Pajak Bumi dan Bangunan adalah jenis pajak yang melekat pada kepemilikan suatu harta dalam hal ini tanah dan bangunan.
PBB juga bersifat objektif, sehingga berbeda dengan PPh yang melihat kemampuan membayar wajib pajak (ability to pay). Oleh karena itu, jarang ditemukan adanya pembebasan ataupun keringanan berdasarkan status ekonomi atau status sosial dr wajib pajak.
Namun demikian, PBB -seperti juga pajak lainnya- tidak hanya berorientasi pada penerimaan semata, namun juga keadilan sosial, pengendalian perilaku, maupun stabilisasi.
Dalam konteks Jakarta, langkah yg dilakukan untuk membebaskan PBB bagi profesi ataupun status tertentu bisa dijustifikasi untuk keadilan sosial ataupun pengendalian tata ruang.
Untuk potensi pajak yang hilang bisa dikompensasi dengan adanya pembaharuan NJOP serta program fiscal cadaster yang akan secara tepat bisa mengukur potensi pajak dan menjamin peningkatan penerimaan. Kedua hal tersebut merupakan best practices dalam PBB.
Selain itu perlu juga dipahami bahwa potensi pajak yang dipungut oleh Pemprov DKI Jakarta sangat beragam karena menggabungkan jenis pajak yang bisa dipungut oleh kab/kota (11 jenis pajak) dan provinsi (5 jenis pajak). Jadi potensi pajaknya masih banyak.
Akan tetapi, implementasi kebijakan tersebut perlu didukung oleh administrasi pajak yang kuat misal dalam hal menjamin bahwa pemilik suatu lahan adalah pensiunan PNS ataupun guru. Karena dengan begitu pengawasan nantinya tidak hanya dari objeknya saja (nilai, luas tanah dan sebagainya) namun juga dari subjeknya (pemilik). (pso)
Kebijakan ini memang sangat populis dan dirasakan membantu masyarakat. Karena PBB di Jakarta makin mencekik leher.
YLKI juga banyak menerima keluhan terkait hal ini.
Seharusnya yang diberikan pembebasan bukan hanya personal saja tapi juga yayasan-yayasan sosial yang juga harus membayar PBB dengan sangat mahalnya.
Ke depan yang paling ideal bagi pemda DKI adalah mengendalikan harga tanah termasuk PBB nya. sebagai contoh, harga tanah di Sudirman Thamrin sudah mencapai Rp101 juta per meter. ini kan gila!! (pso)
Kadaster dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya adalah badan (pemerintah) pencatat tanah milik yang menentukan letak rumah, luas tanah, serta ukuran batasnya untuk menentukan pajak dan sebagainya. Sementara itu kadaster fiskal adalah bentuk kadaster dengan fungsi informasi keuangan yang memuat nilai atas lahan, pajak lahan, dan penggunaan dari lahan tersebut.
Hal yang tengah dilakukan Pemerintah DKI Jakarta saat ini adalah melakukan pendataan tanah untuk kepentingan perpajakan. Hal ini merupakan langkah awal yang tepat karena keakuratan data dapat membuat kebijkan yang diambil akan tepat dan tepat sasaran. Dengan data yang akurat, dapat memetakan potensi pendapatan dan potensi peningkatan pendapatan perpajakan yang lebih akurat.
DKI Jakarta merupakan salah satu provinsi dengan tingkat kemandirian ekonomi yang tinggi. Sumbangan penerimaan pajak terhadap total Pendapatan Asli Daerah mencapai lebih dari 80 persen, sementara sumbangan pada total pendapatan daerah lebih dari 50 persen. Hal ini diikuti dengan kemampuan penerimaan pajak yang mampu membiayai sekitar 70 persen dari total belanja daerah (data realiasasi APBD 2016 dan 2017 Kemenkeu). Peranan pendapatan pajak di DKI Jakarta sangat besar dalam menopang APBD.
Pada triwulan IV-2018 (dalam Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Bank Indonesia), realisasi penerimaan pajak DKI Jakarta mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan IV-2017. Hampir semua jenis pajak di DKI Jakarta mengalami penurunan pertumbuhan di triwulan IV-2018 dibandingkan dengan triwulan IV-2017. Pertumbuhan justru terjadi pada penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan DKI Jakarta 52,38 persen dibanding triwulan IV-2018 dengan nominal Rp1.016,67 miliar dari Rp667,18 miliar.
Pencapaian ini dilakukan dengan pendekatan door to door dengan mendatangi wajib pajak. Sehingga, dengan pelaksanaan pendataan kepemilikan tanah ini diharapkan dapat meningkatkan potensi pendapatan pajak DKI Jakarta dengan mengetahui kegunaan tanah itu untuk hunian atau komersil. Perpindahan dari penggunaan tanah dari hunian ke komersil ini dapat meningkatkan potensi pendapatan dari jenis pajak lainnya di DKI Jakarta. Selain itu dengan pendataan ini dapat digunakan untuk kebijakan yang lebih luas seperti upaya pemanfaatan lahan yang tak digunakan, menekan konsentrasi kepemilikan lahan agar tidak terjadi ketimpangan kepemilikan lahan, dan lain-lain. (pso)