Sumber Foto: portal-islam.id (gie/Watyutink.com)
19 March 2018 16:00Every year, Latin American and Caribbean migrants make about 250 million separate money transfers to their home countries. While the average amount sent is around $300, taken in total these remittances by far outstrip all sources of foreign aid to the region. In several countries they constitute more than 10 percent of GDP. -- America Development Bank--
Menjelang pergantian Presiden Clinton ke Bush tahun 2000, sebetulnya dunia sedang memasuki era sinkronisasi konsep free trade dengan ide free flow of labor, arus migrasi antar negara, dengan ekspor impor tenaga kerja antar negara bahkan antar benua. Tetapi, serangan biadab WTC pada 11 September 2001 menghentikan mendadak arus migrasi itu atau menjadi problem berkepanjangan dan menumbuhkan indutri baru, pemeriksaan penumpang di bandara yang serba ketat dengan ekses yang aneh dan lucu: seperti botol air minum harus dibuang karena bisa dijadikan bom oleh teroris.
Jadi 2001 merupakan titik balik dari globalisasi menuju satu bumi, lalu lintas perdagangan, modal, kapital, yang diimbangi dengan lalu lintas manusia, tenaga kerja secara kompetitif berdasarkan meritokrasi. Alangkah idealnya bila semua individu bisa mencari pekerjaan sesuai bakat dan talenta profesional dan keunggulan komparatif kultur atau budaya atau fisik olahraganya.
Mengutip data Inter America Development Bank di atas, tenaga kerja asal Amerika latin yang bekerja di AS mengirim 75 milyar dolar AS per tahun. Untuk sebagian negara, jumlah itu merupakan 10 persen dari PDB negara itu. Kondisi konflik peradaban pasca teror WTC telah menghentikan atau mengurangi arus migrasi antar benua–terutama terkait Timur Tengah. Khusus Eropa dan Timur Tengah menimbulkan konflik geopolitik yang tak kunjung selesai.
Indonesia sendiri mengalami banyak masalah "mikro, detail, tenaga kerja" terutama karena tenaga kita kurang terlatih/ terdidik/ professional, misalnya: bukan guru atau juru rawat rumah sakit yang lebih tinggi gajinya dan status sosialnya. Karena itu tenaga kerja kita rawan perkosaan dan penindasan oleh majikan di negara pra-feodal Timur Tengah. Nah, dalam masalah tenaga kerja asing ke Indonesia, sebetulnya yang paling tepat ya kebijakan yang terukur. Tidak ada untungnya melalukan kebijakan yang ‘ekstrem’ proteksionis total dan mengabaikan serta meng-‘go to hell’-kan arus migrasi tenaga kerja, baik arus masukan maupun arus ekspor, tenaga kerja.
Semua ya proporsional, profesional dan meritokratis saja. Tidak bisa dipaksanakan dan memaksakan. Harus memperhitungkan faktor kompetisi. Kalau ASEAN lain lebih liberal, sementara kita sangat proteksinis, maka pasti kita akan kalah bersaing dengna ASEAN. Nanti minder lagi kenapa saudara tua dapat ketinggalan dari adik yang lebih muda dan lebih kecil.
Indonesia itu mestinya saudara tua di ASEAN, mestinya menjadi tertua, terbesar dan terkuat. Tapi kenyataannya, Indonesia masih terpuruk di berbagai ranking kualitas. Kecuali dalam besaran mutlak demografi dan geografi. Kebijakan kita mestinya mendukung Free Flow of Labor dan Free Trade, sehingga terjadi arus keseimbangan dari segala sektor produksi, saling mendukung dan saling menguntungkan.
Kita perlu pakar asing. Kita juga bisa mengirim pakar Indonesia untuk menikmati profesi dan bisnis iptek tinggi di negara maju. Bukan hanya kebagian arus modal, tetapi tidak punya peluang untuk ikut berkiprah di sektor iptek.
Nah, semua ini memerlukan kebijakan yang jelas mengutamakan kepentingan nasional. Ditengah situasi anomali kebijakan Trump yang anti imigran dan kecenderungan proteksionisme, jelaslah bahwa kita juga harus mengambil kebijakan yang lebih terukur, bukan emosional dan "hantam kromo". Semua mesti diperhitungkan untung rugi, dampak posisit-negatifnya bagi ekonomi nasional keseluruhan. Misalnya, arus mahasiswa dan pakar kita ke AS seharusya bisa lebih besar dari sekarang ini. Agar kita bisa menikmati manfaat lebih besar dalam investasi sumber daya manusia secara up to date, relevan dan bernilai kompetitif, produktif, dan strategis secara jangka panjang. (afd)
Sebagai seorang presiden, Jokowi seperti pemimpin yang tidak mengerti apa yang dia lakukan. Sebagai sebagai Kepala Negara, seharusnya dia paham betul bahwa salah satu tugas beliau adalah melindungi negara, rakyat, kedaulatan bangsa, dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Kalau kita berbicara tentang investasi, memang negara kita butuh adanya investasi masuk sebagai salah satu penopang perekonomian. Tetapi bukan lantas kita tidak memiliki mekanisme dan kontrol terhadap arus invetasi dan investor yang masuk. Seolah negara kita tidak memiliki bargaining position terhadap investasi. Semua kesepakatan yang diberikan oleh investor kita terima. Kemudian baru mencarikan alasan kepada rakyat. Tanpa memikirkan akibat di masa depannya.
Dengan memberikan kemudahan akan masuknya tenaga kerja asing (TKA) ke Indonesia, dengan alasan investasi, ini memberi peluang dan kesempatan kepada warga asing dan mengesampingkan potensi yang dimiliki rakyat sendiri. Padahal jumlah pengangguran di negeri sendiri jumlahnya sangat besar. BPS mencatat pada semester 2017, jumlah pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia sebesar sebesar 5,33 persen. Itu, belum termasuk para pekerja non-formal, yang kadang hari ini bekerja, besok nganggur.
Dengan sekitar 800 ribu orang lulusan PTN/PTS setiap tahunnya, seharusnya Indonesia sudah tidak membutuhkan lagi tenaga kerja asing. Semua tenaga kerja dengan skill dan kemampuan tinggi yang dibutuhkan oleh industri atau sektor lain sudah bisa dipenuhi dari para sarjana ini.
Pemerintahan Jokowi juga perlu sadar, kebijakan yang mereka ambil saat ini dengan membuka seluas-luasnya porsi tenaga kerja asing akan berdampak buruk pada bangsa ini ke depannya. Selain terkait dengan undang-undang perburuhan, juga terkait dengan undang-undang kepemilikan, atas lahan, tanah, dan berbagai aset milik bangsa, yang seharusnya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Bukan justru mensejahterakan rakyat negara lain.
Belum lagi kita berbicara tentang kemungkinan tingkat kesenjangan yang semakin lebar akibat hadirnya para tenaga kerja asing ini. Tingkat kriminalitas semakin tinggi akibat rakyat tidak memiliki kesempatan untuk bekerja secara formal dan tak memiliki jaminan hidup layak, karena lapangan pekerjaan yang seharusnya mereka isi, justru diberikan kepada tenaga kerja asing. Juga potensi gesekan antara pekerja asing dan pekerja lokal akibat perbedaan culture dan ketidak-adilan (ketimpangan) perlakuan, serta akibat-akibat lain yang ditimbulkan karena kebijakan impor tenaga kerja ini.
Dengan memberikan izin kepada para pekerja asing secara luas, yang disesuaikan dengan lamanya kontrak kerja mereka di perusahaan, ini sangat berbahaya. Siapa yang akan men-screening para pekerja asing tersebut? Apakah para pekerja ini adalah orang baik-baik di negaranya, bukan pelaku kriminal, atau menjadi tersangka dalam sebuah kasus. Sementara, tenaga kerja kita sendiri di screening secara ketat. Pekerja lokal harus mengurus dokumen ini-itu, memiliki surat kelakukan baik dari kepolisian, untuk kemudian disertakan dalam surat lamarannya.
Ada sebuah fakta yang ingin sayasampaikan. Dalam beberapa kali penerbangan ke daerah Sulawesi –lupa tepatnya daerah mana, anakku yang bekerja sebagai konsultan di bidang migas menceritakan pengalamannya bahwa dalam pesawat yang ia tumpangi banyak terlihat warga negara asing dari satu etnis (negara) Asia, yang sama sekali tidak bisa bahasa Indonesia. Hampir seluruh seat di pesawat diisi oleh mereka. Pada suatu kesempatan, anakku juga melihat para pekerja asing dari etnis yang sama yang ia temui di pesawat juga tengah mengerjakan sebuah proyek di sebuah wilayah di Sulawesi sana. Mereka adalah tenaga kasar, yang diangkut truk menuju proyek yang tengah dikerjakan. Artinya, pekerja asing yang masuk ke Indonesia ini bukan hanya tenaga ahli saja seperti yang disebutkan oleh pemerintah, tetapi juga tenaga kasar.
Jika hal ini dibiarkan, tentu rakyat kita hanya menjadi kuli, itu pun masih berebut dengan tenaga kerja asing. Selain itu, faktor keamanan, ketentraman, dan kedaulatan bangsa kita juga terancam. Tentu hal ini tidak boleh kita biarkan. (afd)