Salah satu kata kunci Bung Karno adalah bahwa bangsa Indonesia (dan nation state) lain akan menghadapi kesulitan ketika penjajah kolonial yang berbeda secara fisik biologis sudah "diusir" dari Dunia Ketiga.
Sebab kemudian oligarki politik dinasti KKN bangsa sendiri yang secara fisik biologis homogen dan manunggal, ternyata bisa lebih:" kejam terhadap sesama bangsa" yang berbeda posisi politik. Dan itu sudah dialami oleh Bung Karno sendiri yang terkena adagium Revolusi Prancis, bahwa Revolusi bisa menelan anak anaknya sendiri.
Proklamator Bung Karno ditelan oleh"kudeta G30S" lenyap dari panggung elite setelah 21 tahun menjadi Kepala Negara simbolis di era parlementer dan hanya sekitar 5 tahun berkuasa mutlak sejak membubarkan DPR hasil pemilu 1955 pada 1960.
Pada 1966 Bung Karno sudah transisi ke rezim dwifungsi yang akan menguasai Indonesia selama 32 tahun. Pancasila tentu selalu dipakai sebagai simbol wacana ideologi, tapi pelaksanaannya jauh panggang dari api. Sebab antara Pancasila sebagai semantik dan munafik dengan realitas politik ada gap yang sangat lebar.
Istilah dan pidato Pancasila, Kerakyatan dan Koperasi, tapi elite RI sebetulnya feodal komprador dan mental landlord boss individual tapi tidak mendeliver kesjahteraan untuk mewujudkan kelas menengah. Maka ideologi dan wadah koperasi justru tumbuh di Eropa Barat seperti koperasi susu Friesche Vlag, dan Rabobank (bank koperasi). Juga di Jepang ada koperasi yang kuat seperti Skandinavia.
Di tetangga kita yang selalu “dibenci” sebagai kapitalis, maka jaringan supermarket terbesar di negeri itu bukan swasta konglomerat, tapi NTUC (National Trade Union Congress) yang juga mengoperasikan armada taksi Singapura atas dasar koperasi. Tidak ada Indomaret dan Alfamart di Singapore yang bisa menggoyahkan NTUC yang membuktikan Buruh menjadi tuan rumah dan majikan dan pemilik koperasi terbesar Singapura.
Jadi kalau Indonesia terus hanya menyalahkan orang lain, sok "nasionalis" dengan memaki oran lain dan negara lain liberal kapitalis, sedang kita ini kerakyatan dan koperatif, tapi hanya semantik dan munafik maka koperasi kita, buruh kita, desa kita, tidak akan mentas jadi NTUC atau jadi Friesche Vlag atau jadi Norinchukin Bank Jepang atau Rabobank Belanda.
Kita tukang pidato munafik semantik tapi elite punya jutaan lahan bisnis onderneming gaya swasta zaman Hindia Belanda. Semua tentu dengan dalih bahwa mereka merupakan kekuatan nasional yang harus difasilitasi dan dilindugi oleh negara dan pemerintah.
Ya betul, semua kekuatan nasional harus diproteksi dalam bersaing di pasar global. Supaya RI bisa punya Mitsui, Mitsubishi, Sumitomo, General Motor, General Dynamics dan General Electric. Nah, Indonesia mestinya punya kesebelasan keiretsu dan Generals Ins. itu sebagai divisi-divisi yang mampu bersaing di pasar global. Sedang operasi mereka secara internal juga membina kekeluargan sejahtera bagi pegawai dan keluarga yang terserap dalam angkatan kerja perusahaan itu.
Carilah statistik koperasi seluruh dunia kemudian bandingkan dengan Indonesia, maka itu sudah patut dijadikan program, kenapa dan bagaimana koperasi bisa tumbuh pesat di negara kapitalis Barat Jepang, dan Singapore. Tapi koperasi kita malah bagai kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau.
Jadi, Watyutink mesti mengajak elite oligarki stop pidato semantik munafik, mulailah mendeliver dan melaksanakan jiwa dan semangat koperasi kerakyatan dan pedesaan secara realistik, konkret dan bukan cuma pidato sambil makan siang antar elite 70 tahun suntuk. Sedang rakyatnya cuma dijejali pidato usang klasik dan membosankan, mengeksploitasi jargon kerakyatan.
Ingat, bahwa slogan-slogan itu dalam prakteknya malah memperlakukan rakyat sesama bangsa lebih kejam dari kolonial.
Guntur Sukarno diskors dari ITB, tidak bisa kuliah oleh Rektor ITB, sedang Bung Karno bisa lulus THS dan bisa jadi insinyur bikin partai PNI meski ditahan, tetap dihormati HAM nya. Tragis bahwa proklamator justru wafat di Wisma Yaso. Suatu wisma yang memakan korban adik lelaki Ratna Dewi Sukarno yang bernama Yaso yang tidak rela kakak perempuannya menikah jadi istri kesekian meskipun dari Presiden RI.
Ada lagi perempuan saingan Dewi, juga hostess dari Jepang Kaneko yang juga bunuh diri karena kecewa ditinggal Bung Karno menikah lagi dengan Dewi padahal dia lebih dulu "menikah". Cerita ini bisa dibaca di buku Masashi Nishihara. (pso)
Memang untuk bangkitnya ekonomi perdesaan diperlukan adanya kepemimpinan kepala desa. Tanpa itu dana yang tersedia berupa Dana Desa yang besar dalam anggaran Keuangan tak banyak manfaatnya. Malahan jadi sumber korupsi.
Akan baik sekali kalau banyak lulusan perguruan tinggi mau terjun di desa-desa untuk turut mengembangkan ekonomi perdesaan.
Tapi hendaknya kita jangan menolak berkembangnya usaha e-commerce seperti Bukalapak dan Tokopedia. Sebab mereka bisa kita gunakan utk menghadapi dan menolak invasi dari usaha asing.
Tentang upaya pihak pemerintah untuk melindungi ekonomi kerakyatan dan pasar tradisional, hal itu adalah ujian untuk Pemerintah Pusat dalam rangka memperbaiki kegagalannya.
Semoga Presiden Jokowi turut memperbaiki itu. Sebab Ia sangat berkepentingan dengan dukungan kuat rakyat Desa. Itu dibuktikan dengan besarnya Dana Desa. (pso)
Ekonomi kerakyatan yang diwakili oleh pasar-pasar tradisional, warung-warung rakyat, kuliner rakyat, usaha kerajinan yang menyertakan rakyat sebagai pemeran utama, selama ini identik dengan karakteristik antara lain usaha skala kecil, manajemen usaha belum profesional, bangunan usaha belum permanen, tata letak barang dijual belum teratur, harga jual relatif mahal, barang tidak berdaya saing, belum bankable dan belum banyak disentuh teknologi. Di tengah persaingan usaha yang semakin tajam maka pelaku usaha ekonomi kerakyatan harus mampu mengatasi berbagai tantangan usaha tersebut.
Salah satu sektor usaha yang padat dikerumuni pelaku usaha ekonomi kerakyatan adalah sektor ritel. Rendahnya hambatan masuk industri ritel ini membuat banyak orang mencoba berusaha membuka warung atau kios untuk menyediakan berbagai kebutuhan sehari-hari masyarakat. Namun karena berbagai karakteristik sebagaimana tersebut di atas ditambah kehadiran pesaing ritel modern dan bermodal kuat maka banyak juga yang tutup usaha.
Bagaimana pelaku usaha ekonomi kerakyatan di sektor ritel menjawab berbagai tantangan usaha yang dihadapinya sekarang dan akan datang, termasuk bersaing dengan ritel modern dan bermodal kuat?
Mencermati regulasi-regulasi pemerintah untuk membatasi kehadiran ritel modern dan bermodal kuat di berbagai daerah ternyata memang tidak efektif karena permintaan pasar (baca: konsumen) di berbagai daerah akan semakin setara. Maksudnya konsumen barang sehari-hari di daerah juga ingin berbelanja produk lebih lengkap, nyaman, murah, cepat dan praktis sebagaimana konsumen di kota-kota lainnya. Kehadiran ritel modern dengan modal kuat seakan menjawab kebutuhan ini.
Salah satu upaya yang perlu dipertimbangkan dalam mengangkat ekonomi kerakyatan adalah meningkatkan peran teknologi informasi untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi usaha. Kehadiran generasi milenial yang lebih akrab teknologi ini akan menjembatani penerapan teknologi informasi di usaha ritel yang dikelola pelaku usaha ekonomi kerakyatan.
Salah satu faktor kritis persaingan sektor ritel adalah harga jual produk. Konsumen barang sehari-hari sensitif terhadap harga jual. Bagi pelaku usaha sektor ritel, harga beli menjadi input besar terhadap harga jual. Apabila membeli sudah mahal maka tidak mungkin menjualnya lebih murah. Oleh karena itu mendapatkan barang jualan (merchandise) dengan harga kompetitif menjadi penting.
Hal lain adalah masalah distribusi logistik dan transportasi. Pergerakan barang jualan mencapai berbagai daerah menjadi penyumbang biaya usaha yang signifikan. Kekosongan produk menjadi kehilangan keuntungan potensial dan jangka panjang mengancam kelangsungan usaha ekonomi kerakyatan.
Agregasi permintaan menjadi hal yang perlu dipertimbangkan untuk mengangkat daya tawar para pelaku usaha ekonomi kerakyatan di sektor ritel yang umumnya kecil-kecil volume permintaan barangnya dan tersebar di berbagai wilayah. Hal ini tentu saja tidak menarik bagi produsen barang jualan ritel. Selain itu ongkos distribusi logistik dan transportasi barang yang tinggi karena sebaran luas, frekuensi beragam serta volume angkut kecil, membuat daya saing pelaku usaha ekonomi kerakyatan di sektor ritel semakin turun.
Penerapan teknologi informasi yang dibayangkan sebagai perpaduan antara marketplace dan transportasi online bisa menjadi jawaban untuk meningkatkan daya saing pelaku usaha ekonomi kerakyatan di sektor ritel. Permintaan para pelaku ekonomi kerakyatan di suatu daerah diidentifikasi lalu diinventarisasi dan akhirnya dikelola dengan sistem manajemen modern untuk membangkitkan agregasi permintaan sebagai daya tawar terhadap produsen barang-barang jualan sektor ritel. Apabila sudah mendapat harga beli kompetitif maka barang-barang tersebut didistribusikan menggunakan aplikasi transportasi online yang lengkap dengan sistemnya agar menekan ongkos distribusi logistik dan transportasi.
Hal tersebut di atas memang perlu dielaborasi lebih lanjut hingga tataran operasional. Namun setidaknya menjadi alternatif solusi bagi peningkatan daya saing pelaku usaha ekonomi kerakyatan di sektor ritel menghadapai persaingan usaha yang kian ketat di jaman Now.
Semoga ekonomi Indonesia tidak saja bercorak usaha skala besar dengan segenggam pelaku usaha besar namun juga diwarnai oleh usaha skala kecil dengan banyak melibatkan pelaku usaha kecil sehingga dapat mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia. (pso)