Kalau kita lihat memang, Swiss adalah negara target pencucian uang jika bicara kejahatan keuangan internasional. Dana yang diparkir di bank-bank di Swiss ditaksir mencapai 10 persen dari PDB dunia. Itu hasil dari pencucian uang dari seluruh dunia.
Untuk dana haram dari Indonesia taksirannya kita belum punya data, tapi itu sekitar 10 persen juga dari PDB Indonesia. sebagian besar memang berkaterogi pencucian uang yang masuk ke Swiss.
Jadi MLA ini punya potensi yang cukup menguntungkan buat Indonesia, terutama melacak aset-aset yang dilarikan ke luar negeri dalam tindak pidana pencucian uang itu.
Cuma kalau kita melihat dari sisi implementasi, memang sepertinya agak sulit. Butuh waktu dan tidak segera serta merta ketika dilakukan tanda tangan langsung bisa mengembalikan aset-aset. Tidak semudah itu.
Beberapa negara yang juga sudah menandatangai perjanjian dengan Swiss juga mengalami kesulitan, salah satunya adalah Nigeria.
Tapi MLA dan juga AEOI (Automatic Exchange of Information) jika bersama-sama dilakukan di satu sisi kita bisa mengintai dana wajib pajak yang di Swiss, di sisi lain kita juga bisa menggunakan MLA, dan sepertinya kedua hal itu akan merupakan kombinasi yang baik. Kecurigaan kita, sebagian besar dana wajib pajak kita masuk ke negara tersebut dalam melakukan penggelapan pajak.
Hanya saja, langkah MLA dengan Swiss sebenarnya tidak cukup kalau kita bicara mengenai pajak terutama penggelapan pajak, karena itu harus melibatkan juga tentang reformasi perpajakan.
Dengan sistem yang sekarang sepertinya kalaupun tidak dengan Swiss mereka akan kabur ke tempat lain. Jadi ketika ada MLA dengan Swiss, kecenderungannya kalau di tingkat global mereka akan pergi ke tempat lain seperti ke Amerika, atau Eropa lainnya, atau negara-negara kecil yang memang selama ini menjadi negara tujuan penyimpanan dana haram semisal Cayman Island dan lain-lain.
Jadi memang MLA tidak akan menyelesaikan masalah sepenuhnya. Para pelaku kejahatan keuangan itu mungkin akan mengalihkan ke tempat lain yang kategorinya lebih safe heaven.
Para pelaku kejahatan keuangan dari Indonesia seperti money laundering dan penggelapan pajak itu, jika pemerintah sudah melakukan langkah ke arah pengejaran ke sana, berarti sudah ada indikasi. Setidaknya jika kita baca majalah TIME edisi 1999 disebutkan dana Supersemar puluhan bahkan ratusan triliun masuk ke Swiss. Hal itu sepertinya bisa ditelusuri lagi terutama dana-dana semasa orde baru. Dengan adanya MLA ini penggelapan pajak yang dilarikan ke Swiss mungkin akan berkurang.
Tapi jika memang kita hendak mengejar ke sana agak sulit, karena butuh waktu dan butuh kerja keras ekstra, karena pasti tidak akan mudah.
Kedua, kemungkinan mereka akan beralih ke lain tempat. Mungkin akan bermanfaat untuk jangka pendek tapi akan sulit untuk jangka panjang. Karena salah satu cara untuk mengurangi penggelapan pajak adalah kembali ke basic nya yaitu reformasi sistem perpajakan. Hal itu harus dilakukan secara lebih konsisten. Karena selama ini belum ada ke arah sana.
Sebagai contoh untuk bisa memperkuat institusi perpajakan mungkin bisa diadakan badan penerimaan khusus, jadi Dirjen Pajak sekarang bisa dinaikkan statusnya menjadi seperti IRS di Amerika. Itu salah satu contoh.
Juga langkah-langkah lain seperti pengurangan tarif pajak, penguatan sanksi, peningkatan tax ratio itu harus dilakukan secara bersama-sama. Kalau tidak maka kecenderungan penggelapan pajak masih tetap ada. (pso)
Bagi Indonesia kiranya paling tidak perjanjian sudah ada. Artinya ada kesempatan untuk menelusuri dana hasil kejahatan keuangan yang mungkin dilarikan ke bank-bank di Swiss.
Sehingga, kalau itu bisa ditelusuri maka kemudian jangan berpikir waktu, atau berapa lama akan berhasil. Tetapi sudah ada potensi buat Indonesia mendapatkan tambahan penerimaan yang cukup besar. Paling tidak itu bisa memperkuat APBN kita dikala kita kesulitan dalam memperoleh revenue baru dari utang Indonesia, apakah utang pemerintah, dalam negeri atau utang luar negeri.
Kalau perjanjian itu bisa untuk menelusuri dan bisa mengembalikan dana hasil kejahatan, maka sepertinya akan lumayan ke depan, dapat menyangga APBN kita untuk lebih sehat kembali. Pada 2019 ini defisit APBN dicanangkan akan turun.
Seharusnya, dalam waktu 3 -5 tahun ke depan hasil dari penelurusan di Swiss itu mestinya akan mulai kelihatan. Dulu Nigeria berhasil mendapatkan 700 juta dolar AS dan Philipina mendapatkan kembali 500 juta dolar AS setelah kedua negara itu menandatangani MLA dengan Swiss.
Dari sejarahnya, dulu Swiss memang tidak manandatangani kesepakatan tentang money laudering. Sehingga beberapa bank di Swiss dan Cayman Island adalah lahan subur untuk melarikan uang hasil kejahatan. Tapi setelah dia meratifikasi perjanjian ini maka mau tidak mau harus dipatuhi.
Di dalam negeri juga kita tetap berharap bahwa tax ratio kita akan meningkat. Sumber dana terbesar kita di APBN memang dari pajak. Hanya saja yang harus kita tingkatkan adalah obyek pajak kita yang masih terlalu sedikit, itu dalam rangka meningkatkan tax ratio. Atau melakukan ekstensifikasi pajak.
MLA dengan swiss bukan berarti Indonesia tidak perlu lagi melakukan tax amnesty. Tetapi bagaimana perjanjian antara dua negara tersebut memungkinkan hak pajak Indonesia bisa ditarik. Jadi lebih pada perjanjian pajak diantara dua negara sehingga potensi penerimaan pajak Indonesia bisa lebih ditingkatkan.
Kalau kemudian di dalam negeri masih saja ditemukan banyak kasus penghindaran pajak, maka mau tidak mau tax amnesty harus dilakukan lagi. Artinya tax amnesty itu bukan sesuatu yang harus dilakukan terus menerus. Tetapi itu adalah sesuatu yang insidental, dan harus tetap diupayakan bagaimana para wajib pajak tidak tertarik untuk menghindari pajak dengan memarkir dananya di luar negeri. (pso)
Jangan-jangan perjanjian Mutual Legal Assistance (MLA) yang ditandatangani pemerintah Indonesia dengan Swiss, cuma fatamorgana. Sama dengan tax amnesty yang digembar-gembor membuat pemerintah Singapura ketakutan karena akan memaksa orang Indonesia untuk memulangkan uang yang mereka parkir disana. Semua ini akhirnya terbukti cuma kabar angin.
Kenyataannya uang yang mengalir dari Indonesia ke luar negeri tetap membludak, dan rupiah loyo berkepanjangan sampai sekarang. Perbankan Singapura yang diisukan bakal kalang kabut karena banyak deposan Indonesia menarik dana pun tetap segar seperti sedia kala.
Bila ingin dianggap serius, bukan sekadar kabar angin, pemerintah sebaiknya menjabarkan kepada publik bagian dari perjanjian tersebut yang menyuratkan bahwa perbankan dan pemerintah Swiss berkewajiban mengembalikan semua uang ilegal yang disimpan oleh orang Indonesia. Bila tidak, tak berlebihan bila ada yang menganggap perjanjian tersebut tersebut adalah muslihat politik untuk menghibur masyarakat yang sangat jengkel kepada para koruptor dan penggelap pajak.
Untuk lebih meyakinkan masyarakat bahwa tak ada muslihat politik pemerintah sebaiknya juga berjanji (bukan janji kosong) untuk mengumumkan nama-nama orang yang memiliki aset ilegal di Swiss. Masyarakat akan kecewa bila ternyata perjanjian tersebut seperti tax amnesty, yang sampai sekarang tak jelas berapa banyak pajak yang dikemplang oleh para pengusaha dan pejabat pemerintah maupun negara.
Kasus tax amnesty sebaiknya dijadikan pelajaran oleh masyarakat agar selalu berkepala dingin menghadapi kabar yang seolah dahsyat dan diekspos secara besar-besaran. Ingat, kalau rekening gendut para jendral yang disimpan di dalam negeri saja, dan pernah diinvestigasi secara rinci oleh majalah Tempo, tak diusik sama sekali apalagi yang di luar negeri.
Dalam situasi seperti sekarang, dimana semua muslihat politik dipakai, masyarakat sebaiknya mengedepankan akal bukan emosi. Biarkan para politisi pusing sendiri. (pso)