Skema pengalihan cukai rokok untuk JKN melalui dana pajak rokok (50 persen pajak rokok sekitar Rp5 triliun), dan 50 persen dari dana bagi hasil cukai hasil tembakau (Rp1.4 triliun) menghasilkan kira-kira Rp6,4 triliun. Sehingga masih kurang untuk mendanai defisit yang Rp9 triliun.
Urunan pemerintah daerah, ide yang enak didengar namun susah dijalankan karena pemerintah daerah juga membutuhkan dana untuk alokasi pembangunan lainnya. Kecuali pemerintah pusat (Kemendagri) mengeluarkan perintah yang jelas mengenai hal ini. Namun yang harus diingat, dana cukai untuk JKN-KIS baru mulai tahun depan 2018, bagaimana dengan kondisi defisit tahun ini?
Pajak untuk alat kesehatan seharusnya lebih murah, karena ini ditujukan untuk peningkatan kualitas kesehatan masyarakat. Namun sayangnya Kemenkeu masih belum memiliki prioritas mengenai hal ini. Perlu health mainstreaming di kalangan Kemenkeu.
Selanjutnya persoalan teknis pembiayaan kesehatan seharusnya menjadi tanggung jawab utama pemerintah, tidak semata mata menyalahkan BPJS Kesehatan, apalagi membebankan lagi kepada keluarga pasien. Pemerintah harus mencarikan dana untuk memastikan pelayanan kesehatan yang terjangkau dan berkualitas bagi masyarakat.
Untuk itu, menurut saya ada beberapa opsi untuk meningkatkan penerimaan negara dari pungutan atas cukai rokok, bisa dengan simplifikasi sistem cukai dimana tambahan dana dari proses digunakan untuk JKN KIS. Ekstensifikasi barang kena cukai baru misalnya terhadap puntung rokok yang merusak kesehatan dan lingkungan (Rp20 per batang bisa menghasilkan Rp5 triliun) dan adanya dedikasi alokasi dana cukai utk JKN-KIS (earmarking) 10 persen menghasilkan Rp14 triliun. Saya usulkan agar pemerintah melakukan ekstensifikasi cukai dan earmarking 10 persen dana cukai untuk JKN KIS. (pso)
Program BPJS sudah berlangsung 3 tahun.Merupakan waktu yang cukup untuk mengevaluasi implementasi di lapangan. Adanya fakta kondisi di lapangan bahwa terjadi keterlambatan pencairan klaim lebih 15 hari sejak klaim disepakati, bahkan sampai beberapa bulan. Imbasnya terjadi keterlambatan proses verifikasi oleh BPJS sehingga kesepakatan klaim rumah sakit banyak sekali yang tertunda. Akibatnya terjadi proses verifikasi tidak dilakukan tuntas dalam periode sesuai bulan. Kami tidak mengetahui kriteria yang dipakai BPJS untuk memilah-milah proses verifikasi. Hal ini terjadi berulang- ulang tiap tahun dan tidak berkesudahan.
Klaim dengan jumlah tertentu banyak yang tertunda atau sengaja ditunda-tunda. Juga sering terjadi ketidaksepahaman tentang klaim yang berlanjut sehingga berlanjut ke Dewan Pertimbangan Medis dan ini makan waktu. Akibatnya cash flow RS banyak yang terganggu sehingga pendapatan dan operasional tidak seimbang menyebabkan terjadi defisit dimana-mana.
Yang paling konyol adalah tertundanya pembayaran jasa medik kepada dokter dan mengakibatkan keresahan dan berujung risiko penurunan kualitas pelayanan terhadap pasien. Mutu pelayanan RS bisa terganggu. Risiko terhadap rumah sakit swasta adalah harus mencari dana talangan untuk mengatasi kondisi ini. Kondisi RS saat ini yang paling banyak adalah kurangnya kemampuan untuk membeli obat-obatan maupun bahan habis pakai dan alat kesehatan. Sehingga dibebankan kepada pasien sehingga ini sangat merugikan pasien.
Dari semua rangkaian yang terjadi, akhirnya pemerintah mencanangkan berbagai macam kebijakan yang tidak bijak dari mulai cost sharing penyakit katastropik, pendanaan yang bersumber dari cukai tembakau,pembiayaan yang mengikut sertakan BPJS Ketenagakerjaan. Ini justru memperlihatkan pemerintah kalap menghadapi kondisi saat ini.
Dari awal pelaksanaan BPJS Kesehatan, cost sharing kepada pasien merupakan barang haram bila dilakukan RS. Bahkan bisa menjadi masalah serius bila masyarakat terbebani cost sharing yang dilakukan RS.
Kesimpulan saya adalah program BPJS Kesehatan telah gagal dalam falsafah subsidi silang oleh karena justru yang paling banyak memanfaatkan program ini adalah peserta non PBI. Peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran; peserta Jaminan Kesehatan bagi fakir miskin dan orang tidak mampu sebagaimana diamanatkan UU SJSN yang iurannya dibayari Pemerintah, red) benar- benar berasal dari subsidi pemerintah murni yang jumlahnya bisa diprediksi dalam anggaran APBN.
Yang paling masuk akal adalah BPJS Kesehatan bisa meminta bantuan perbankan untuk menutupi defisit ini untuk melunasi semua utang kepada RS.
Jangan dibalik dengan RS yang justru harus meminjam perbankan untuk menutupi defisitnya.
Meningkatkan premi peserta non PBI baik untuk kelas I, kelas II, maupun kelas III bisa menjadi wacana jangka pendek, di samping BPJS Kesehatan harus mampu meningkatkan pendapatan lewat peningkatan jumlah peserta non PBI menuju universal covarage yang dipercepat.
Keikutsertaan pemerintah daerah yang punya APBD besar seperti DKI Jakarta, Jawa Timur, Kalimantan Timur, dan lainnya dalam pembiayaan BPJS Kesehatan. Keikutsertaan BPJS Ketenagakerjaan ikut pembiayaan sudah berjalan dengan baik, yaitu terhadap pembiyaan kecelakaan kerja di UGD selama 10 hari rawat inap maupun rawat jalan. (pso)
BPJS Kesehatan yang tercatat defisit Rp9 triliun memang membuat publik bertanya-tanya, dimana letak lubang pengelolaan dana BPJS Kesehatan. Faktanya BPJS itu juga tidak gratis, masyarakat disuruh membayar iuran yang tidak sedikit. Dari iuran yang terkumpul apa masih tidak mampu untuk menalangi operasional dan klaim BPJS? Saat defisit makin membengkak, pemerintah kini melakukan sharing beban biaya pengobatan penyakit kronis ke keluarga pasien. Ini sebuah hal yang pastinya absurd dan melanggar prinsip BPJS itu sendiri yakni meringankan beban masyarakat Indonesia dalam hal biaya kesehatan.
Sebenarnya ada cara yang lebih kreatif salah satunya adalah dengan penerapan pajak dosa atau sin tax. Cara ini pun diterapkan dibanyak negara yang memiliki jaminan kesehatan universal, contohnya adalah di Inggris dengan National Health Services (NHS). Uang dari rokok, dan barang kena cukai yang berbahaya bagi kesehatan dipungut lalu dikelola untuk menutup defisit pelayanan kesehatan. Artinya, agar BPJS Kesehatan masih bisa survive kuncinya adalah memperluas dan mengoptimalkan basis pajak dosa.
Sayangnya Indonesia termasuk negara penganut extremly narrow atau sempit dalam menerapkan cukai. Sejak adanya peraturan soal cukai hingga hari ini hanya ada 3 barang yang dikenakan tarif cukai yakni rokok, alkohol, dan etil alkohol. Dari 3 barang itu, 95 persen hasil cukai berasal dari rokok. Sedangkan Thailand dan Singapura punya lebih dari 10 barang kena cukai dan tidak bergantung dari rokok semata. Pemerintah Indonesia pun karena kurang kreatif akhirnya hanya menutup defisit dari cukai rokok. Ada kesalahan berpikir, bahwa semua penyakit kronis karena asap rokok semata. Tentu ini kurang fair.
Sebaiknya Pemerintah sekarang fokus saja pada perluasan barang kena cukai yang berbahaya bagi kesehatan. Asap kendaraan bermotor bukankah juga sama berisikonya dengan asap rokok? Sekadar catatan, jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta sudah 18 juta unit, lebih banyak dari penduduk yang hanya 10,3 juta orang. Selain untuk mengurangi dampak polusi udara bagi kesehatan dan lingkungan, pajak dosa kendaraan bermotor juga bisa digunakan untuk iuran defisit BPJS Kesehatan. Hasil hitung-hitungan INDEF tahun 2016, total penerimaan cukai kendaraan bermotor baik mobil dan sepeda motor bisa mencapai Rp5 triliun per tahun.
Potensi pajak dosa lainnya tentu minuman berpemanis. Diabetes penyumbang kematian nomor tiga di Indonesia menurut data WHO. Kenapa minuman berpemanis tidak menjadi sasaran pajak dosa?
Sekarang tinggal pemerintah mau menambah pajak dosa atau terus berharap pada satu barang yakni rokok yang terus mengalami penurunan produksi. Sekali lagi, jebolnya keuangan BPJS Kesehatan membuka peluang agar pemerintah lebih kreatif memperluas basis pajak dosa. Tentunya harus dibicarakan baik-baik dengan pelaku industri bahwa cukai yang dipungut merupakan sebuah ikhtiar untuk memberikan layanan kesehatan yang lebih baik bagi para masyarakat Indonesia sekaligus konsumen produk industri. (pso)
Soal cost sharing pembiayaan kepada keluarga pasien atau konsumen BPJS jelas melanggar Undang-Undang tentang JKN/BPJS, yang mana intinya JKN/BPJS sebetulnya asuransi gotong royong yang saling memikul. Sehingga tidak mungkin dibuat regulasi untuk membebankan konsumen dengan cost sharing untuk tambahan biaya penyakit-penyakit tertentu.
Itu yang pertama. Kedua, BPJS punya persoalan-persoalan yang di hulu, dalam arti problem penyakit-penyakit yang berkaitan dengan gaya hidup, sehingga skema-skema pembiayaan model apapun tidak akan mampu mengatasi defisit.
Penyakit gaya hidup itu di antaranya karena masyarakat tidak mempunyai pola hidup yang sehat. Dan itu dipicu oleh misalnya konsumsi makanan yang mengandung tinggi garam, gula, dan lemak. Kemudian jarang berakifitas, dan yang terakhir yang paling dahsyat adalah konsumsi rokok yang sangat tinggi. Ini sebenarnya harus diselesaikan oleh pemerintah dengan tindakan-tindakan yang preventif promotif. Tanpa itu, berat.
Skema-skema pembiayaan model apapun yang dibuat, tanpa tindakan-tindakan berarti untuk mengurangi konsumsi rokok masyarakat misalnya, akan sia-sia, karena cost sharing apapun akan jebol. Hanya akan memindahkan masalah. Jadi cost sharing itu akhirnya hanya akan memindahkan masalah dengan masalah. Selain soal pelanggaran regulasi yang hanya akan memberatkan masyarakat. Apa gunanya masuk asuransi kalau toh masih akan keluarkan biaya, apalagi untuk yang kelas mandiri. Karena kelas mandiri itu kan orang yang belum tentu punya penghasilan tinggi, dan tidak juga karyawan, dalam arti dia tidak punya sumber pendapatan tetap setiap bulannya.
Jadi menurut saya sistem cost sharing yang memberatkan itu harus ditolak!
Kementerian Kesehatan dan Kementerian Keuangan harus punya program-program untuk membereskan persoalan-persoalan di hulu. Soal gaya hidup, makanan berlemak, gula dan garam, lalu konsumsi rokok yang sangat tinggi, punyakah program-program pencegahan yang dipromosikan gencar? Juga cukai rokok atau tembakau mestinya Kementerian Keuangan menaikkan cukai rokok yang sangat tinggi sehingga efektif menekan konsumsi rokok di masyarakat. Data BPJS, penyakit-penyakit yang muncul itu kebanyakan penyakit akibat konsumsi rokok yang sangat tinggi.
Soal rencana meminta pemerintah daerah untuk urunan menutup defisit BPJS, itu boleh, dan saya mendukung, yang penting jangan dibebankan ke masyarakat. Silakan gunakan dana APBD karena banyak dana APBD yang nganggur. (pso)
Ihwal cost sharing, belum diputuskan. Ini perlu diluruskan agar tidak terjadi salah pengertian. Ini hanya gambaran dan referensi akademik untuk diketahui perbandingannya dengan kondisi di negara-negara lain yang menerapkan cost sharing. BPJS Kesehatan sudah diminta paparan pada rapat dengar pendapat (RPD) dengan Komisi IX DPR RI pada Kamis 23 November 2017 tentang bagaimana negara lain membiayai penyakit katastropik.
Terkait masalah defisit anggaran BPJS, JKN menggunakan prinsip anggaran berimbang dan titipan masyarakat. Pendapatan dan pengeluaran dibuat selalu seimbang. Isu defisit itu bukan tiba-tiba, tapi anggaran selalu dibuat jauh hari sebelumnya. Kadang memang defisit. Perhitungannya bahkan sudah diketahui bersama antara Kemenkes dan Kemenkeu. Misalnya, tahun depan pengeluaran Rp10, kita pasti punya historical data. Dari data itu secara teknis rata-rata pemanfaatannya per 1.000 orang memiliki unit biaya rata-rata, misalnya Rp10 tadi.
Lalu kita lihat lagi pendapatannya, berapa yang ideal penerimaan dan pengeluarannya. Tapi iuran ini kemudian tidak sesuai dengan hitungan aktuaria. Misalnya untuk masyarakat miskin iuran harusnya Rp36.000 per orang, tapi ditetapkan Rp23.000. begitu pula kelas di atasnya. Jadi ada ketidaksesuain antara pengeluaran dengan penerimaan. Jadi mungkin harus disesuaikan dengan angka matematik aktuaria, dan harus menggunakan opsi lain untuk menutup defisit itu.
Tahun 2017, rata-rata tagihan Rumah Sakit (RS) Rp6,7 triliun per bulan. Sementara penerimaan BPJS rata-rata sekitar Rp6,4 triliun per bulan. Artinya, setiap bulan BPJS minus rata-rata Rp400 miliar, dikalikan saja 12 bulan. Jadi kalau ada yang menggambarkan Rp9 triliun itu ya salah. Soal ini arus kas, yang sebenarnya sudah disampaikan di sidang kabinet, memang akan defisit. Tagihan 2017 belum terhitung semua, kalau yang ditarik Desember pasti untuk tagihan November.
Opsi yang kami usulkan untuk kurangi defisit BPJS, pertama, opsi kurangi manfaat pelayanan, bukan mutu atau kualitasnya yang dikurangi, tapi ini tidak jadi pilihan karena social cost nya tinggi. Program BPJS memberikan manfaat bagi hampir 1300 kelompok diagnosis. Misalnya penyakit jantung, itu kelompok diagnosis kardiovaskuler beban biayanya Rp7,4 triliun, artinya mungkin ada kasus yang belum ditagihkan.
Kedua, menaikkan iuran. Tapi presiden meminta jangan dinaikkan dulu iurannya karena tidak ingin memberatkan masyarakat. Ketiga, suntikan dana tambahan pemerintah. Ini jadi ramai dipertanyakan masyarakat kenapa BPJS defisit terus. Jadi, selama iuran tidak sesuai dengan hitungan aktuaria, tidak akan pernah match antara pengeluaran dan penerimaan.
Ihwal cukai rokok, banyak negara sudah menggunakan cukai rokok untuk biaya kesehatan, istilahnya menggunakan pajak dosa. Di Filpina 85 persen, Thailand 1 persen gunakan cukai rokok. Dipakai semua untuk sektor kesehatan. (pso)
Ilmu kedokteran mahal, kecuali di negara-negara sosialis seperti Kuba dan Korea Utara. Logikanya BPJS itu yang sakit minim sedang premi masif. Nah kalau premi kurang cakupan, sedangkan klaim banyak maka ini bangsa yang sakit melebihi yang sehat.
Usul saya dokter diperbanyak, jangan memproteksi spesialis hingga antri buat appointment berbulan-bulan. Orang bisa mati duluan sebelum diterapi oleh ahlinya.
Jadi kata kuncinya jangan ada "malingering", orang pura-pura sakit atau hypochondria rawan rasa sakit meski tidak sakit.
BPJS sendiri memang harus efisien. Lee Kuan Yew pernah marah karena istrinya kurang cepat ditangani di Rumah Sakit di London. Olehnya langsung dibawa pulang ke Singapura, dan sempat hidup beberapa tahun lagi. Dia mengkritik Inggris karena tidak profesional dalam asuransi kesehatan nasionalnya. (pso)