumsi, masing-masing mencapai 2,49 miliar dolar AS dan 1,35 miliar dolar AS. Adapun share impor terbesar sepanjang Januari 2018 didominasi oleh mesin atau pesawat mekanik sebesar 2,19 miliar dolar AS atau 16,85 persen dari total impor, dan mesin peralatan listrik sebesar 1,93 miliar dollar AS, atau 14,85 persen dari total impor. Struktur impor menurut penggunaan barang masih didominasi oleh golongan bahan baku penolong, mencapai 74,58 persen dari total impor sepanjang Januari 2018.
Laporan BI mengenai Neraca Pembayaran Indonesia triwulan II 2018 menyatakan defisit neraca transaksi berjalan pada triwulan II 2018 mengalami kenaikan, tercatat 8,0 miliar dolar AS (3,0 persen PDB), lebih tinggi dibandingkan defisit triwulan sebelumnya sebesar 5,7 miliar dolar AS (2,2 persen PDB). Sampai dengan semester I 2018, defisit transaksi berjalan masih berada dalam batas yang aman, yaitu 2,6 persen PDB. Peningkatan defisit transaksi berjalan dipengaruhi penurunan surplus neraca perdagangan non migas di tengah kenaikan defisit neraca perdagangan migas. Penurunan surplus neraca perdagangan non migas terutama disebabkan naiknya impor bahan baku dan barang modal, sebagai dampak dari kegiatan produksi dan investasi yang terus meningkat di tengah ekspor nonmigas yang turun. Peningkatan defisit neraca perdagangan migas dipengaruhi naiknya impor migas seiring kenaikan harga minyak global dan permintaan yang lebih tinggi saat lebaran dan libur sekolah. Pada triwulan II 2018, sesuai dengan pola musimannya, terjadi peningkatan pembayaran dividen sehingga turut meningkatkan defisit neraca pendapatan primer.
Transaksi modal dan finansial pada triwulan II 2018 mencatat surplus 4,0 miliar dolar AS, lebih besar dibandingkan triwulan sebelumnya dengan surplus sebesar 2,4 miliar dolar AS. Surplus transaksi modal dan finansial terutama berasal dari aliran masuk investasi langsung asing yang tetap tinggi dan investasi portofolio yang kembali mencatat surplus. Surplus investasi lainnya juga meningkat, terutama didorong penarikan simpanan penduduk pada bank di luar negeri untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan di dalam negeri. Namun demikian , surplus transaksi modal dan finansial tersebut belum cukup untuk membiayai defisit pada neraca transaksi berjalan, sehingga pada triwulan II 2018 Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) secara keseluruhan mengalami defisit sebesar 4,3 miliar dolar AS. Dengan perkembangan tersebut, posisi cadangan devisa pada akhir Juni 2018 menjadi sebesar 119,8 miliar dolar AS. Jumlah cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 6,9 bulan impor dan utang luar negeri pemerintah serta berada di atas standar kecukupan internasional sebesar 3 bulan impor.
Berdasarkan data tersebut, defisit neraca transaksi berjalan disebabkan oleh kuatnya pengaruh penurunan ekspor non migas dan kenaikan impor bahan baku dan modal serta migas yang berakibat pada peningkatan defisit neraca perdagangan. Meskipun terjadi surplus di transaksi modal dan finansial, namun demikian tidak mampu menutup besarnya defisit tersebut.
Berdasarkan diagram tersebut, peranan sektor non migas dan sektor industri terhadap impor masih mendominasi impor Indonesia. Impor industri terutama digunakan untuk impor bahan baku penolong yang sangat berpotensi meningkatkan ketergantungan industri kita terhadap impor. Situasi akan menjadi lebih berat jika nilai tukar rupiah melemah, karena volume impor sulit untuk turun yang disebabkan sifat inelastis impor bahan baku penolong terhadap pelemahan rupiah. Kondisi ini akan meningkatkan nilai nominal impor dan meningkatnya defisit neraca perdagangan.
Penutup
Mengacu kepada data defisit neraca transaksi berjalan Indonesia, kenaikan tarif PPh Pasal 22 untuk 1.147 jenis barang konsumsi impor bukan merupakan obat penyembuh untuk menyembuhkan defisit structural neraca transaksi berjalan, namun lebih bertujuan mengurangi rasa “sakit” neraca transaksi berjalan, karena kecilnya pangsa impor barang konsumsi terhadap total impor.
Mengurangi ketergantungan struktural industri dalam negeri terhadap impor bahan baku penolong merupakan “obat penyembuh, karena memperkecil defisit neraca transaksi berjalan yang berkelanjutan. Memperkuat keterkaitan sektor industri baik “forward” maupun “backward” nampaknya bukan merupakan teori yang usang untuk diterapkan kembali di tengah meningkatnya ketidakpastian global yang semakin cepat waktunya sehingga perekonomian negara kita, walaupun merupakan perekonomian terbuka namun tidak sensitif terhadap ketidakpastian dan krisis yang melanda negara lain. (pso)
Defisit transaksi berjalan yang mencapai 8 miliar dolar AS per Kuartal II 2018 atau 3 persen dari produk domestik bruto (PDB). Angka tersebut melebar dibandingkan dengan kuartal II-2017 yang sebesar 1,96 persen. Nilai defisit itu juga lebih besar dibandingkan kuartal I-2018 yang sebesar 2,2 persen atau 5,5 miliar dolar AS.
Pemerintah mewaspadai defisit tersebut karena telah menimbulkan sentimen negatif yang memicu terpuruknya nilai rupiah. Untuk meredam ini, Pemerintah telah melakukan beberapa langkah, antara lain sinergi dengan OJK dan BI untuk meredam aksi spekulan, dan langkah untuk menunda proyek listrik 15.200 MW yang dilakukan Kementerian ESDM. Minggu lalu, melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor PMK 110/PMK. 010/2018 yang merupakan perubahan atas PMK 34/PMK. 010/2017, Kementerian Keuangan menaikkan tarif PPh 22 impor. Kenaikan ini dilakukan untuk mengurangi impor barang konsumsi sehingga selain mengurangi laju defisit, juga menjadi momentum penguatan produksi dalam negeri.
Menurut data BPS per Mei 2018, impor barang konsumsi tercatat sebesar 1,73 miliar dolar AS atau tumbuh 14,88 persen (month-to-month) atau tertinggi dibanding bahan baku dan barang modal. Bahkan impor barang konsumsi pada Mei 2018 ini sudah tumbuh 34,01 persen (year-on-year), melebihi impor barang baku sebesar 24,55 persen (yoy), meski di bawah impor barang modal sebesar Rp 43,4 persen (yoy).
Secara total, kontribusi barang konsumsi terhadap keseluruhan impor per Mei 2018 ini adalah 9,79 persen, di bawah porsi impor bahan baku sebesar 74,3 persen dan barang modal sebesar 15,91 persen.
Pemilihan PPh Pasal 22 impor sebagai instrumen pengendali bukan tanpa alasan. Pertama, secara karakteristik jenis pajak ini memang mempunyai peran regulerend, yakni menjadi instrumen pengatur konsumsi, termasuk melindungi produk dalam negeri. Kedua, meski tujuan utama pungutan PPh Pasal 22 impor adalah penerimaan negara, namun porsinya terhadap total penerimaan negara tidak terlalu signifikan, hanya Rp 43 triliun setahun. Ketiga, karakteristik lain PPh 22 impor adalah prepaid tax (pajak dibayar di muka). Artinya kebijakan ini tetap memberi pilihan pada importir untuk tetap dapat melakukan impor dengan menanggung beban pajak lebih tinggi dan di akhir tahun dapat dikurangkan dari total kewajiban pajak. Dengan demikian potensi kenaikan harga juga dapat dicegah. Sifat prepaid ini juga menghindarkan Indonesia dari tuduhan proteksionisme yang berpotensi melanggar ketentuan WTO.
Keempat, jika di dalam negeri tersedia barang substitusi dengan harga yang kompetitif, maka importir akan beralih ke pasar domestik. Atau sekurang-kurangnya pemerintah dapat mendukung tumbuhnya industri yang prospektif dan kompetitif terhadap produsen asing.
Di sinilah konsistensi Pemerintah diuji. Apakah momentum krisis ini dapat dijadikan titik balik koordinasi dan sinergi dalam rangka membangun industri dalam negeri yang mati suri? Dan dapatkah Pemerintah mengontrol mekanisme pasar yang berisiko naiknya harga barang konsumsi apabila tidak tersedia barang substitusi dan pengusaha memilih melakukan penggeseran beban ke konsumen?
Kebijakan ini hanya akan efektif jika dipaketkan dengan kebijakan lain, seperti komitmen penggunaan komponen dalam negeri (TKDN), kebijakan bauran energi, dan perbaikan sistem insentif di sektor hulu migas dan industri strategis lainnya. Jangka pendek, dibutuhkan satgas yang memastikan kebijakan ini tepat sasaran dan efektif, termasuk melalukan reviu berkala dan berkoordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan. Prasyarat untuk terhindar dari setiap krisis adalah tindakan cepat tanggap dan sikap terbuka pada partisipasi. (pso)