Kalau dilihat dari besaran angka kilometer sampai Rp600 miliar dan Pak JK keberatan dengan angka seperti itu, tentunya hal tersebut harus dihitung lagi betulkah sebesar itu.
Kalau memang besarannya seperti itu tentu harus diberi penjelasan dari biaya mana yang mahal, apakah besi atau semen, atau bahan material pendukung yang lain. Saya kira hal itu simpel saja. Kalau dibandingkan dengan pembangunan LRT serupa di Malaysia,Manila dan negara lain memang menjadi debatable. Sebab, hal itu sangat tergantung pada nilai tukar terhadap dolar AS di masing-masing nilai mata uang.
Jadi memang berbeda dan tidak bisa disamakan. Misalnya terkait dengan CAPEX nya di Philipina dengan Malaysia tentu akan berbeda bahkan dengan mempertimbangkan juga biaya tenaga kerja dan sebagainya. Termasuk juga dengan ketersediaan bahan material pembangunan LRT setempat. Dengan perbandingan pembangunan proyek serupa di Spanyol juga pasti berbeda karena di sana konon malah lebih murah. Di Kelana Jaya Malaysia biayanya memang lebih mahal yakni sekitar 60 juta dolar AS per kilometer.
Juga tentang kualitas dari hasil pembangunan LRT di masing-masing negara yang tentu punya standar atau spec yang berbeda-beda.
Terkait kritik Bank Dunia tentang infrastruktur di Indonesia memang laporan itu sebenarnya laporan tahun 2014, hanya saja datanya di update kembali dan diterbitkan ulang pada 2018. Ada memang data 2014 tapi herannya dirilis juga pada 2018. Jadi nampaknya Bank Dunia memberikan evaluasi pada setiap periode kepresidenan di Indonesia. Pada periode ke-2 Presiden SBY Bank Dunia juga mengeluarkan evaluasi dan kemarin pada 2018 kembali diterbitkan rilis baru, cuma hasilnya memang sepertinya “memilukan” bagi pemerintahan sekarang. Terkesan di laporan itu perencanaan proyek infrastruktur seakan tidak siap dan kualitasnya pun berkategori rendah, dengan tidak mempertimbangkan perencanaan detail.
Memang kalau dibandingkan dengan biaya pembangunan LRT di negara lain sekilas lebih murah karena di Indonesia biaya tenaga kerjanya relatif lebih murah. Lalu material juga masih terbilang cukup. Di Philipina sepertinya material impor LRT lebih banyak ketimbang Indonesia. Perbedaannya di situ termasuk dengan besaran nilai tukar.
Adhi Karya mungkin belum bisa menjawab ihwal ROI yang ditanyakan pak JK, karena nilai infrastruktur yang dibangun belum bisa diprediksi berapa akan memberikan nilai tambah dan berapa produktivitas dari infrastruktur tersebut. Faktanya memang pembangunan infrastruktur menurut kami terlalu tergesa-gesa ketika dikejar trans Jawa dan trans Sumatera harus cepat selesai. Oleh karenanya Bank Dunia memang mengeritik akan ketidaksiapan perencanaan pembangunan infrastruktur, saat proses pelaksanaan dan juga tahap pasca pembangunan, apakah akan mendorong produktivitas dan juga optimalisasi penggunaannya.
Sepertinya memang harus dihitung kembali berapa biaya riil yang ada di lapangan. Itu untuk menghindari anggapan adanya mark up dan sebagainya. Bagiamana dengan studi kelayaknnya apakah ada kesesuaian dengan realisasi.(pso)
Menurut saya masalah infrastruktur tentu tidak terlepas dari ketesediaan sarana dan prasarana di dalam negeri. Artinya, biaya-biaya yang timbul juga harus dihitung berapa besar bahan baku yang kita miliki di dalam negeri. Kemudian juga barang modal di dalam negeri apakah kita sudah siap. Lalu bagaimana dengan ongkos penyediaan lahan dan sebagainya.
Jadi kemungkinan besar menurut saya hal-hal seperti itulah yang tidak serta merta mudah untuk dihitung dan itu yang menyebabkan biaya-biaya LRT bisa melonjak.
Dugaan saya pembangunan infrastruktur terkait erat dengan ketersediaan bahan baku dan bahan modal yang kita miliki. Kalau hal-hal itu masih harus diimpor maka itu akan menyebabkan biaya-biaya bisa melonjak.
Tentu berbeda dengan Negara-negara lain yang sudah bisa memproduksi bahan baku dan bahan modalnya di dalam negeri. Oleh karena itulah memang pada tulisan-tulisan saya terdahulu bahwa reformasi struktural sudah sangat penting. Jadi ketika kita mencoba untuk membangun sarana prasarana infrastruktur jalan, jembatan dan sarpras transportasi bendungan dan sebagainya kita selalu terkendala masalah-masalah bahan baku dan bahan modal.
Hal itu yang menyebabkan kita harus selalu mengimpor bahan baku dan bahan modal.
Kedua, kemungkinan ada masalah pembebasan lahan. Hal itu juga membutuhkan biaya yang cukup besar. Jadi seperti yang kita ketahui juga bahwa ketika kita hendak melakukan pembenahan di sektor infrastruktur membangun rumah dan sebagainya, masalah lahan menjadi salah satu persoalan yang tidak mudah untuk diselesaikan dan berbiaya mahal.
Sehingga hal-hal seperti itulah yang harus dimasukkan ke dalam perhitungan ongkos dari siapapun developernya. Menurut saya tidak serta merta kita bisa menghitung biaya per kilometer adalah mudah. Tapi Indonesia menjadi unik karena ada persoalan-persoalan seperti yang saya sebutkan di atas.
Ihwal laporan Bank Dunia, banyak sekali kajian-kajian yang mencoba untuk bisa menjadi acuan bagaimana kita bisa membangun sarpras infrastruktur. Bank Dunia boleh menyatakan bahwa Indonesia tidak merencanakan dengan baik. Tetapi, sekai lagi, setiap orang memiliki kajian tersendiri dan tentu pihak Indonesia juga pernah membuat kajian bagaimana mereka merencanakan sesuatu.
Menurut saya Bank Dunia terlalu cepat membuat satu kesimpulan bahwa tidak ada perencanaan yang matang. Tetapi antara waktu pelaksanaan dan evaluasi tentu kondisinya sudah berubah dan itu yang harus diperhitungkan juga oleh Bank Dunia.
Saya tentu menaruh hormat kepada Pak JK atas kritikannya karena itu pasti ditujukan untuk kemaslahatan umat. Artinya, kalau LRT terlalu mahal tentu berdampak juga kepada masyarakat, tetapi barangkali bisa dicarikan jalan bagaimana sebetulnya yang terbaik.
Ketiga, amat penting menentukan pembiayaan tersebut harus dibebankan kepada siapa. Karena belum tentu juga harus dibebankan semua kepada pemerintah. Tentu ada skema-skema pembiayaan lainnya yang bisa didorong dan bisa mengikutsertakan pihak swasta dan juga ada pembiayaan-pembiayaan di luar APBN dan seterusnya.
Jadi walaupun memang biayanya besar tetapi kalau concern Pak JK karena hal itu dibebankan kepada APBN maka tentu bisa dicarikan jalan keluarnya. Barangkali bisa melalui public private partnership atau melewati KPBU atau melalui yang lainnya. (pso)
Aksi terpenting untuk membereskan masalah pembangunan LRT dan infrastruktur lainnya adalah audit investigasi. Ini karena pelaksanaan pembangunan dilakukan melalui sistem tunjuk langsung. Akibatnya apakah perusahaan yang ditunjuk benar-benar menawarkan yang terbaik dari sisi kualitas sampai sekarang masih misterius.
Sistem tunjuk langsung untuk pembangunan infrastruktur adalah tindakan ceroboh karena menelan biaya sangat besar dan untuk kepentingan umum. Maka seharusnya seleksi harus dilakukan secara ketat agar hanya perusahaan terbaik menjadi pelaksana pembangunan. Perusahaan yang mampu membuat perencanaan secara lengkap dan matang.
Perencanaan pembangunan LRT Jabodetabek jelas amburadul. Bayangkan, pelaksanaannya beberapa kali bermasalah dan mengalami pembengkakan biaya karena perhitungan investasi oleh kontraktor meleset. Jadwal pembangunanya juga kerap berubah.
Anehnya, bukannya memperoleh penalti karena melakukan kesalahan, pemerintah malah memberi suntikan modal kepada pelaksana proyek, yaitu PT (Persero) Adhi Karya. BUMN ini ditunjuk langsung oleh presiden meski tak punya rekam jejak dalam pembangunan jalur kereta api.
Sistem tunjuk langsung ini juga membuat sistem manajemen BUMN amburadul. Proyek-proyek fiktif menjamur, membuat banyak karyawan BUMN kaya mendadak. Salah satu buktinya, dan sedang diolah KPK, adalah 14 proyek fiktif di lingkungan PT (persero) Waskita Karya. Proyek-proyek fiktif ini antara lain terkait dengan pembangunan Bandara Kuala Namu di Sumut, tol di Bali, pembangunan jalan layang non-tol di Jakarta.
Bisa jadi kasus ini sesungguhnya sebuah fenomena gunung es, dan tak hanya terjadi di lingkungan Waskita Karya. Oleh karena itu audit investigasi secara menyeluruh harus dilakukan. Ingat, BUMN bukanlah institusi yang bersih. Berbagai kasus korupsi di lingkungan perusahaan pelat merah ini telah berkali-kali terbukti di pengadilan.
Dalam kasus LRT, dan proyek pembangunan infrastuktur lainnya, jangan terkecoh pada perbandingan dengan proyek sejenis di negara lain. Dalam proyek pembangunan infrastruktur transportasi misalnya, konyol kalau perbandingan hanya dilakukan atas biaya per kilometer. Sebab lain negara lain pula harga tanahnya, ongkos buruhnya, teknologinya, dan kapasitas infrastruktur yang dibangun.
Jangan sampai kejadian seperti jalan tol. Seharusnya tarif tol di Indonesia lebih murah dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya. Temuan CNBC Indonesia tahun lalu membuktikan bahwa tarif tol di Indonesia termahal di Asia Tenggara bahkan Asia.
Memang sungguh menggelikan kalau pemerintah masih menganggap tak ada masalah serius dalam pembangunan infrastruktur. (cmk)