Sumber Foto: Jawa Pos
04 November 2017 17:00Apa dan siapa memiliki apa? Dengan masuk dan mampunya Vivo menjual premium lebih murah dari Pertamina membuktikan bahwa "pasar" ternyata lebih efisien dari "komando negara". Sebetulnya sejarah ekonomi dunia memang merupakan komplikasi dari persaingan apa dan siapa memiliki apa. Di zaman kolonial, korporasi selalu diidentikkan dengan kepentingan negara induk kolonial. Setelah negara jajahan merdeka, maka timbul masalah bagaimana negara berdaulat itu berinteraksi dengan korporasi asing atau korporasi nasional , terutama di pasar domestik.
Dengan era WTO, maka pasar seluruh dunia terbuka bebas dengan ekspor impor lintas batas. Akibatnya proteksi terhadap pasar domestik sulit ditegakkan secara kaku. Vivo adalah konsekuensi logis dari pasar global terbuka. Kalau Vivo lebih efisien dari Pertamina, konsumen nasional diuntungkan oleh harga yang lebih murah. Soal bahwa nanti energi tergantung dari perusahaan asing, itu merupakan salah satu risiko sebab Pertamina waktu diberi power luar biasa justru nyaris membangkrutkan negara dengan utang 10 miliar dolar AS, berbuntut dipecatnya Dirut pertama terlama (19 tahun 1957-1976) Ibnu Sutowo.
Kita harus membangun korporasi nasional seperti Pertamina dengan basis dan platfrom proteksi sementara, tapi tidak bisa terus terusan berlindung di balik "korporasi nasional". Pertamina sudah dan harus bisa bersaing dengan Vivo atau bahkan Exxon. Seperti Singapura yang tidak punya minyak bisa punya maskapai minyak (SPC) yang malah memasok minyak untuk RI.
Jadi dalam era globalisasi dan kompetisi lintas batas dan lintas negara maka pasar dan konsumen menjadi hakim, raja, sekaligus wasit. Siapa yang efisien, dia yang "menguasai pasar". Negara dalam posisi memproteksi agar tidak terjadi market failure (kegagalan pasar) seperti bangkrutnya Wall Street 1929. Negara terjun melakukan intervensi dalam waktu tertentu, tapi setelah itu harus kembali ke persaingan bebas. Seperti 2008 General Motors (GM) perlu diselamatkan karena itu Obama menalangi GM dengan pasokan modal luar biasa yang kemudian bisa dikembalikan dalam proses normalisasi dan sekarang sudah kompetitif lagi.
Sudah 72 tahun kita merdeka dari kolonialisme Belanda, sudah tiba waktunya kita dewasa, mentas, dan tuntas dari trauma paranoid anti Belanda antikolonial. Sebab ternyata kadang kadang di zaman kolonial NV Aniem dulu melayani konsumen listrik lebih manusiawi dan efektif produktif ketimbang PLN yang byar pet dan monopolistis tanpa menghargai pelayanan publik karena merasa masyarakat yang butuh listrik bukan PLN butuh pelanggan. (pso)
Kalau secara ekonomi dia memang murah, bagi masyarakat sebetulnya tidak masalah. Tapi memang harus dibandingkan dengan Pertamina secara apple to apple barangnya sama tidak? Maksudnya mutunya. Kalau dibilang produk Vivo oktan 89 apakah benar? Kemudian dari sisi zat kimia yang dipakai, setelah itu barulah bisa dipercaya, kalau memang lebih murah ya beli saja itu. Jangan sampai nanti mutu barangnya ternyata lebih jelek. Jadi jangan sekadar murah. Makanya kita minta jaminan dari pemerintah bahwa yang dijual Vivo kualitasnya minimal sama dengan premium yang dijual Pertamina. Itu yang pertama.
Kedua, kalau memang bisa murah seperti itu, kita minta Pertamina juga berbenah diri dan kemudian menjamin bahwa harga premium Pertamina juga bahkan bisa turun. Ketiga, kalau menggunakan formula yang ada di Perpres Nomor 191 Tahun 2014, ada unsur-unsur harga minyak dunia, nilai tukar, biaya perolehan, transportasi, pengilangan, penyimpanan, PPN, ada keuntungan SPBU, PBBKB untuk daerah. Ini kalau diberlakukan sama lalu ujungnya yang paling berperan nanti harga minyak dunia, mestinya harga juga ujungnya sama.
Tapi kalau Vivo bisa lebih murah, jangan-jangan ada dari unsur-unsur tadi yang dimanipulasi atau bahkan tidak dibayarkan, misalnya PBBKB nya tidak bayar, pajaknya, PPN nya tidak bayar. Kalau biaya kilangnya bisa lebih murah, bagus. Tapi kalau diurai unsur-unsur biayanya itu ternyata ada yang tidak dibayarkan, apalagi jika ternyata dia dapat BBM nya dari selundupan atau dari sumber yang tidak jelas, dan kualitasnya bermasalah, bagaimana?
Makanya sekarang jika ada yang menyebutkan harga Vivo itu tidak masuk akal maka harus diurai satu-satu, dibandingkan unsur-unsur pembentuk harga pokok nya antara Vivo dengan premium Pertamina. Agar jelas bagaimana duduk soalnya. Karena minyak dunia itu tidak bisa dibohongi.
Jangan sampai juga, asal sumber BBM nya itu bermasalah kemudian dipakai juga untuk menghancurkan bisnis Pertamina. Sekarang kalau Vivo menyanggupi membuka SPBU di wilayah timur, harus jelas dulu, timur sebelah mana? Di daerah tertinggal atau tidak? Jangan-jangan dibukanya di ibukota provinsi. Karena Pertamina itu membangun SPBU di daerah tertinggal bahkan terluar Indonesia. Jika Vivo buka di daerah yang “gemuk”, maka itu namanya bisnis pertamina digerogoti oleh Vivo. Jika Pertamina disuruh buka di daerah sepi, maka lama-lama Pertamina bisa seperti TVRI kita, dihabisi.
Itu saya kira hal-hal yang harus dibuka oleh pemerintah. Kalau swastanya bagus ya tentunya harus kita dukung. Tapi kalau jahat, dan dilindungi, nanti ujung-ujungnya malah merugikan Pertamina sendiri. (pso)
Pengelolaan Bahan Bakar Minyak (BBM), khususnya bensin untuk kendaraan bermotor, semakin tidak jelas. Pada awalnya kita hanya mengenal tiga jenis bensin saja, yaitu Premium (RON) 88, Pertamax 92 (dan sejenisnya: Shell Super, Performance 92) dan Pertamax Plus 95 (dan sejenisnya: Shell V-Power, Performance 95).
Sejak awal 2000-an harga bensin RON 92 dan RON 95 (Pertamax 92 dan Pertamax Plus 95 dan sejenisnya) tidak diatur lagi oleh pemerintah. Istilahnya, harga diserahkan pada mekanisme persaingan, atau mengikuti fluktuasi harga minyak mentah dunia. Artinya, pemerintah tidak lagi memberi subsidi untuk jenis bensin ini. Mekanisme distribusinya juga tidak dimonopoli lagi oleh Pertamina. Ada tiga perusahaan distribusi/SPBU baru yang menawarkan BBM RON 92 dan RON 95: Shell, Total, dan Petronas, meskipun jumlah SPBU Petronas sekarang semakin berkurang. Dengan bertambahnya jumlah distributor diharapkan harga Pertamax 92 dan Pertamax Plus 95 (dan sejenisnya) akan turun akibat persaingan. Tetapi apa yang terjadi? Ternyata, harga bensin RON 92 dan RON 95 di Indonesia masih lebih mahal dari Malaysia, dan juga Amerika Serikat, yang juga tidak disubsidi.
Di Malaysia konsumen bensin sangat dimanja. Malaysia hanya menjual bensin dengan RON 95 dan RON 97. Harga bensin RON 95 saat ini hanya RM 2.24, atau sekitar Rp7.134, per liter (kurs Rp 3.185 per ringgit Malaysia), dan jenis bensin ini tidak dikenakan pajak (sales tax). Sedangkan harga bensin RON 97 RM 2.54, atau Rp8.090, per liter belum termasuk sales tax 6 persen, atau Rp 8.575 per liter termasuk sales tax.
Sebagai perbandingan, harga bensin Shell V-Power 95 di Jabodetabek Rp9.700 per liter (sudah termasuk pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) 5 persen dan PPN 10 persen), atau sekitar 40 persen lebih mahal dari bensin sejenis di Malaysia. Dan, harga bensin Shell V-Power 95 ini juga jauh lebih mahal dari RON 97 Malaysia: Rp9.700 vs Rp 8.575 per liter.
Ternyata, penambahan perusahaan distribusi bensin di Indonesia tidak memberi manfaat kepada konsumen dengan harga yang lebih murah. Karena tidak efisien atau karena kartel? Pemerintah dan KPPU seharusnya menyelidiki hal ini.
Ihwal jenis bensin yang ditawarkan kepada masyarakat, kebanyakan negara di dunia sudah tidak mengizinkan bensin dengan RON di bawah 92. Bahkan Malaysia hanya menawarkan bensin RON 95 dan RON 97 saja. Tetapi, Indonesia malah menawarkan jenis RON baru yang relatif rendah, Pertalite (RON 90) yang diproduksi Pertamina dan Revvo (RON 89) yang ditawarkan pemain baru, Vivo. Hal yang membingungkan, mengapa pemerintah menawarkan berbagai jenis bensin dengan oktan rendah tersebut? Apakah ini strategi pemerintah untuk menghapus bensin Premium dari peredaran, yang otomatis menghilangkan subsidi BBM Premium? Hal ini terlihat dari semakin langkanya bensin Premium di berbagai SPBU, dan semakin banyaknya Pertalite 90 yang dibandrol Rp7.500 per liter, di mana harga ini masih lebih mahal dari bensin RON 95 Malaysia.
Penghapusan bensin Premium (RON 88) dari peredaran sebenarnya harus didukung penuh karena bensin jenis ini tidak ramah terhadap kendaraan dan lingkungan. Tetapi, menggantinya dengan RON rendah (RON 90 dan RON 89) juga menimbulkan pertanyaan besar, dan terkesan hanya sebagai pat gulipat untuk meneruskan praktik monopoli saja. Menawarkan bensin jenis Premium 88, Revvo 89, dan Pertalite 90 dengan perbedaan satu oktan saja sangat tidak masuk akal. Sebaiknya Kementerian ESDM menertibkan peredaran jenis bensin di Indonesia dan membatasi penjualan dengan RON paling rendah 92: idealnya RON 92, RON 95, dan RON 98, serta mengundang lebih banyak distributor di sektor ini.
Dengan bertambahnya jumlah distributor diharapkan harga bensin di Indonesia bisa bersaing dengan harga bensin di Malaysia. Bukan malah mendukung penjualan Revvo 89 dengan potensi terjadinya “monopoli” di jenis bensin itu. Pemerintah dan KKPU perlu menyelidiki apakah Vivo memang jauh lebih efisien dari Pertamina sehingga bisa menjual Revvo 89 dengan harga Rp6.300 per liter, atau karena banting harga, alias dumping, untuk merebut pasar? Mungkin saja, selisih harga antara Revvo 89 dan Premium 88 akibat biaya distribusi Pertamina yang lebih tinggi karena wajib distribusi ke seluruh Indonesia, sedangkan Revvo hanya ditawarkan di Jakarta saja, dengan satu SPBU. (pso)
Terkait masalah penjualan premium PT Vivo, jawabannya yang pasti adalah inefisiensi pengadaan di Pertamina sangat tinggi. Terdapat dua sumber pengadaan RON 88 di Pertamina, yakni produk kilang-kilang domestik dan impor. Tapi ndilalah nya justru produk kilang dalam negeri lebih mahal ketimbang impor.
Dari sisi Vivo, siapa yang mengecek mutu RON 89 nya? Apakah benar-benar itu adalah premium RON 89 dan tidak off spec? Untuk itu setiap kargo yang dibongkar harus dilaksanakan uji laboratorium. Menurut informasi Vitol group (induk usaha PT Vivo) RON 89 yang mereka produksi berasal dari splitter yang mereka miliki di Aceh. Apakah benar mereka memiliki unit splitter yang katanya bekas LNG Arun? Ini harus dicek lebih lanjut.
“Naphta” yang mereka peroleh utk memproduksi Mogas 89 tersebut bukan dari crude processing melainkan dari condensate. Jadi di prosesnya bukan di unit kilang, melainkan di unit splitter. Dengan demikian, kalau Vivo bisa lebih murah dengan splitter kenapa Pertamina tidak bisa?
Satu hal lagi, impor RON 88 Pertamina dari Singapore berpotensi “dikencingi” di OPL Singapore karena setelah loading, kapal-kapal Pertamina sering mengisi bunker di OPL Singapura, padahal itu tidak lazim. Itulah yang merupakan salah satu penyebab losses Pertamina. Sepertinya sampai sekarang Pertamina belum bisa memecahkan masalah “kebocoran” BBM ketika dilakukan pengisian bunker di OPL Singapura, dari tanker ke TBBM (terminal BBM), juga dari tanker ke depo-depo Pertamina. Padahal angka kebocora nya signifikan, itu makanya menjadi salah satu sebab tingginya harga premium Pertamina. (pso)