Belum terlihat usaha yang sungguh-sungguh untuk melakukan reformasi di bidang perpajakan tanah air. Target RPJM 16 persen tax rasio untuk 2019 jelas terlalu jauh.
Seharusnya momentum untuk melakukan reformasi perpajakan ketika pelaksanaan tax amnesty lalu. Tapi langkah-langkah reformasi perpajakan itu juga belum kunjung dilakukan. Belum terlihat upaya perbaikan prosedur dan independensi dari kantor pajak dimana hal itu juga belum dilakukan.
Juga terlihat elastisitas penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi semakin lama semakin kecil. Artinya, sudah semakin sedikit sektor-sektor yang bisa menjadi objek pajak.
Jadi meskipun terdapat pertumbuhan ekonomi, tetapi tidak terefleksi di penerimaan pajak. Hal itu adalah salah satu yang menyebabkan tax rasio kita cukup rendah.
Oleh karenanya, seharusnya pertama, harus ada existing dari sisi ekonomi, supaya bisa meningkatkan revenue. Kuncinya satu hal yaitu meningkatkan elastisitas dari pajak terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu dengan cara memperbanyak lapangan usaha formal. Bukan lapangan kerja informal seperti sekarang yang tidak masuk dalam cakupan pemantauan pajak. Sehingga memang tidak meningkat secara cukup signifikan.
Berikutnya adalah dari segi reformasi tata cara perpajakan. Selama ini kesannya masih business as usual.
Jika berbicara instrumen pajak, salah satu yang harus memenuhi syarat adalah para petugas pajak. Rasio petugas pajak dengan tenaga kerja kita masih relatif terbatas. Dibndingkan dengan negara-negara di ASEAN saja kita cukup tertinggal jauh. Perlu juga kiranya untuk meningkatkan revisi SDM.
Masalahnya dengan Dirjen Pajak yang masih di bawah Kementerian Keuangan, fleksibilitas ke arah sana untuk merekrut petugas pajak dalam rangka reformasi perpajakan itu masih cukup terbatas. Sehingga harus dilakukan juga pemisahan antara Dirjen Pajak menjadi setara Kementerian.
Wacana pemisahan Dirjen Pajak harus dibuat lebih konkrit sebagaimana IRS di Amerika Serikat mereka independen. Hal itu menjadi sanget efektif.
Upaya menarik dana-dana yang parkir di luar negeri agaknya masih sulit karena dari sisi insentif pajak kita masih terbatas. Jadi kalau misalnya mau menarik maka harus ada reformasi perpajakan terlebih dahulu.
Salah satu kondisi yang bisa menarik diantaranya selain iklim perpajakan yang juga diperbaiki, juga upaya menurunkan tarif pajak. Hal itu juga bisa dilakukan untuk menarik secara langsung ataupun tidak langsung dana-dana yang berasal dari luar negeri. (pso)
Perpajakan Indonesia saat ini seakan-akan jalan di tempat. Setelah reformasi perpajakan pada awal kepemimpinan Sri Mulyani pada Kabinet SBY merupakan langkah yang membuat sistem perpajakan lebih baik. Namun pengembangannya saat ini terasa jalan di tempat. Kebijakan selanjutnya yang cukup fenomenal adalah keluarnya PMK yang memudahkan pajak untuk UMKM. Kebijakan ini sangat positif dengan mengedepankan kemampuan UMKM dalam pembuatan laporan usahanya. Meskipun sudah melakukan berbagai upaya kebijakan di atas dan ditambah kebijakan lainnya seperti tax amnesty, kinerja perpajakan nasional jauh dari kata berhasil. Terutama jika dilihat dari tax ratio Indonesia yang masih di bawah target.
Meskipun bukan satu-satunya indikator keberhasilan perpajakan, tax ratio ini merupakan indikator penting perpajakan. Tax ratio menggambarkan kemapuan pemerintah memungut pajak dari kegiatan ekonomi di suatu periode tertentu. Semakin tinggi tax ratio maka negara semakin mendapatkan manfaat pajak dari kegiatan ekonomi negara tersebut.
Tax ratio Indonesia sendiri masih berada di angka 10 persen-an. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir angkanya sempat menurun. Jika merujuk ke negara lain seperti Thailand yang sudah mencapai 15 persen. Malaysia dan Singapura sudah mencapai 13-14 persen. Jelas fakta ini merupakan fakta negatif dari perpajakan nasional kita.
Banyak permasalahan dalam perpajakan yang belum dituntaskan oleh pemerintahan saat ini. Pertama adalah data basis pajak. Data Basis pajak merupakan data yang menggambarkan potensi dari penerimaan yang sesungguhnya. Program-program seperti tax amnesty laiknya dapat meningkatkan data basis pajak. Namun sayang sekali program ini ternyata hanya untuk meningkatkan penerimaan secara instan. Seringkali petugas pajak di daerah menggunakan tax amnesty ini untuk mengalang dana perpajakan dengan cara membidik masyarakat yang tidak ikut tax amnesty hanya untuk tujuan penerimaan. Terkadang juga masyarakat yang dikecualikan tax amnesty menjadi sasarannya.
Kedua, banyak wajib pajak bukan pembayar pajak. Program pemerintah yang menggalakkan NPWP nampaknya tidak dapat meningkatkan tax ratio karena Wajib Pajak (WP) yang didapat bukan WP potensial. Padahal untuk menggaet WP butuh biaya. Maka dari itu, biaya itu akan sia-sia jika WP yang digaet bukan WP potensial. Harusnya DJP memperhatikan pembagian WP terutama WP baru.
Ketiga, jumlah pegawai pajak yang mengurusi WP (account representative/AR) masih sangat minim. Satu AR di sebuah KPP bisa menangani ratusan WP. Penerimaan pegawai pajak besar-besaran pada beberapa tahun yang lalu nampaknya belum dimanfaatkan secara optimal untuk menjadi AR. Seharusnya AR ini harus ditingkatkan jumlahnya sehingga pelayanan terhadap WP bisa optimal.
Kerja Kementerian Keuangan khususnya DJP untuk mencapai target tax ratio memang tidak mudah, namun bukan berarti tidak bisa dikejar. Perlu sebuah terobosan lagi dalam sistem perpajakan kita. Mudah-mudahan pemerintahan sekarang ini bisa memahami masalah perpajakan dan memberikan solusi yang efektif. (pso)
Terkait dengan “tax ratio”, pertama-tama kita harus mengetahui terlebih dulu apa yang dimaksud dengan definisi “tax” dalam kata “tax ratio”. Karena, ada perbedaan definisi “tax” yang dipergunakan oleh suatu negara dibanding dengan negara lainnya. Tanpa membedah apa yang dimaksud dengan “tax”, kita akan keliru ketika langsung membandingkan angka “tax ratio” suatu negara dengan negara lain.
Dalam konteks international, berikut beberapa pengertian yang dimaksud dengan pengertian “tax ratio”. Secara umum pengertian tax ratio, yaitu rasio antara penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Akan tetapi, pengertian pajak atau “tax” berbeda antara satu lembaga internasional dengan yang lainnya.
Menurut IMF, mendefinisikan penerimaan pajak sebagai penerimaan yang diperoleh oleh pemerintah (pusat maupun daerah) secara langsung maupun yang berasal dari lembaga atau badan usaha yang dikontrol oleh pemerintah.
Pajak terdiri dari enam komponen, yaitu: (i) pajak atas penghasilan, keuntungan; (ii) pajak atas gaji atau upah; (iii) pajak atas properti; (iv) pajak atas barang dan jasa; (v) pajak atau bea atas perdagangan internasional dan transaksi-transaksinya; dan (vi) pajak-pajak lainnya
Sedangkan menurut OECD, cakupan penerimaan “pajak” yang lebih luas lagi, yaitu dengan memasukkan kontribusi jaminan sosial sebagai komponen penerimaan pajak.
Nah, bagaimana dengan Indonesia?
Pertama, dalam pengertian yang sangat luas, dimaksud dengan “tax” meliputi: pajak-pajak yang dikelola oleh Ditjen Pajak, pungutan yg dikelola oleh Ditjen Bea dan Cukai, penerimaan sumber daya alam migas dan pertambangan umum.
Kedua, dalam pengertian yang luas (atau disebut juga dengan rasio“perpajakan”), meliputi pajak-pajak yang dikelola oleh Ditjen Pajak dan pungutan yang dikelola oleh Ditjen Bea dan Cukai.
Ketiga, dalam pengertian yang sempit (atau disebut dengan rasio “pajak”), meliputi hanya atas pajak-pajak yang dikelola oleh Ditjen Pajak saja.
Kalau kita lihat, pengertian “tax ratio” negara Indonesia dibandingkan dengan pengertian IMF, “tax ratio” kita hanya mencakup penerimaan dari pemerintah pusat saja, sedangkan pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah tidak dicakup.
Apabila dibandingkan dengan OECD, pengertian “tax ratio” kita tidak memasukan penerimaan kontribusi jaminan sosial.
Jadi, tidak bijak dan tidak tepat “tax ratio” negara kita jika diperbandingkan langsung dengan negara-negara lain tanpa melalui penyesuaian pengertian definisi “tax”. (Pso)