Memang, sejak 2003 Indonesia telah mengalami defisit migas. Defisit yang melanda perekonomian Indonesia khususnya sektor migas senyatanya telah mengganggu keseimbangan primer dan mata uang rupiah.
Sisi lain, perkembangan sektor energi dan migas global memunculkan adanya ketidakpastian akibat adanya volatilitas harga komoditas internasional. Harga komoditas energi telah menjadi mahal, meningkat hingga dua kali lipat harganya dibanding harga komoditas lainnya. Perkembangan harga komoditas energi dunia itu tentu saja mempengaruhi perkembangan harga energi global.
Perkembangan lainnya adalah Amerika Serikat yang kemudian menarik diri dari perjanjian nuklir dengan Iran, dan OPEC yang menurunkan kapasitas produksinya. Akibatnya harga minya dunia menjadi naik.
Menurunnya ekonomi dunia juga ditandai dengan perlambatan pada pertumbuhan ekonomi global pada periode 2019 ini. IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi global menurun menjadi hanya 3,5 persen ketimbang 2017 yang sebesar 3,7 persen.
Sektor pertambangan khususnya migas dalam negeri, mengalami kenaikan permintaan pada tiga triwulan terakhir. Secara umum sektor pertambangan dan galian memang tumbuh. Namun, kontribusi sektor migas pada PDB Indonesia justru mengalami penurunan pada dua triwulan terakhir. Terjadi kontraksi pada subsektor migas tanah air.
Sejak 2014, investasi di sektor migas telah menjadi sangat kecil. Apalagi investasi pada kurun 2017 yang terus mengalami penurunan. Kalau dilihat dari perbandingan data investasi minyak, gas dan batubara pada kurun waktu terakhir, memang permintaan minyak naik, namun produksi mengalami penurunan. Sementara gas, sejak 2009 memang produksi turun namun permintaan stabil. Batubara, mengalami penurunan harga namun konsumsi stabil.
Dari sisi bauran energi. Konsumsi energi dalam negeri memang berkontribusi siginifikan yakni sebesar 60 persen. Bandingkan dengan negara lain yang tidak sebesar konsumsi Indonesia. Sementara, rasio cadangan minyak dalam negeri telah semakin mengecil. Indonesia termasuk yang mempunyai cadangan energi paling rendah dibanding negara lain. Dikhawatirkan, dalam beberapa tahun ke depan minyak Indonesia akan habis.
Jadi ketergantungan dalam negeri terhadap energi migas amat tinggi, sementara rasio cadangan migas terhadap produksi amat kecil. Itu masalahnya.
Saat ini mau tidak mau Indonesia telah menjadi negara net Importer. Ketika ada kenaikan harga minyak dunia, maka setiap kenaikan harga membuat PDB berkontraksi. Setiap kenaikan harga minyak telah menyebabkan penurunan PDB secara keseluruhan.
Sementara secara demografis, populasi Indonesia akan terus naik. Otomatis permintaan/konsumsi bahan bakar minyak juga terus naik.
Diversifikasi energi memang mutlak mendesak, tapi BBM tetap saja menjadi energi utama Indonesia. hal itu bersamaan dengan cadangan migas yang terus turun.
Saat ini, Indonesia telah kalah dari negara seperti Mozambique di Afrika, Mesir dan Nigeria. Khususnya dalam masalah kebijakan di sektor energi dan terutama pada target pencapaian perolehan investor migas dalam negeri. (pso)
Masalah akut yang mempengaruhi perekonomian RI dari sektor migas adalah konsumsi minyak yang telah naik dua kali lipat besarnya dari produksi.
Bukan hal mudah untuk kembali menaikkan produksi atau angka lifting minyak. Saat ini jumlah kendaran bermotor telah bertambah berkali kali-lipat. Sepeda motor bertambah menjadi 5 juta unit tiap tahun. Mobil bertambah 1 juta unit tiap tahun. Sementara impor migas telah lebih besar dari ekspor. Padahal neraca perdagangan Indonesia acap kali surplus.
Agar tekanan terhadap rupiah berkurang, maka mau tidak mau impor migas harus dikurangi. Namun kenyataannya lifting minyak terus saja turun. Defisit migas telah menyebabkan rupiah melemah. Korelasinya amat kuat dari pelemahan rupiah oleh sebab impor minyak yang tinggi.
Produksi minyak dalam negeri mengalami penurunan sejak 2014. Padahal rata-rata investasi migas membutuhkan waktu sejak eksplorasi awal paling tidak 3 tahun. Itulah sebabnya pada 2021 produksi minyak akan lebih turun lagi.
Ihwal lelang blok migas yang tidak laku itu--kalah dari Mozambique--dikarenakan Indonesia selalu tidak konsisten dalam policy atau kebijakan. Regulasinya berubah-ubah. Contohnya dalam kasus blok Masela yang sampai saat ini belum kunjung ada kepastian. Ada kesemrawutan dalam konsistensi policy. Regulasi audit dalam sharing kontrak juga tidak ada kepastian. Sepertinya terlalu banyak pihak yang campur tangan dalam urusan migas ini.
Eksplorasi migas yang potensial hanya terdapat di laut lepas yang jauh dan mahal.
Sekarang, pemerintah harus berani memastikan sistem kontak migas mana yang akan dipakai. Sharing PSC atau Gross Split system. Mengatur hal itu tentu saja harus melalui satu Undang-undang yang pasti dan mengikat. Tidak bisa hanya dengan regulasi setingkat PP. Indonesia sepertinya lebih cocok jika menggunakan model PSC Sharing. (pso)