Cara penempatan pejabat BUMN saat ini sebetulnya menyimpang dari apa yang selama ini dibangga-banggakan oleh reformasi, yakni membangun tata kelola pemerintahan yang bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Meskipun penempatan pejabat di BUMN sekarang ini menggunakan rezim UU Aparatur Sipil Negara (ASN), namun prosesnya ternyata tidak menggunakan mekanisme lelang jabatan sebagaimana spirit UU ASN. Penempatan pejabat BUMN sepenuhnya adalah hak prerogatif presiden dan Menteri BUMN.
Penempatan pejabat di BUMN oleh pemerintah sekarang tidak hanya sebatas Direktur Utama (Dirut) atau komisaris BUMN, namun juga sampai ke jabatan jabatan teknis misalnya kepala direktur atau setingkat kepala devisi pemasaran. Banyak orang orang yang tidak jelas keahliannya masuk menjadi pejabat BUMN. Banyak juga pejabat di BUMN juga rangkap jabatan di pemerintahan atau di tempat lain.
Patut disayangkan memang, proses ini tidak berlangsung secara inklusif atau terbuka melalui seleksi terbuka. Kaum profesional tidak dapat melamar menjadi pejabat dalam BUMN. Demikian juga pejabat karir di BUMN juga tidak dapat ikut karena mekanisme tidak tersedia. Sementara orang luar BUMN menjadikan jabatan BUMN sebagai alat untuk menambah curiculum vitae mereka agar nantinya bisa menjabat di tempat lain. BUMN menjadi obyek berburu jabatan secara kolusi.
Penunjukan pejabat BUMN dengan cara semacam ini mengakibatkan pemerintah tidak dapat menghasilkan orang-orang terbaik dari yang terbaik. Pejabat BUMN semakin jauh dari profesionalisme, kompetensi dan keahlian seseorang. Namun hanya bermodalkan kedekatan dengan penguasa.
BUMN menjadi obyek bagi-bagi jabatan. Siapa yang dekat dengan penguasa dia mendapatkan jabatan dalam BUMN. Jabatan BUMN menjadi jatah parpol, tim sukses, atau kelompok pendukung dalam Pilpres 2019 lalu.
Cara penempatan pejabat di BUMN semacam ini semakin rawan menjadikan BUMN sebagai bancakan oligarki yang berkuasa. Selain itu telah menciptakan suasana kerja yang tidak nyaman di dalam BUMN sendiri. Orang orang karir di BUMN patah semangat dalam bekerja, karena mereka tidak akan pernah menjadi pejabat di BUMN kecuali mereka menumpuk uang dan menjadi tim sukses pilpres. Apa yang konon ditolak orang di era Orde Baru yakni KKN, sekarang malah berlangsung lebih parah.(pso)
Terkait masalah BUMN ini beberapa hal dapat saya sampaikan. Pertama, yang harus diperhatikan adalah bahwa BUMN sebetulnya sudah bermasalah sejak di hulu. Dari konstruksi suprastrukturnya saja sudah bermasalah. Undang-undang BUMN sendiripun bermasalah, hal mana telah berusia 16 tahun sejak UU no 19 tahun 2003 diterbitkan, dan tidak pernah direvisi.
Kondisi UU BUMN tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.
Yang pertama adalah soal kewenangan RUPS yang menempatkan menteri sebagai salah satu pemegang hak tunggal di dalam menentukan kebijakan strategis BUMN. Tanpa melibatkan stakeholder yang lain.
Oleh karena itu akan menjadi beban kemudian, apabila terjadi restrukturisasi dan reoganisasi seperti pergantian berbagai Direksi dan Komisaris BUMN. Hal mana itu akan terjadi setiap saat berdasarkan selera dari Menteri BUMN. Sebagaimana hal-hal itu sudah terjadi sebelum sekarang.
Jadi tidak akan ada perubahan dalam pengelolaan BUMN kalau revisi UU BUMN tidak segera dituntaskan, yang mana hal itu merupakan tanggungjawab dari DPR RI yang tidak pernah diselesaikan pada periode tahun lalu.
Berikutnya adalah ihwal klasifikasi BUMN. Di dalam UU No 19 tahun 2003 disebutkan bahwa BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) atau Persero diminta untuk mengejar keuntungan (profitable). Sementara di sisi lain pada pasal 66 BUMN diminta untuk melaksanakan tanggungjawab public service obligation (PSO).
Kalau beban itu diserahkan semua kepada BUMN tanpa kompensasi dana yang disediakan oleh pemerintah akibat PSO sebagai sebuah kepentingan politik pemerintahan, maka otomatis beban BUMN akan semakin berat. Hal yang tidak akan mungkin dikerjakan oleh korporasi swasta karena tidak mempunyai beban PSO, murni profit oriented.
Sementara BUMN-BUMN yang lain yang berdasar pada konstitusi pasal 33 UUD 1945 tidak menguasasi hajat hidup orang banyak dan bukan cabang produksi penting maka saya kira itu adalah bagian dari restrukturisasi dan reorganisasi BUMN yang tidak pernah dikerjakan oleh Deputy BUMN bidang tersebut.
Seharusnya kalau BUMN itu bukan cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak dan tidak strategis bagi Negara, maka harus sudah dilepas saja. Jadi bisa dijual dalam pengertian untuk merevaluasi aset dankemudian dijual dan menjadi income bagi Negara. Hal-hal mengidentifikasi BUMN itulah yang tidak pernah dikerjakan.
Sebetulnya ada peluang bagi BUMN untuk melakukan itu tapi tidak dikerjakan dalam waktu 5 tahun lalu, yang ada malah ribut soal holding BUMN.
Kedua, Ihwal mekanisme seleksi dan kinerja direksi dan komisaris. Bahwa kalau tidak ada pasal yang menyatakan direksi dan komisaris harus bekerja selama kurun waktu tertentu tanpa dicopot—dengan syarat berkinerja baik--tanpa adanya pasal itu yang secara jelas dinyatakan dalam Undang-undang, maka like and dislike akan terjadi. Kalau menterinya tidak suka ya lalu dicopot. Padahal direksinya berkinerja baik, misalnya. Dan hal itu terjadi pada Direksi Garuda Indonesia, sebelum diganti oleh Pahala Mansury.
Kalau cara mengelola BUMN masih terbelenggu oleh like and dislike, pada soal-soal klik kelompok dan semacamnya, maka BUMN tidak akan bisa maju menjadi perusahaan global. Menjadi sokoguru perekonomian nasional saja masih jauh.
Oleh karenanya reward and punishment harus diberikan berdasarkan standar yang professional, dengan indikator-indikator performance yang benar. Sehingga bisa menjadi guidance bagi direksi dan komisaris untuk menjalankan strategi dan tujuan BUMN untuk mencapai kemakmuran bersama sesuai perintah konstitusi pasal 33 UUD 1945.
Ketiga, soal figur. Proses seleksi dan rekrutmen BUMN sekarang tambah parah. Kita tidak mengenal orang-orang yang akan ditempatkan di posisi Deputy. Yang lebih parah, deputy-deputy yang berhasil mengelola sektor BUMN nya justru malah dicopot dari posisi wakil direktur dan direktur utama BUMN, yang penggantinya bisa saja tidak punya kompetensi di situ. Hal itu merupakan kecelakaan yang fatal bagi pengelolaan BUMN.
Saya kira dalam masalah ini Presiden Jokowi harus berhati-hati karena Erick Tohir sedang menyediakan jebakan untuk presiden dan akan membuat BUMN kita hancur. Padahal BUMN Indonesia dari sisi sejarah adalah sebagai kontributor bagi penguatan keuangan Negara. Dialah last financing resort.
Kalau tidak berhati-hati maka hal itu berbahaya bagi posisi keuangan negara yang sedang mengalami defisit APNBN, defisit migas, dan defisit transaksi berjalan. Dan orang-orang yang ditempatkan oleh Erick itu orang-orang yang tidak dikenal track recordnya. Kesan bagi-baginya lebih kentara dibandingkan apa yang telah dilakukan oleh Rini Soemarno. Sekarang sepertinya lebih banyak menempatkan orang-orang politik berdasarkan hasil kerja tim sukses pada pilpres yang lalu. Hal itu jelas tidak sehat.
Keempat soal restrukturisasi, BUMN punya tanggungjawab untuk menyelesaikan secara internal permasalahan core bisnisnya.
Banyak BUMN yang punya anak usaha, cucu bahkan cicit perusahaan yang tidak seusai dengan bisnis inti BUMN. Contohnya adalah Pertamina yang mempunya rumah sakit dan bermacam-macam usaha lainnya. Hal-hal tersebut jelas harus segera direstrukturisasi.
Demikian juga dengan BUMN yang lain. Jadi cabang-cabang produksi yang tidak mempunyai urusan dengan hajat hidup orang banyak lebih baik dilepaskan saja. Hal itu adalah upaya untuk melakukan efisiensi dan efektifitas menyeluruh terhadap keberadaan dan posisi strategis BUMN, agar kita mampu menghadapi persaingan global yang cukup keras saat ini.
Apabila BUMN digarap dengan efisien, efektif, profesional, maka laba BUMN bisa lebih besar dari hanya sekadar dua persenan seperti saat ini. Apalagi bila laba-laba yang ada dikonsolidasikan dengan anak cucu usaha BUMN yang lain. Hal itu yang juga tidak beres, dan Erick sepertinya ingin menyelesaikan secara korporasi.
Niatnya baik, tapi dia menempatkan orang-orang yang punya conflik of interest. Saya melihat Erick punya conflict of interest karena ada bagian-bagian yang terkait dengan perusahaannya ikut terlibat dalam struktur organisasi BUMN saat ini. Hal itu menyebabkan Erick terlihat tidak akan berkonsentrasi membenahi BUMN, malah sepertinya terlihat gelagat privatisasi akan dilakukan sehingga BUMN mungkin akan tinggal nama di kemudian hari.
Bisa saja Erick kemudian akan melakukan aksi korporasi dengan membelah BUMN yang 100 persen masih milik negara menjadi misalnya 49 persen sahamnya dimiliki oleh asing atau swasta. Karena saat ini tidak jelas aturan UU di BUMN, apakah yang disebut BUMN itu, 100 persen pemegang sahamnya negara atau tidak. Lain halnya kalau 50 persen plus satu yang masih bisa disebut BUMN.
Hal itulah yang harus secara tegas dinyatakan sehingga aksi-aksi korporasi tidak dicampuri oleh conflict of interest sebagai bagian dari pemburu rente untuk menyelamatkan korporasi pihak swasta yang sedang menduduki jabatan strategis di Kementerian BUMN. (pso)
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sejatinya merupakan instrumen pemerintah untuk intervensi kegiatan ekonomi suatu negara. Selain instrumen fiskal maka dirasakan perlu bagi pemerintah untuk memiliki lengan bisnis (business arm) yang langsung dapat menerjemahkan kebijakan pemerintah ke dalam tataran operasional. Oleh karenanya BUMN memiliki dua peran yaitu sebagai agen usaha (business agent) yang mandatnya menghasilkan keuntungan dan agen pembangunan (development agent) yang diberi mandat sebagai pelaksana kebijakan publik dari pemerintah.
Dalam menjalan kedua peran tersebut, BUMN memiliki sejumlah keistimewaan dibanding Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), antara lain modal usaha awal disediakan oleh pemerintah melalui pemisahan kekayaan negara dan selanjutnya jika diperlukan masih dapat diberi tambahan modal melalui skema penyertaan modal negara. Kemudian juga sejumlah privilese mendapatkan business order berbentuk penugasan pemerintah yang tidak perlu tender atau kompetisi pasar, serta keuntungan non-tunai melalui kebijakan pemerintah terkait usaha BUMN. Tak pelak BUMN menjadi incaran banyak pihak untuk kepentingan masing-masing.
Saat ini hiruk pikuk BUMN kembali mengemuka karena adanya sosok Basuki Tjahaja Purnama (BTP), Gubernur DKI Jaya periode 2014-2017 yang sedang ditimang-timang pemerintah menjadi pimpinan BUMN strategis. Belum pasti berita tersebut terwujud, namun sudah mendapat reaksi banyak pihak khususnya pihak yang berseberangan dengan BTP. Figur semacam BTP dianggap tidak cocok memimpin BUMN dengan sejumlah alasan. Namun, banyak juga yang mendukung figur BTP untuk membenahi BUMN agar tidak lagi tersandung kasus korupsi di KPK seperti sekarang.
Apakah memang figur itu penting untuk membenahi kinerja BUMN?
Jika figur tersebut bertujuan untuk peningkatan kinerja yang direfleksikan oleh keuntungan sebagai pengejawantahan peran BUMN sebagai agen usaha dan keberhasilan kebijakan dan program pemerintah sebagai perwujudan peran BUMN sebagai agen pembangunan, maka figur menjadi penting dan kritikal.
Untuk menghasilkan keuntungan usaha maka diperlukan figur yang berintegritas, berkompeten dan berkapabilitas di bidang usaha. Janganlah misalnya menempatkan figur berkarir lama di birokrasi dan tidak memiliki pengalaman usaha menjadi pimpinan BUMN yang dituntut berpola pikir entrepreneur. Di lain pihak, untuk mensukseskan kebijakan dan program pemerintah maka diperlukan figur yang dipercaya dan mampu menerjemahkan visi dan misi presiden. Bila figur yang ditempatkan tidak satu frekuensi dengan presiden maka niscaya akan sulit melaksanakan kebijakan dan program pemerintah.
Menjadi tugas Tim Penilai Akhir untuk mendapatkan figur yang mampu melaksanakan peran BUMN sebagai agen usaha dan agen pembangunan. Apabila hanya satu peran saja yang dilakukan figur tersebut, niscaya BUMN yang dipimpinnya akan sulit mencapai keuntungan usaha serta melaksanakan berbagai kebijakan dan program pemerintah.
Sudah saatnya pengelolaan BUMN di era milenial tidak sama lagi dengan era pra-reformasi dan bahkan awal reformasi sekalipun. BUMN tidak bisa lagi menjadi sapi perah demi kepentingan pihak-pihak tertentu jika tidak ingin tersandung berbagai kasus korupsi. Cukuplah kasus-kasus terakhir di KPK seperti PLN, KS, e-KTP, Perindo dan beberapa lainnya menjadi peringatan agar BUMN dikelola secara profesional, transparan dan akuntabel sebagai agen usaha dan agen pembangunan. Untuk itu peran teknologi informasi dan komunikasi menjadi penting agar profesionalisme, transparansi dan akuntabilitas membuat semakin kecil peluang korupsi dan penyalahgunaan kewenangan pengelolaan BUMN. Semoga BUMN Indonesia benar-benar menjadi sarana kesejahteraan rakyat sesuai amanat konstitusi. (pso)