
Menurut saya Global Food Security Index (GFS Index) itu hanya capaian yang melihat dari level makro saja. Masalah ketahanan pangan akan jauh lebih bermanfaat jika kita melihat lebih dalam dari level mikro pada setiap rumah tangga di Indonesia. Apakah terdapat kecukupan pangan sehari-hari, kelebihan kalori atau ada kekurangan kalori termasuk masalah gizi anak, penduduk dewasa, kesehatan dan lain-lain.
Capaian prestasi pada aras makro seperti GFS Index itu cenderung tidak menampakkan realitas sebenarnya dari aspek ketahanan pangan penduduk kita. Data kami menunjukkan, pada level mikro rumah tangga di Indonesia yang benar-benar masuk pada rumah tangga berkategori “bebas pangan” itu hanya 44 persen. Artinya rumah tangga seperti itu katakanlah sudah “selesai” dalam urusan rawan pangan seperti tingkat konsumsi kalori harian dan kadar gizi. Jika baru 44 persen yang “selesai” dalam urusan ketahanan pangan/bebas pangan, yang 56 persen lainnya berarti menjadi rumah tangga yang masih bermasalah pada tingkat konsumsi kalori, ketercukupan gizi, kesejahteraan dan sebagainya. Hal itu seharusnya yang menjadi fokus bahasan. Apalagi jika melihat dari indikator ketimpangan sudah menunjukkan adanya kenaikan indeks Gini Ratio menjadi 0,393 saat ini dibanding tahun lalu.
Mari kita lihat data lainnya, yakni masalah stunting (kuntet) pada bayi yang baru lahir di Indonesia. Temuan terakhir, bayi yang berstatus stunting sudah mencapai 37 persen dari total angka kelahiran bayi di Indonesia. itu level mikro yang harus segera menjadi perhatian semua pihak. Jika angka stunting pada bayi yang lahir cenderung meningkat, berarti ada masalah serius pada masa 1.000 hari dari ibu-ibu mengandung di Indonesia. Bisa jadi ada masalah kurang gizi, asupan kalori harian yang kurang dan lain-lain.
Jadi di Indonesia ini sekarang, ada rumah tangga yang mengalami “obesitas” pangan, ada yang kekurangan pangan. Nah, daripada membicarakan pencapaian skor atau peringkat GFS Index, lebih baik pemerintah segera fokus pada pembinaan level mikro di setiap rumah tangga Indonesia, bekerjasama dengan setiap pemerintah provinsi dan Dati II, mengatasi masalah resiko rawan pangan di masa gejolak ekonomi seperti sekarang. (pso)
Sebagai negara Agraris, perekonomian Indonesia ditopang oleh sektor pertanian. Kontribusi sektor pertanian masih sebesar 13 persen dari total PDB Indonesia. Serapan sektor pertanian terhadap tenaga kerja nasional masih berada di angka 30 persen. Maka sektor pertanian memegang peranan penting dalam perekonomian nasional sampai saat ini. Tidak heran pemerintahan Jokowi begitu serius membangun sektor pertanin untuk melangkah lebih maju.
Pembangunan bendungan, irigasi, bahkan pencetakan lahan pertanian baru menjadi program andalan pemerintahan Jokowi dengan tagline “Kedaulatan Pangan”. Tagline tersebut juga tercantum di program prioritas Nawacita. Salah satu jalan yang ditempuh pemerintahan Jokowi ini adalah meningkatnya anggaran untuk program kedaulatan pangan yang meningkat hingga 50 persen lebih dari 2014 ke 2017 yang dianggarkan di beberapa kementerian teknis terkait.
Kenaikan anggaran ini menuntut ekspektasi yang tinggi di masyarakat di bidang pertanian. Belakangan ini Kementerian Pertanian sibuk berkampanye bahwa kinerja pertanian Indonesia meningkat. Salah satu buktinya adalah peringkat ketahanan Indonesia diklaim membaik di atas negara tetangga seperti Thailand, Vietnam, dan Filipina. Namun belakangan diketahui peringkat lebih baik dari Thailand dan Vietnam hanya untuk aspek ketersediaan. Sisanya seperti aspek kemampuan produksi, kualitas dan keamanan pangan masih di bawah Thailand dan Vietnam.
Bahkan skor Indonesia jauh di bawah rata-rata negara yang disurvei Global Food Security Index (GFSI) 2017.
Memang salah satu yang patut diapresiasi adalah pembangunan infrastruktur pertanian yang memberikan nilai plus bagi sektor pertanian Indonesia di GFSI 2017. Namun pembangunan infrastuktur ini tidak serta merta langsung berpengaruh terhadap kedaulatan pangan Indonesia. Manfaat insfratruktur memang lama daripada pemberian bantuan langsung ke sektor pertanian. Sebenarnya permasalahan utama di sektor pertanian ini adalah permasalah di pendataan.
Permasalahan data memang masih menjadi permasalahan dasar yang utama pengadaan pangan, bukan hanya di komoditas beras saja. Hampir semua komoditas pangan seperti jagung, kedelai, dan lainnya, mempunyai masalah di pendataan yang tidak akurat dan tidak sinkron antar stakeholders.
Kementerian Pertanian mempunyai data sendiri yang menyebutkan stok pangan aman, namun di sisi lain, Kementerian Perdagangan mempunyai data stok pangan yang mengharuskan adanya impor untuk stabilisasi harga pangan. Kesimpangsiuran data ini yang menyebabkan kedaulatan pangan belum tercapai hingga sekarang.
Salah satu kasus kekacauan data ada di komoditas jagung. Dengan produksi mencapai 23 juta ton pada tahun 2016, pemerintah menyakini dapat memasok jagung untuk semua kalangan termasuk industri non pakan. Pada sisi lain, ada data dari United State Depertment of Agriculture (USDA) yang menyebutkan bahwa produksi jagung Indonesia hanya mencapai 10-11 juta ton. Sedikitnya pasokan ini dapat menjelaskan mengapa harga di tingkat konsumen relatif meningkat sepanjang tahun. Logikanya jika data pemerintah mengatakan ada surplus jagung di tahun 2017 (produksi jagung dikurang kebutuhan jagung pada tahun 2017) mencapai 3-5 juta ton, harga jagung di tingkat produsen akan relatif landai. Namun kenyataannya, data menunjukkan peningkatan harga jagung relatif tinggi. Padahal jagung ini merupakan bahan baku untuk industri pangan lainnya seperti daging ayam. Kenaikan harga jagung biasanya akan dibarengi oleh kenaikan harga daging ayam dan telur ayam.
Permasalahan data ini pula yang menjadi polemik saat ini dimana keputusan impor beras oleh pemerintah melalui Kementerian Perdagangan menjadi kontroversi di masyarakat. Kementerian Perdagangan bersikukuh impor diperlukan untuk menekan harga beras di tingkat konsumen yang masih tinggi sejak awal tahun ini. Padahal beras ini merupakan salah satu penyumbang inflasi terbesar, maka permasalahan data seperti ini seharusnya bisa diminimalkan.
Masih adanya daerah yang rawan pangan merupakan dampak dari adanya permasalahan di pendataan kebutuhan dan produksi pangan.
Pemerintah saat ini wajib untuk menvalidasi data kebutuhan dan produksi pangan terlebih dahulu sebelum mengeluarkan kebijakan sehingga tujuan kedaulatan pangan yang tercantum di Nawacita pemerintahan Jokowi. (pso)
Tak hanya di sektor energi, permasalahan besar juga terjadi di sektor Pangan. Trilema Pangan (bukan sekedar dilema) telah benar-benar terjadi di musim gejolak ekonomi sekarang ini.
Trilema itu adalah Ketahanan, Keadilan/Persamaan, dan Keberlanjutan. Ketahanan adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pangan. Keadilan adalah adanya kesamaan hak untuk mengakses energi, baik dari sisi kualitas, pasokan dan harga. Sedangkan keberlanjutan adalah persoalan lingkungan yang ditimbulkan akibat aktifitas produksi pangan, akankah sustain atau tidak lingkungan disekitar aktifitas tersebut.
Di musim gejolak ekonomi dunia seperti sekarang ini, persoalan Trilema Pangan akan makin menggurita bila kebijakan yang diambil tidak tepat. Bila memprioritaskan Ketahanan Pangan, maka perlu berhati-hati terhadap environment, karena aktifitas produksi yang digenjot habis-habisan tentu sangat berpengaruh terhadap kondisi lingkungan hidup disekitarnya. Ketahanan pangan mungkin saja dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan harga pangan, agar rakyat berhemat dan mengikuti program diversifikasi pangan. Program penyesuaian harga ini dapat menjaga sustainability environment, namun disaat yang sama, kesamaan hak untuk mengakses pangan terganggu. Rakyat kecil tak bisa menjangkaunya.
Persoalan bertambah saat ini ketika harga BBM terus naik, berarti biaya logistik dan distribusi membengkak. Kurs rupiah yang melemah menyebabkan impor bahan baku terganggu, termasuk impor material alat aktifitas produksi.
Pemerintah ditantang untuk membuat kebijakan yang komprehensif, yang menguntungkan berbagai sektor tanpa merugikan sektor lain, yang menguntungkan banyak segmen (kelompok masyarakat) tanpa merugikan segmen yang lain. Sebagaimana beberapa waktu lalu pernah mengeluarkan belasan paket kebijakan ekonomi.
Paket kebijakan dari hulu ke hilir diperlukan untuk mengatasi gejolak ekonomi dan trilema pangan nasional. Mulai dari persoalan produksi, lahan, Infrastrukur irigasi, pabrik pengolahan, rantai distribusi, hingga persoalan fiskal, insentif untuk petani lokal, subsidi yang tepat sasaran, biaya ekspor impor dan seterusnya. Setiap kebijakan yang tidak komprehensif dapat merugikan segmen dan sektor tertentu.
Kebijakan terkait rantai distribusi masih menjadi masalah klasik bagi sektor pangan. Kartel banyak bermunculan disini akibat supply chain yang tidak merata. Terciptanya pasar oligopoli dalam rantai supply dan distribusi, sangat mempengaruhi harga pasar. Ini terjadi hampir disetiap komoditas pangan nasional. Pasar oligopoli bersifat price maker. Ini akan sangat merugikan masyarakat sebagai konsumen akhir.
Bila rantai distribusi diperbaiki, persoalan harga pangan dapat diminimalisir. Setidaknya ini yang perlu digesa, mengingat demografi Indonesia yang berpulau-pulau dan banyak area yang sulit dijangkau. Pengelolaan rantai distrubusi pangan yang tepat akan meminimalisir kerawanan pangan seperti yang pernah terjadi pada tahun 2010, dimana ada 100 kabupaten yang rawan pangan dari 346 Kabupaten di Indonesia. Papua, NTT, Kalimantan Barat dan Maluku, yang termasuk kategori mendesak rawan pangan. Semua kabupaten ini terletak di titik terjauh negeri ini. Rantai distrubusi yang terkelola, moda transportasi yang tepat dan pembinaan SDM daerah menjadi prioritas utama mengatasi kerawanan pangan di musim gejolak ekonomi ini. (pso)