Sumber Foto: ekonomi.kompas.com &n 23 February 2018 16:00
Baca Juga
Tindakan tegas terhadap pihak yang lalai dalam kualitas bangunan dan keselamatan pekerjaan amat dibutuhkan saat ini. Apalagi, 7 dari 10 insiden kerusakan/robohnya proyek infrastruktur dilakukan oleh BUMN yang sama. Selain itu, dimana tanggung jawab pengawas proyek (KKK) dan pihak pemberi kerja? Bukankah mereka juga seharusnya terkena sanksi karena pengawasan yang tidak maksimal? Apa pendapat Anda? Watyutink? (pso)
Percepatan pembangunan proyek infrastruktur tampaknya dikerjakan seperti 'sopir angkot mengejar setoran'. Yang penting pekerjaan selesai, tanpa mengutamakan keselamatan, keamanan, dan kenyamanan penumpangnya. Terakhir, girder tol Becakayu roboh dengan menelan beberapa korban.
Kecelakaan konstruksi terhadap proyek infrastruktur yang terjadi secara beruntun, sebagian terbukti karena kegagalan konstruksi (construction failure). Ini membuktikan proyek konstruksi tersebut tidak direncanakan dengan matang dan atau pengawasan yang ketat dan konsisten.
Atas kejadian itu YLKI mengritik keras dan mendesak pemerintah untuk membentuk tim investigasi independen dengan tugas utama melakukan engineering forensic untuk menyimpulkan apakah yang terjadi merupakan kegagalan dalam perencanaan konstruksi, kegagalan dalam pelaksanaan konstruksi, atau kegagalan dalam pengawasan konstruksi.
Tim investigasi dimaksud sangat urgen khusus untuk mengaudit ulang terhadap proyek infrastruktur yang sedang berjalan. Jangan sampai proyek infrastruktur tersebut mengalami kegagalan konstruksi berulang saat digunakan konsumen. Kita bisa bayangkan, korban massal akan terjadi jika kecelakaan konstruksi tersebut terjadi saat digunakan konsumen. (pso)
Proyek konstruksi jembatan sebagaimana proyek konstruksi lainnya merupakan kegiatan yang paling terencana baik dibanding kegiatan-kegiatan lain di kehidupan kita sehari-hari, karena setiap aksi dihitung dan direncanakan begitu rinci.
Perencanaan baik adalah separuh pekerjaan yang selesai, sisanya adalah pelaksanaan rencana tersebut, demikian sering disampaikan oleh para ahli manajemen. Menjadi timbul banyak pertanyaan di benak masyarakat dengan berbagai kecelakaan konstruksi akhir-akhir ini. Apakah perencanaan yang kurang matang atau pelaksanaannya yang ceroboh?
Seperti kasus-kasus kecelakaan kerja yang lalu, pihak berwajib turun menyelidiki hingga berlanjut ke meja hijau dan pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam kasus tersebut dikenakan sanksi sesuai hukum yang berlaku. Kemudian, pihak korban kasus kecelakaan kerja diberi hak-haknya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Meski demikian, tidak cukup berhenti sampai di situ. Pertanyaan besarnya bagaimana kasus ini tidak terulang di kemudian hari? Undang-undang dan peraturan yang telah terbit terkait Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), seperti PP Nomor 50 Tahun 2012, belum cukup untuk menurunkan angka kecelakaan kerja karena hal itu harus diikuti dengan penegakan peraturan tersebut secara tegas dan konsisten.
Sekjen Asosiasi Ahli Keselamatan Kesehatan Kerja Konstruksi Indonesia (A2K4I) setahun lalu telah memperingatkan risiko tingginya kasus kecelakaan kerja konstruksi di sepanjang 2017-2018, mengingat jumlah proyek konstruksi yang cukup besar, yakni 17.000 proyek di lingkungan KemenPUPR saja, belum lagi di instansi pemerintah dan swasta lainnya. Namun jumlah besar proyek tidak serta merta linier dengan jumlah kasus kecelakaan kerja.
Ada tiga jenis kecelakaan kerja konstruksi di Indonesia yang paling sering terjadi yaitu: tersengat listrik, tertimpa benda dan terjatuh. Penyebab kecelakaan kerja konstruksi di Indonesia pernah diteliti Fakultas Teknik Universitas Andalas pada 2016 yang menyebutkan faktor kecerobohan pekerja, konstruksi tidak aman, dan tidak menggunakan alat pelindung diri. Menjadi semakin jelas bahwa kecelakaan kerja lebih banyak disebabkan faktor pekerja karena tidak patuh program K3. Jika pekerja tidak sesuai dengan standar K3 maka otomatis tidak kerja. Safety first, No K3, No Work, demikian seharusnya slogan yang sering dikumandangkan.
Semua pihak wajib melaksanakan dan mendukung K3 ini bukan hanya seakan menjadi kewajiban petugas K3 berseragam merah di area proyek.
Memasuki era revolusi industri 4.0 diharapkan metode pelaksanaan proyek konstruksi turut berubah. Peran manusia akan berkurang dan diganti para robot dalam mengecor beton, memasang girder atau mengelas sambungan baja. Memang hal itu seakan mengancam peluang kerja para pekerja konstruksi namun akan tiba saatnya pekerjaan-pekerjaan berisiko dalam berbagai proyek pembangunan tidak perlu lagi dilakukan manusia.
Terlalu mahal nyawa seorang manusia dibanding proyek fisik yang menjadi simbol kemajuan peradaban manusia, karena pada akhirnya proyek tersebut rampung untuk kemaslahatan manusia bukan yang lain. (pso)
Inilah contoh paling kongkrit dari buruknya moralitas dan kepemimpinan di Indonesia. Jangankan mengundurkan diri, tak satupun petinggi negeri ini minta maaf kepada kaum buruh korban kecelakaan kerja, yang telah terjadi berulang kali, dalam proyek pembangunan infrastruktur. Para petinggi itu juga tak menjenguk mereka di rumah sakit atau hadir dalam acara pemakaman para buruh.
Semua itu menunjukkan bahwa pemimpin kita, yang menjadikan pembangunan infrastruktur sebagai simbol kehebatannya, menganggap buruh sama dengan material bangunan, yang bisa dilupakan ketika sudah 'expired'. Baginya, pembangunan infrastruktur harus dikebut. Dalam hal ini mungkin beliau ingin mengejar citra sebagai bapak pembangunan nasional, dan menang lagi dalam pilpres mendatang.
Konyolnya lagi, hanya proyek pembangunan jalan layang yang dihentikan sementara untuk diaudit. Seolah pembangunan infrastuktur lainnya tak bermasalah. Padahal pekan ini saja kita disuguhi berita ambruknya jembatan penghubung kota Semarang dan Demak di Jawa Tengah, yang baru berumur dua bulan.
Semua itu mengesankan bahwa pemerintah lebih mengutamakan kecepatan ketimbang keselamatan dan kualitas. Lalu, ketika terjadi kecelakaan berdarah, mereka yang bertanggungjawab memasang muka tanpa dosa. Maka tak mengherankan bila biaya pembangunan akan menggelembung di kemudian hari akibat infrastruktur bekualitas kelas kambing.
Kenyataan semacam ini membuat investor dingin saja terhadap perintah Presiden Jokowi agar infrastruktur yang telah rampung langsung dijual ke swasta. Di mata mereka bukan cuma harga yang tak jelas karena banyak dikerjakan tanpa melalui proses tender sama sekali, tapi juga kualitas bangunan. Mereka tentu cuma bisa tersenyum kecut mendengar pernyataan Menteri PUPR bahwa underpass di Bandara Soetta salah desain sehingga harus dibangun ulang.
Pernyataan ini datang setelah underpass tersebut ambruk dan menelan korban jiwa. Maka, prinsip 'lebih cepat lebih baik' sebaiknya ditinggalkan. Sudah terbukti bahwa lebih cepat lebih celaka. Dan jangan lagi menjadikan pembangunan infrastruktur sebagai senjata andalan untuk pencitraan karena menyangkut kepentingan 260 juta rakyat Indonesia. Utamakan keselamatan pak! (pso)