
Akhirnya Presiden Joko Widodo menetapkan Nicke Wijayanti sebagai Dirut Pertamina definitif. Keputusan Presiden itu mengakhiri spekulasi adanya tarik-menarik kelompok kepentingan dalam Pertamina.
Penetapan itu sangat penting lantaran, disamping Plt Dirut sudah menjabat lebih 3 bulan, juga banyak corporate action strategis yang harus segera diputuskan oleh dirut Pertamina definitif.
Apakah Nicke Wijayanti sosok yang tepat sebagai dirut Pertamina?Kalau mengacu pada 3 kriteria: profesional, integritas, dan independent, Nicke memenuhi ketiga kriteria tersebut, sehingga tidak keliru kalau Nicke akhirnya ditunjuk sebagai Dirut Pertamina.
Setelah menjadi Pertamina-1, Nicke harus melakukan beberapa agenda mendesak: mengamankan program Presiden, antara lain: tidak menaikkan harga Premium dan solar, serta menjaga agar tidak terjadi kelangkaan BBM di seluruh wilayah Indonesia. Memperbaiki sistem distribusi gas 3 kg subsidi agar tepat sasaran, Mengimplementasikan kebijakan BBM Satu Harga, dan mempercepat pembangunan kilang minyak untuk mengurangi impor BBM.
Di hulu, Nicke harus melakukan optimalisasi lifting di Blok terminasi. Selanjutnya, Pertamina juga harus masuk di blok baru sehingga ke depan lifting dapat ditingkatkan di atas satu juta barel per hari
Nicke juga harus segera menyelesaikan integrasi holding Migas untuk menjadi world class oil and gas company. Selain itu, holding Migas harus mampu menurunkan harga gas di dalam negeri hingga menjadi 6 dolar AS per mmbtu.
Tanpa melakukan agenda-agenda tersebut, dikhawatirkan Nikcke akan mengalami nasib serupa dengan dirut-dirut Pertamina sebelumnya, yang dicopot sebelum berakhirnya periode kepemimpinan di Pertamina. Diharapkan Nicke mampu mengemban amanah sebagai dirut Pertamina sesuai konstitusi, yang dapat mempergunakan Migas untuk sebesarnya kemakmuran rakyat. Bukan kemakmuran Pemburu Rente di Pertamina. (pso)
Masalah pergantian dirut Pertamina yang sudah 3 kali dalam 3 tahun itu sebetulnya sudah menjadi satu masalah tersendiri. Indonesia sebagai negara berkembang membutuhkan BUMN energi yang kuat, professional dan dikelola berdasarkan prinsip-prinsip good corporate governance (GCG).
Artinya, pertimbangan aspek politik sudah sangat dominan dalam pergantian ini. Jadi, kita mempertanyakan itu. Kenapa aspek politik sepertinya terlalu kental dan dominan ketimbang kemampuan manajemen dan profesionalisme, sementara indepedensi sepertinya dikesampingkan. Ini menurut saya akan menjadi masalah. Karena itu harus dipertanyakan, maunya apa dengan semua kebijakan soal pergantian pimpinan Pertamina ini.
Ihwal program-program ibu Nicke sebagai dirut Pertamina yang baru saya kira bukan hal istimewa. Itu hal yang biasa saja. Program B20 itu sudah ada, kalau tidak salah di Permen ESDM terkait EBTKI. Beberapa bulan ke depan program B20 itu memang harus jalan. Masalah pembangunan kilang RDMP itu juga sudah dicanangkan cukup lama. Cuma, ada faktor-faktor finansial yang membuat Pertamina jadi tidak bisa menjalankan program karena partner Pertamina dalam RDMP itu meminta ada kontribusi Pertamina dalam hal investasi.
Terkait hal itu mungkin Pertamina sendiri menyadari bahwa tidak terdapat cukup anggaran. Anggaran waktu itu dipakai untuk mensubsidi BBM premium dan solar yang semakin besar kebutuhan subsidinya. Hal itu karena harga BBM dalam negeri tidak boleh naik, sementara harga minyak dunia terus naik. Jadi apa boleh buat, itulah yang membuat keuangan Pertamina bermasalah. Lalu program mengurangi impor BBM, menurut saya itu kaitannya dengan solar.
Jadi soal pergantian dirut Pertamina ini saya kira lebih pada komitmen pemerintah untuk mendukung Pertamina dalam kebijakan yang memungkinkan bisnis Pertamina terus tumbuh dan berkembang. Lalu secara bisnis juga dapat melindungi Pertamina dari kewajiban-kewajiban PSO (public service obligation) yang membebani keuangan korporasi. Bisakah pemerintah membuat kebijakan sehingga secara korporasi kewajiban PSO justru tidak mengganggu keuangan Pertamina. Yang terjadi selama ini, kewajiban PSO selalu dipaksakan tetapi tidak melihat dampak keuangannya bagi korporasi.
Terkait itu semua, apakah bu Nicke bisa independen terhadap keinginan-keinginan pemerintah? Jadi sebetulnya bukan pada figur. Karena soal figur, justru sosok yang kompeten seperti pak Massa malah diganti.
Sekali lagi, BUMN seperti Pertamina ini butuh kebijakan yang pro korporasi, pro publik, dan bukan pro kepada kepentingan penguasa. Apakah bu Nicke bisa menjalankan perannya sebagai pucuk pimpinan Pertamina yang mengutamakan kepentingan publik dan kepentingan negara dibanding kepentingan penguasa?
Pucuk pimpinan Pertamina harus bisa independen dari intervensi dan kepentingan sempit politik penguasa untuk melindungi kepentingan publik. Itu yang kita harapkan bersama. Tetapi kalau yang dilakukan sebaliknya, maka saya usul supaya segera diganti saja.
Harus diingat, bahwa BUMN Pertamina ini milik negara, bukan badan usaha milik pemerintah. Termasuk misalnya apakah bu Nicke berani bahwa menurut konstitusi sebetulnya tidak ada kewajiban bagi Pertamina untuk membayar signatory bonus dalam mengelola blok Rokan sebesar 780 juta dolar AS atau sekitar Rp11 triliun dan harus dibayar di muka. Sementara Pertamina baru boleh mengelola pada 2021. Ini apa-apaan? Padahal yang namanya signatory bonus itu tidak valid untuk diberlakukan bagi BUMN. Kebijakan signatory bonus itu lebih diperuntukkan bagi swasta untuk menunjukkan bonafiditas dan komitmen untuk mengelola suatu wilayah kerja. Adakah komitmen swasta untuk segera mengelola blok migas kalau sudah memenangkan tender. Supaya swasta serius mengerjakan maka digunakanlah skema signatory bonus. Jika dia menunda-nunda maka akan rugi karena sudah membayar signatory bonus itu.
Mestinya, skema signatory bonus itu tidak berlaku bagi BUMN, karena BUMN itu menjalankan tugas pemerintah dan tugas konstitusi. Apalagi Pertamina diharuskan membayar sekarang, tapi pengelolaannya pada 2021. Ditambah, Pertamina juga banyak menjalankan fungsi-fungsi PSO, karena itu mestinya ditanggung oleh negara lewat APBN. (pso)
Satu hal yang positif dari pengangkatan Nicke Widyawati sebagai Dirut Pertamina adalah terhentinya teka-teki dan terjawabnya sejumlah pertanyaan mengenai siapa figur yang akan dipilih Presiden Jokowi untuk memimpin Pertamina.
Selama pemerintahan Presiden Jokowi, Nicke tercatat sebagai figur ketiga dari kelompok Non Pertamina, setelah Dwi Soetjipto dan Elia Massa Manik yang dipercaya untuk memimpin Pertamina.
Tantangan Nicke selain menyelesaikan sejumlah tugas yang diamanahkan kepada Pertamina, yang paling utama dan tidak mudah adalah penerimaan internal Pertamina terhadap kehadirannya.
Dua figur dari eksternal yang memimpin Pertamina tercatat tidak bertahan cukup lama. Hal tersebut tentu juga perlu menjadi perhatian Nicke, terlebih amanah yang diterminya bersamaan dengan tahun politik. Bagaimanapun Pertamina adalah BUMN yang tentu tidak dapat dipisahkan dan memiliki irisan yang kuat terhadap politik.
Melihat kondisi dan tugas yang harus dijalankan Pertamina saat ini, pemerintah dan publik tampaknya tidak dapat berharap terlalu banyak terhadap kehadiran figur Nicke. Seungguhnya bukan figur Nicke yang menjadi penyebab, tetapi kondisi dan penugasan Pertamina yang telampau berat sehingga menjadikan siapapun pimpinannya relatif tidak akan memberikan banyak perubahan.
Saat ini, peran dan posisi Pertamina berdasarkan regulasi yang ada tidak lagi seperti Pertamina ketika merangkap sebagai agen pembangunan. Pada segmen usaha hulu minyak dan gas, Pertamina tidak lagi memiliki previlege dan berkedudukan sama seperti pelaku usaha yang lainnya. Akan tetapi pada segmen hilir minyak dan gas, termasuk pada segmen pengolahan (kilang), dalam batas-batas tertentu Pertamina masih diberikan peran sebagai agen pembangunan.
Sampai saat ini, pelaksana utama public service obligation (PSO) masih dilaksanakan oleh Pertamina. Distribusi BBM dan LPG subsidi ke seluruh wilayah Indonesia sebagian besar dilaksanakan oleh Pertamina. Sejumlah mandatori yang terkait kebijakan migas yang berperan sebagai pelaksana utama seringkali juga Pertamina. Akibatnya pihak yang paling utama yang harus menanggung kerugian jika kebijakan tersebut tidak berjalan dengan baik adalah Pertamina.
Melihat kondisi dan permasalahan yang ada tersebut, yang diperlukan untuk memimpin Pertamina sesungguhnya tidak cukup CEO terbaik, tetapi harus merupakan CEO terbaik, paham politik, diterima oleh seluruh kelompok-kelompok politik yang ada, dan diterima dan didukung oleh internal Pertamina. (Pso)