
Baca Juga
Upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah untuk mendukung usaha ritel tradisional sesuai dengan Perpres 112/2007 adalah dengan menegakkan aturan jarak antara usaha ritel modern dan usaha ritel tradisional di lapangan, terutama di daerah permukiman.
Banyak sekali kita lihat sekarang memang, toko-toko ritel modern yang jaraknya berdekatan baik dengan toko ritel modern lainnya dan dengan toko ritel tradisional. Dengan implementasi yang nyata dari aturan jarak ini setidaknya, membuka peluang yang lebih merata bagi usaha ritel tradisional maupun usaha ritel modern.
Perpres 112/2007 sebenarnya sudah cukup mengakomodir berbagia kepentingan, hanya implementasi di lapangn yang kurang sehingga butuh koordinasi dan pengawasan dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah termasuk perdesaan.
Disamping dukungan peraturan Pemerintah, usaha ritel tradisional sendiri perlu berbenah dan memperbaiki diri di tengah perubahan pola belanja yang terjadi di masyarakat.
Pertama, perubahan teknologi yang terjadi membuat pola pembayaran konsumen berubah hal ini juga menjadi pertimbangan konsumen ketika berbelanja. Kedua, belanja menjadi bagian dari gaya hidup. Pasar tradisional dalam hal ini mungkin merasakan dampak yang paling besar ketika harus bersaing dengan super market.
Lebih dari pada itu yang harus disadari oleh pelaku usaha ritel tradisional adalah mengetahui apa yang menjadi kebutuhan konsumen yang menjadi sasarannya (mengetahui kebutuhan konsumen di lingkungannya). Hal ini akan membantu dalam perputaran barang dan uang yang terjadi.
Bagaimanapun, konsumen akan mencari toko/warung terdekat untuk mencukupi kebutuhannya secara cepat. (pso)
Akar masalah perlindungan terhadap pasar tradisional adalah bertumpu pada kebijakan kepala daerah. Dalam Perpres 112 tahun 2007 tentang Penataan Dan Pembinaan Pasar Tradisional Pusat Perbelanjaan Dan Toko Modern Pasal 12 ayat 3 menegaskan bahwa Izin melakukan usaha diterbitkan oleh Bupati/Walikota dan Gubernur untuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Aturan ini sebenarnya merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mewujudkan disentralisasi ekonomi di Indonesia yang telah dimulai sejak tahun 1999. Sehingga dengan ini memberikan kewenangan sepenuhnya kepada Pemda untuk menjalin kerjasama dengan para pelaku bisnis untuk berinvestasi di daerah, termasuk di dalamnya pelaku rite modern. Oleh karena itu tidak mengherankan pada sebagian besar wilayah Indonesia mini market modern berjaringan (ritel) tumbuh subur, bahkan sudah tidak mengindahkan peraturan presiden di atas. Misalnya, dalam hal jarak antar toko atau jarak dengan pasar tradisional.
Dengan melihat kondisi tersebut seharusnya pemerintah daerah menjadi garda terdepan untuk melindungi geliat ekonomi di daerahnyan masing-masing dengan melakukan modernisasi pasar-pasar tradisonal atau toko ritel milik masyarakat/pemda. Contoh ini bisa melihat dari Sumatera Barat, khususnya kota padang, yang menghambat perizinan pendirian ritel modern berjaringan, sementara itu di sisi yang lain terus memperkuat minang mart sebagai pengganti dari ritel modern tersebut. Beberapa daerah lain juga menerapkan hal serupa, namun dengan pendekatan berbeda seperti di Kulon Progo, Bantul, Landak dan Sragen, yang membatasi izin pendirian ritel berjaringan karena sudah terlampau menjamur.
Kesimpulannya, upaya perlindungan terhadap ekonomi kerakyatan harus menjadi salah satu tujuan utama yang perlu diperhatikan dalam pembangunan daerah. Pemda tidak boleh lagi secara serampangan mengizinkan pendirian ritel modern berjaringan tanpa memperhatikan kegiatan ekonomi lainnya.
Di sisi yang lain sudah saatnya penataan terkait pasar modern dan tradisonal harus diatur dalam atauran yang lebih tinggi. Misalnya, pada RUU perkoperasian, RUU Kewirausahaan nasional dan RUU Ekonomi kreatif yang saat ini sedang digodok oleh DPR RI, untuk menjaga keselarasan perkembangan ekonomi kerakyatan di tengah gempuran pasar-pasar atau toko toko modern. (pso)