
Terus terang saya malu. Kok ada yang sampai hati untuk membuat Surat Keputusan (SK) tentang gaji di BPIP tersebut. Baik yang mengkonsepsi SK tersebut maupun yang menandatanganinya. Tetapi juga heran, kok Megawati dan 8 anggota Dewan Pengarah serta Dr. Yudi Latif yang dianggap Ahli Pancasila membiarkan hal itu berlangsung.
Seperti tidak paham bahwa hal tersebut bertentangan dengan roh Pancasila yang kental dengan Rasa Kebersamaan. Seperti tidak tersentuh perasaan mereka, bahwa hal ini mencolok sekali dalam kondisi bangsa yang penuh kemiskinan dan ketidakadilan. Bagaimana bisa diharapkan bahwa dengan demikian Pancasila menjadi Kenyataan di Bumi Indonesia.
Saya malu hal ini terjadi dan sadar betapa jauh kita dari keadaan Masyarakat yang Jujur-Lurus tanpa Kemunafikan. Semoga kita masih dapat mewujudkan Masa Depan Bangsa dgn kehadiran Masyarakat Adil-Maju-Makmur berdasarkan Pancasila. (afd)
Daftar gaji para petinggi BPIP adalah penghinaan terhadap rakyat, yang masih harus berjuang keras untuk keluar dari kemiskinan dan kesulitan, serta berjuang agar bisa ‘naik kelas’. Gaji yang demikian tinggi juga menunjukkan bahwa para penguasa menganggap uang negara sebagai milik pribadi, yang boleh dibagi-bagi sesuka hati untuk menyenangkan rekan sekomplotan atau membungkam para pengritik.
Dengan daftar gaji demikian mewah, BPIP tentu bisa dilihat sebagai indikasi kuat buruknya pengelolaan uang negara. Prinsip kehati-hatian telah diambil-alih oleh napsu kekuasaan. Sementara itu rakyat disuguhi berbagai argumentasi yang makin tak masuk akal tentang kenapa utang luar negeri terus melejit, dan rupiah loyo berkepanjangan.
Entah sandiwara apa yang sedang dimainkan oleh Sri Mulyani yang dianugerahi gelar menteri terbaik oleh Ernst & Young, sehingga pasang badan untuk menghadapi kritik terhadap gaji supertinggi di BPIP. Bisa jadi, dia sendiri sesungguhnya tak sehebat penilaian Ernst & Young, dan cenderung bersikap 'anything you say boss'.
Rakyat Indonesia memang sedang sial. Di satu sisi, hampir setiap hari disuguhi betapa nekatnya para koruptor menggerogoti uang negara. Tak kalah menjengkelkan adalah kenyataan bahwa para koruptor tersebut suka tersenyum manis di depan kamera wartawan. Di lain sisi, mereka disuguhi oleh kaum elite politik dan birokrasi berbagai cara berfoya-foya memakai uang negara. Gaji mewah di BPIP hanya salah satunya. Masih ada '1001' cara lain untuk bersenang-senang menggunakan uang negara, membuat banyak politisi dan birokrat hidup bagai selebriti Hollywood, meski banyak yang sesungguhnya berselera dangdut koplo.
Itulah Indonesia, dimana gedung-gedung mentereng terus bermunculan seiring dengan santernya berita tentang anak-anak kurang gizi dan sebagainya. Rakyat pun dibuai oleh angka statistik tentang penurunan kemiskinan menggunakan definisi yang jauh dari kenyataan hidup. Bayangkan, menurut BPS tahun lalu, seseorang tidak bisa dikatakan miskin bila berpenghasilan lebih dari 375 ribu rupiah per bulan atau 12 ribu rupiah per hari!
Maka tembang “Power to the People” karya John Lennon masih sangat relevan berkumandang di Indonesia. Setidaknya untuk mengingatkan bahwa kalau terus dipermainkan, People's Power yang menumbangkan diktator Filipina Ferdinand Marcos dan rezim Orba bisa bersemi kembali. (afd)
Dulu Pancasila dibuat oleh founding father. Dimana founding father menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dengan ikhlas dan tulus, tanpa mau mereka menerima imbalan, atau digaji dari negara.
Zaman sekarang di masa pemerintahan Jokowi, Pancasila seperti sebagai Komoditas. Dimana setelah terbentuk BPIP ( Badan Pembinaan Idelogi Pancasila) pengurusnya harus mendapat intensif dari Negara.
Dan tak tanggung-tanggung, intensif yang berupa gaji berdasarkan Perpres Nomor 42/2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas lainnya bagi Pimpinan, Pejabat dan Pegawai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Dimana Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP tersebut diberikan gaji sebesar Rp. 112.548.000, sedangkan para wakil dewan Pengarah yang didalamnya terdapat Try Sutrisno, Ahmad Syafii Maarif, Said Aqil Siradj, Ma'ruf Amin, Mahfud MD, Sudhamek, Andreas Anangguru Yewangoe, dan Wisnu Bawa Tenaya mendapatkan gaji sebesar Rp. 100.811.000.
Dari gambaran diatas, kami dari Alaska (Aliansi Lembaga Analisis Kebijakan dan Anggaran) yang terdiri dari Lembaga CBA (Center For Budget Analysis) dan Lembaga Kaki Publik (Lembaga Kajian dan Keterbukaan Informasi Publik), menganggap Besarnya dan tingginya gaji mereka sangat tidak adil bagi kondisi negara saat ini. Dimana Negara punya hutang yang menumpuk, dan tingginya atau naiknya harga sembako saat ini.
Maka untuk itu, Alaska meminta kepada Megawati dan Mahfud MD yang sudah seharusnya mencontoh komunitas masyarakat seperti Muhammadiyah dan NU atau Banser NU yang kerap menjaga Pancasila dengan biaya urunan mereka sendiri dan tidak pernah mendapatkan insentif apapun dari pemerintah.
Selain itu, kami juga Meminta kepada Megawati Megawati Soekarnoputri, Try Sutrisno, Ahmad Syafii Maarif, Said Aqil Siradj, Ma'ruf Amin, Mahfud MD, Sudhamek,dan Andreas Anangguru Yewangoe ketika sudah menerima Gaji atau rapelan gaji, sebaiknya dapat mengembalikan uang tersebut ke kas negara untuk mencicil hutang negara seperti apa yang dilakukan Malaysia.
Karena sejatinya, pancasila tidak sakti apabila negara masih berhutang dan masih menumpuk hutangnya. Dan dengan menumpuknya hutang negara kepada pihak asing, justru pancasila menjadi tersandera oleh pihak asing. (cmk)
Pancasila mengajarkan pada kita sikap pengendalian diri. Suatu sikap yang harus dipedomani oleh pemerintah dalam mengambil setiap kebijakan publik. Berita tentang tingginya gaji yang diterima Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sebagai kebijakan yang tidak tepat dan melukai perasaan hati rakyat.
Ada indikasi pemerintah ingin menarik simpati rakyat menjelang pilpres 2019. Padahal kebijakan ini kontraproduktif karena diambil tengah ekonomi Indonesia yang tidak kondusif di mana nilai rupiah sudah menyentuh di atas 14.000 per dolar, kondisi keuangan yang defisit, hutang luar negeri yang tinggi, angka kemiskinan dan kesenjangan sosial juga cukup tinggi.
Selain itu sebagian rakyat juga sedang berjuang memikirkan kebutuhan lebaran dan pulang mudik lebaran. Perlu diketahui bahwa berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No.42/2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas lainnya Bagi Pemimpin, Pejabat, Pegawai BPIP tgl 28 Februari 2018 mengatur rincian gaji pengurus BPIP, sebagai berikut: Ketua Dewan Pengarah sebesar Rp112.548.000, Anggota sebanyak 8 anggota yang masing-masing mendapat gaji Rp100.811.000, Kepala BPIP sebesar Rp76.500.000 dan wakilnya Rp63.750.000.Untuk, Deputi yg jumlahnya 3-4 orang masing-masing mendapatkan Rp51.000.000 dan staf khusus Rp36.500.000 per orang.
Bayangkan BPIP yang merupakan lembaga nonstruktural menghabiskan anggaran miliaran rupiah. Padahal lembaga ini awalnya bernama Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP) yang dibentuk pada Juni 2017 untuk membantu tugas Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila. Kita mengakui bahwa kehadiran BPIP sangat diperlukan untuk melakukan reaktualisasi nilai-nilai pancasila yang sudah tergerus oleh nilai individualis, hedonisme, intoleransi dan politik indentitas yang akhir-akhir ini semakin menguat, yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Namun yang menjadi persoalan adalah pemberian gaji bagi para pendekar pancasila yang diluar kepantasan publik. Bagi Ibu Megawati Soekarno Putri, Tri Sutrisno, Ahmad Syafii Maarif, Said Aqil Siradj, Ma'ruf Amin, Mahfud MD, Sudhamek, Andreas Anangguru Yewangoe, dan Wisnu Bawa Tenaya adalah tokoh bangsa dan orang-orang yang memiliki kapasitas, kredibilitas dan integritas yang tinggi terhadap NKRI. Mereka adalah sosok yang sudah selesai untuk memikirkan kepentingan pribadi. Kehadiran mereka di BPIP tidak lagi diukur dengan uang dan gaji yang diterima. Bagi mereka adalah bagaimana bangsa Indonesia bisa diselamatkan dari berbagai panetrasi budaya asing. Oleh sebab itu, polemik gaji BPIP dikarenakan pemerintah tidak peka dan tidak prudence dalam mengelola anggaran negara.
Seharusnya dalam tahun politik ini pemerintah harus hati-hati dalam mengambil kebijakan yang dapat menimbulkan kekecewaan dan melukai hati rakyat. Apa pun alasan yang diberikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, pemberian gaji yang besar kepada pengarah BPIP harus ditinjau ulang kerena ini diluar kepantasan dan ketidak-adilan.
Lebih elok kalau pemberian itu berbentuk honor dan diberikan pergiatan agar jumlah angka yang fantastis itu tidak kelihatan. Mudah-mudahan polemik gaji BPIP tidak berkepanjangan demi nama baik para pengarah BPIP yang kehadiran mereka tidak lagi bisa diukur dengan uang dan fasilitas negara lainnya. (cmk)
Sebelum masuk ke penghasilan atau gaji, sebaiknya kita lihat dulu tupoksinya juga kedudukan jabatan dalam organisasi.
BPIP itu setingkat menteri, lalu Dewan Pengarah itu artinya setingkat Presiden. Saya tidak tahu struktur Pemerintahannya seperti apa, apakah Badan dibawah tanggung jawab Presiden atau dibawah Dewan pengarah. Apakah berupa Badan Independen, atau bagian dari Pemerintahan. Kalau bagian Pemerintahan, jelas Badan ini dibawah Presiden. Klo dibawah Presiden, dimana posisi Dewan Pengarah.
Kalau posisi jabatan itu jelas dalam struktur, kita baru bisa mengevaluasi, kepantasan dan kepatutan dari penghasilan yang diberikan. Bisa saja kebesaran, bisa saja kurang besar. (afd)

Perdebatan klasik dalam kehidupan seperti kata Aristoteles selaku perpaduan hyle dan morphe - bentuk dan isi. Begitu pula sejak berdirinya Republik kita saat sebelum Proklamasi dibahas bentuk dan isi. Tetapi sehabis itu kita lebih banyak -setelah Orde Baru- pada bentuk, apakah seremonial, sloganis, maupun bahasa yang euphimisme. Tidak menohok pada isi persoalan dan solusi yang ideologis.
Sayangnya semenjak dibentuknya UKP-PIP hingga menjadi BPIP, penyakit berpikir seperti ini masih terjangkit ke hal-hal remeh-temeh dan jelimet. Padahal kalau saja kita semua menghayati intisari "Pidato Lahirnya Pancasila", sejak pembukaannya Soekarno sudah menjelaskan apa arti merdeka sebagai Jembatan Emas. Sebagai ideologi Kemerdekaan Politik jangan terjebak pada yang jelimet penyusunan negara yang akan dilakukan.
Begitu pula dengan berdirinya BPIP seharusnya tidak membahas soal remeh-temeh urusan gaji dan perut. Apalagi jawaban atas kegaduhan masalah gaji yang ditunggu dari Kepala BPIP yang seharusnya ideologis justru keluarnya bersifat remeh-temeh perihal kesejahteraan kepegawaian (kompas online/29-5-2018). Jadi penghayatan atas Pidato Lahirnya Pancasila Bung Karno 1 Juni 1945 seperti tetesan air di Padang pasir.
Kenapa begitu khawatirnya sehingga kehidupan politik harus digantikan kompensasi urusan kesejahteraan pegawai bukan menggeluti Kesejahteraan Rakyat. Seakan-akan pers cetak pun banyak alpa dalam mengisi ideologi dalam artian isi bukan bentuk semata. Koran "kesayangan" kita Kompas dari awal berdirinya UKP-PIP maupun BPIP semustinya juga bisa memberitakan seluruh aktivitas lembaga-lembaga lain yang sejenis yang sesuai dengan kemerdekaan politik lahirnya Pancasila tersebut.
Kemerdekaan Politik akhirnya juga tidak lepas dari kemerdekaan berfikir manusianya. Di tahun 80an aktivis berjuang tidak pernah memikirkan remeh-temeh dimuka, tapi bersifat ideologis untuk mencapai yang namanya Reformasi Sejatinya. Dan sekarang ini luput dari pemberitaan media cetak bagaimana gerakan para idealis yang akhirnya terganjal dengan bentuk kepegawaian di UKP-PIP dan BPIP, baik itu soal umur maupun strata akademis. Apakah urusan ideologis harus mengisyaratkan manusia merdeka diembel-embeli neo-feodalisme dalam bentuk titel akademis sebagai pengganti Raden Mas zaman dahulu. Perjuangan ideologis yang dilakukan para aktivis lama, pertama : bukan hanya di Ibu Kota, kedua : bukan kriteria usia pegawai negeri seperti yang disyaratkan dengan "iklan" BPIP untuk mengisi strukturnya. Sangatlah aneh manusia ideologis harus dibatasi umur (sejauh belum pikun).
Manusia Indonesia Merdeka semua mampu ikut memperjuangkan ideologi Pancasila nya dan mampu bergerak menghadapi musuh-musuh ideologinya antara lain materialistik yang dijadikan syarat utama bergerak. Belum pernah dengan jernih UKP-PIP dan BPIP merumuskan dengan jelas, rinci (sebagaimana mampu sangat rinci menghitung alokasi gaji) siapa musuh-musuh ideologis Pancasila.
Satu hal penting yang harus dicatat BPIP soal isi atas ideologi Pancasila kita bahwa Pancasila adalah ideologi bersama seluruh elemen bangsa, bukan dengan alasan ingin membumikan Pancasila berarti memonopoli kebenaran.
"Soekarno mencipta Pancasila" kata Kepala BPIP saat acara Kick Andy di salah satu stasiun TV swasta, secara isi dan epistemologi adalah salah besar. Soekarno menggali bukan mencipta, karena itu sifatnya tidak memonopoli kebenaran dan mampu menjadi solidarity maker.
Ada lagi lembaga Menangkan Pancasila akhir-akhir ini yang bergerak dibawah yang tidak memonopoli syarat-syarat menjadi ideolog. Semua lembaga ideologi sepantasnya berpikir lurus dan berhati tulus untuk bangsa seperti kata Bung Karno sebagai Jembatan Emas untuk mengisi kemerdekaan. Pusat Kajian Ideologi Pancasila (PKIP) yang kita dirikan empat tahun lalu dengan tujuan memperkuat pemerintahan baru melalui pendekatan baru atas ideologi yang bukan elitis dengan motto Pancasila Bergerak tidak mengklaim membumikan, tapi bergerak tanpa memikirkan struktur bentuk gaji.
Sekali lagi Bentuk dan Isi, Badan dan Jiwa haruslah sejalan agar tidak tergelincir menjadi kemunafikan bangsa. (cmk)