Sistem yang dibangun perlu mengedepankan efisiensi ekonomi agar meningkatkan daya saing. Salah satu instrumen yang dapat dicapai untuk hal tersebut adalah melakukan spesialisasi. Outsourcing dapat membantu menggapai spesialisasi tersebut, misalnya, posisi-posisi pekerjaan yang bukan terkait dengan core business dari suatu industri tertentu. Tidak ada salahnya untuk mencari tenaga outsourcing.
Di banyak negera industri, Vietnam, China, Hongkong kini semakin banyak menggunakan sistem outsourcing. Ini salah satu hal yang menjadikan industri mereka kompetitif. Outsourcing juga masih relevan untuk diterapkan karena industri akan selalu dinamis dalam menggunakan input-input produksinya.
Jika sistem outsourcing di Indonesia dihapus, maka perlu ada upaya tambahan dari tiap industri untuk mengembangkan skill-skill pekerjanya yang kadang tidak berkaitan dengan core business nya. Akibatnya industri menjadi lebih sulit untuk fokus dalam pengembangan skill-skill pekerjanya yang berkaitan dengan core businessnya.
Ihwal kondisi deindustrialisasi di Indonesia yang harus menghadapi revolusi industri 4.0, maka perlambatan industri faktor penyebabnya banyak, salah satunya memang betul karena faktor tenaga kerja high skill masih cukup minim masuk ke Industri.
JIka melihat proses transformasi ekonomi Indonsia, ketika industri telah menjadi leading sector, tapi tenaga kerja masih menumpuk di sektor pertanian (meskipun sekarang mengalami penurunan di sektor pertanian, tapi cukup lambat).
Hal ini mengindikasikan bahwa proses transformasi Tenaga Kerja masih terhambat karena masalah struktur dimana 58,8 persen Tenaga Kerja kita masih tamatan pendidikan SMP ke bawah. Jadi sulit untuk terserap ke industri.
Demikian pula adanya faktor kurangnya link and match ; sehingga terjadi mismatch. Itulah mengapa masalah tenaga kerja terdidik sulit terserap ke sektor industri.
Solusinya salah satunya adalah membangun kembali link and match, setiap institusi pendidikan perlu menyesuaikan arah dan orientasi materi/kurukulumnya agar mengikuti perkembangan/dinamika di dunia industri.
Terkait kondisi BLK di Indonesia (baik jumlah maupun kualitas) memang sangat terbatas. BLK di bawah binaan pemerintah pusat jumlahnya sangat kurang (karena terbatasnya anggaran). kemudian BLK yang di bawah binaan pemda kondisinya banyak yang terlantar, tertinggal dari sisi infrastruktur, sehingga tidak sesuai dengan perkembangan teknologi yang digunakan oleh industri. Oleh sebab itu, perlu kolaborasi antara Pemerintah-Swasta-Institusi pendidikan dalam meningkatkan skill tenaga kerja.
Beberapa saran mungkin dapat diberikan. Pertama, pelatihan yang diberikan dalam berbagai sarana, belum cukup. Perlu diseleraskan dengan kebutuhan tenaga kerja. Revitalisasi BLK agar sesuai dengan kebutuhan pasar
Kedua, memberdayakan lembaga kursus agar bermitra dengan Balai Latihan Kerja (BLK) di seluruh daerah. Ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja pendidikan rendah.
Ketiga, membangun Teaching Factory / Production Based (Pembelajaran Berbasis Kegiatan Produksi).
Di sisi lain isu maraknya Tenaga Kerja Asing (TKA) merupakan “tamparan” bagi Indonesia sebagai negara dengan populasi ke-4 terbanyak di dunia. Jika benar TKA yang masuk adalah legal, berarti ini menandakan bahwa tenaga kerja kita benar-benar miskin skill. Jika dilihat dari data struktur ketenagakerjaan bahwa memang benar tenaga kerja kita 58,8 persen adalah tamatan pendidikan rendah (SD dan SMP). Dengan background itu, bagaimana mereka mampu menyambut era ekonomi baru yang serba automasi (digital).
Sebagai contoh, Pemerintah telah memutuskan untuk menetapkan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di berbagai daerah, mengundang investor untuk masuk ke KEK ini, tapi SDM di daerah tidak disiapkan untuk mensupport investor yang hendak masuk, sehingga kondisi ini menjadi alasan bagi investor untuk bisa memboyong TKA dari Negara asalnya.
Di samping itu tidak adanya kejelasan mengenai transfer of knowledge ke tenaga kerja lokal. Ini yang harus dipertegas dalam kesepakatan apabila ada TKA yang hendak masuk. (pso)
Perlu kita dudukkan dulu bahwa dasar dari setiap revolusi industri adalah munculnya penghargaan terhadap ilmu pengetahuan. Dalam Revolusi Industri 4.0 yang saat ini terjadi, terdapat pergeseran (transformasi) ekonomi dari berbasis sumber daya (resourses-based) ke ilmu pengetahuan (knowledge-based economy). Dari sektor pekerjaan terdapat pergeseran cukup besar dari agrikultur ke sektor pekerjaan yang bahkan tidak kita kenal sebelumnya.
Grafik McKinsey Global Institute tentang Pergeseran Pekerjaan Berdasarkan Sektor di Amerika Serikat tahun 1850-2015, terlihat bahwa sektor pertanian (agriculture) mengalami penurunan serapan tenaga kerja yang signifikan. Di sisi lain, banyak jenis pekerjaan lain yang bermunculan dan serapan tenaga kerjanya meningkat.
Dalam sektor-sektor pekerjaan yang muncul, kontribusi ilmu pengetahun (pendidikan) menjadi semakin signifikan. Titik tumpu perekonomian saat ini terletak pada kecepatan dalam mengembangkan teknologi dan informasi yang membutuhkan sumberdaya manusia dengan kualifikasi tinggi.
Ihwal kesiapan tenaga kerja menyongsong Revolusi Industri 4.0 maka kita harus lihat struktur pendidikan angkatan kerja. Harus membandingkan kesiapan SDM Indonesia dalam menyongsong Revolusi Industri 4.0 dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia, dan perkumpulan negara maju (OECD).
Angkatan kerja yang menamatkan pendidikan tinggi (universitas dan diploma) di Indonesia hanya 12,18 persen, sementara itu Malaysia mencapai 20 persen dan OECD mencapai 40.40 persen. SDM dengan pendidikan tinggi ini secara konsep seharusnya yang menjadi penggerak dalam transformasi ekonomi. Sayangnya, jumlah angkatan kerja kita di level pendidikan ini masih tertinggal jauh.
Yang lebih menarik lagi, sudahlah hanya 12,18 persen angkatan kerja Indonesia yang menamatkan pendidikan tinggi, kondisinya diperburuk dengan tingginya angka pengangguran terbuka pada angkatan kerja berpendidikan tinggi.
Dari data yang ada, proporsi PENGANGGURAN TERDIDIK meningkat dengan signifikan. Jika kita bandingkan antara tahun 1998 (20 tahun yang lalu) dengan kondisi terkini, proporsi penggangguran terdidik (lulusan Universitas dan diploma) meningkat dari 8,51 persen menjadi 13,42 persen. Artinya apa? Angkatan kerja berpendidikan tinggi tidak terserap dengan optimal oleh industri. Terdapat mismatch antara pendidikan dengan lapangan pekerjaan.
Jadi permasalahan pendidikan dan keterampilan angkatan kerja akan menjadi tantangan utama dalam memasukin Revolusi Industri 4.0 dan ekonomi digital ke depan.
Akan tetapi perlu dicatat bahwa permasalahan ketenagakerjaan tidak akan bisa diselesaikan jika tidak menjadi agenda prioritas nasional karena permasalahannya sangat kompleks dan lintas sektoral.
Dalam World Development Report yang dikeluarkan World Bank pada tahun 2019 misalnya, salah satu bahasan ketenagakerjaan yang disoroti adalah permasalahan stunting (gizi buruk). Hal ini menjadi penting karena kesehatan pada usia seribu hari pertama kehidupan (dari masa kehamilan sampai dengan 2 tahun) akan mempengaruhi kualitas seseorang setelah usia 18 tahun. Seorang anak akan membawa efek masa kanak-kanak yang buruk dari kesehatan dan gizi buruk (stunting) yang membatasi kemampuan fisik serta kognitif numerikal dan literasinya sebagai orang dewasa.
Padahal kemampuan numerasi (angka) dan literasi menjadi modal utama dalam menghadapi lapangan pekerjaan kedepan yang semakin dinamis.
Terkait kondisi deindustrialisasi di Indonesia dihadapkan dengan Revolusi Industri 4.0, memang bisa dikatakan agenda Revolusi Industri 4.0 atau “Making Indonesia 4.0” lebih besar marketing gimmick-nya daripada program konkritnya. Industri manufaktur kita hanya tumbuh dibawah 20 persen, sangat berat untuk compete di Revolusi Industri 4.0.
Lebih tepat agendanya adalah menyikapi dinamisnya perekonomian dan dunia kerja saat ini. Kita bisa meniru negara-negara seperti Uganda, China, India, Filipina yang dalam waktu relatif singkat mencari (eksplor) dan serius dalam mengembangkan competitive advantage (keunggulan) baru mereka ditengah perkembangan dunia digital saat ini.
Uganda memiliki lebih dari 400.000 petani organik bersertifikasi internasional (seiring dengan cepatnya arus informasi, recognisi sertifikat semakin tinggi dan mempengaruhi penjualan produk).
China memiliki 100.000 validator data (data labeler) yang jenis pekerjaan ini tidak dikenal satu dekade sebelumnya dan saat ini telah menjadi competitive advantage China.
Filipina dengan SDM nya cenderung fasih dalam berbahasa inggris telah berkembang jadi negara penyedia call center utama di dunia. Coba cek, banyak perusahaan-perusahaan global menempatkan call center mereka di Filipina.
Terakhir India, akhir 2018 diprediksi ada 5,2 juta programmer di India.
Hal lain, ada yang menarik mengenai penggabungan Badan Riset yang diusulkan 01, dan link pemerintah, perguruan tinggi dan dunia usaha oleh 02. Hemat saya Kordinasi memang harga yang paling mahal dalam mendorong riset dan inovasi di Indonesia.
Ada penelitian saya tahun lalu tentang program Nawacita 100 Science dan Tekhno Park di seluruh wilayah di Indonesia.
Program ini bertujuan mendirikan pusat kolaborasi pemerintah, perguruan tinggi dan dunia usaha di 100 lokasi di Wilayah Indonesia. Lokasi-lokasinya serta Kementerian/ Lembaga (K/L) yang mendapatkan tanggungjawab ditetapkan dalam RPJMN 2015-2019.
100 lokasi telah ditetapkan dari awal dimana tidak jelas dasar penetapan lokasinya dan tidak berdasarkan rencana di daerah yang telah ditetapkan.
Kementerian/Lembaga yang mendapatkan tanggungjawab juga ditetapkan di awal tanpa melihat rencana prioritas masing-masing K/L.
Sementara itu tidak dapat dipungkiri memang kolaborasi pemerintah, perguruan tinggi dan dunia usaha (triple helix) sangat penting untuk untuk didorong agar perguruan tinggi tidak asik dengan riset temuan tanpa dukungan difusinya, industri kesulitan karena biaya riset yang mahal, dan pemerintah "membuang-buang" anggaran riset yang tidak tepat sasaran karena tidak bekerjasama dengan ahlinya (universitas) dan user-nya (industri dan dunia usaha).
Program 1.000 startup digital merupakan program yang sangat penting karena teknologi dan IT menjadi pendorong utama yang bisa membuat suatu model bisnis tumbuh dengan cepat dan berdampak besar bagi perekonomian seperti ojek online yang menjadi gelombang besar dan menyerap tenaga kerja baik driver, merchant makanan minuman, dan lainnya.
Akan tetapi perlu dicatat angka 1000 startup digital dalam 4 tahun terakhir pada umumya adalah angka startup yang di inkubasi. Risiko keberhasilan startup masih sangat rendah sehingga perlu pendampingan yang lebih serius. (pso)
Pemerintah harus lebih dulu melihat struktur tenaga kerja di setiap lapangan usaha. Berdasarkan data ILO, sebagian besar tenaga kerja Indonesia bekerja di (1) sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, (2) perdagangan, (3) manufaktur (industri).
Data BPS juga memperkuat data ILO, menyatakan dari tahun 1998-2017, struktur tenaga kerja Indonesia dominan bekerja di ketiga sektor itu. Tambah satu sektor lagi yaitu sektor jasa. Jadi empat sektor lapangan usaha yang mendominasi. Padahal banyak sektor lapangan usaha yang dapat digarap seperti konstruksi, pertambangan, dan lainnya.
Oleh karena itu seharusnya pemerintah perlu meningkatkan skill tenaga kerja yang bisa mengisi semua sektor tersebut.
Dalam nota keuangan APBN 2019, pemerintah mengalokasikan anggaran untuk Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi sebesar Rp41,26 triliun pada tahun ini. Anggaran tersebut naik dibanding 2018 sebesar Rp39,87 triliun, 2017 sebesar Rp37,7 triliun, dan 2016 sebesar Rp37,67 triliun.
Saat ini, ada link and match antara dunia pendidikan dan dunia usaha, namun belum efektif. Bukti link and match antara lain ada program riset yang dikeluarkan kemenristekdikti berupa pemberdayaan masyarakat. Biasanya program ini, misalnya perguruan tinggi membuat riset untuk mengivestigasi problem penyebab mengapa tengkulak tetap merajalela di Indonesia. Salah satu penyebabnya karena petani kurang akses ke modal dan akses ke market. Perguruan tinggi kemudian memberikan pelatihan usaha simpan pinjam dan membantu berdirinya kelompok tani simpan pinjam agar petani memperoleh akses lebih besar ke modal.
Dalam upaya mengurangi beban mahasiswa yang tidak mampu dalam kaitannya mencapai target SDM berdaya saing tinggi, skema pendanaan kredit mahasiswa dengan bunga maksimal 5 persen dan 3 tahun, menurut saya tidak feasible. Pertama, karena student loan harus jangka panjang minimal 3 tahun untuk mereka yang mau kuliah D3 dan 4 tahun untuk yang mau kuliah S1. Belum lagi setelah lulus kadang ada jeda untuk mencari pekerjaan. Kedua, student loan seharusnya bunganya rendah, kalau diberikan bunga kurang dari 5 persen itu jauh lebih baik. Di negara lain, mereka dapat student loan dalam jangka waktu kurang lebih 10 tahun Student loan sebaiknya diberikan pada penduduk pada usia kerja.
Ihwal Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah sebenarnya kebijakan yang bagus apabila bisa diimplementasikan di Indonesia. Mengingat struktur tenaga kerja di Indonesia masih didominasi oleh tenaga kerja dengan tingkat pendidikan SD-SLTA. Oleh karena itu jika KIP Kuliah dapat diimplementasikan di Indonesia maka akan mengubah struktur tingkat pendidikan tenaga kerja dari Tenaga kerja dengan tingkat pendidikan paling tinggi SLTA menjadi tenaga kerja tingkat pendidikannya lulusan diploma atau bahkan sarjana.
Namun perlu kita cermati skema pendanaan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah ini apakah berupa subsidi atau student loan debt (utang).
Jika Kebijakan KIP kuliah tersebut diterapkan dengan subsidi maka beberapa konsekuensi yang harus dicermati:
Pertama, Subsidi akan menjadi beban APBN, Kedua, Subsidi belum tentu akan mendorong semangat mahasiswa pemegang KIP untuk lulus dengan cepat dan berprestasi karena tidak ada beban mereka untuk mengembalikan.
Jika KIP kuliah diimplementasikan dengan skema pendanaan student loan debt maka konsekuensinya: 1. tidak membebani APBN dan 2. Mahasiswa akan lebih bersemangat untuk lulus dan cepat mencari pekerjaan karena mereka punya beban moral untuk mengembalikan uang yang dipinjam untuk biaya kuliahnya.
Skema pendanaan ini sudah diterapkan di beberapa negara seperti Korea, negara-negara Eropa, China dan US.
Terkait Bonus Demografi, pada 2030-2040, Indonesia diprediksi akan mengalami masa bonus demografi, yakni jumlah penduduk usia produktif (berusia 15-64 tahun) lebih besar dibandingkan penduduk usia tidak produktif (berusia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun). Stunting (masalah kurang gizi kronis) bisa saja mengancam gagalnya bonus demografi. Hal ini bisa dicegah jika asupan gizi cukup. Salah satunya dengan memberikan susu dengan jumlah cukup kepada anak-anak Namun kenyataannya, riset INDEF menemukan bahwa jumlah peternak sapi perah yang menghasilkan susu segar domestic berkurang drastic karena harga susu segar di tingkat peternak relative rendah antara Rp 3000- Rp 6000 per liter. Mereka jadi tidak bersemangat beternak sapi perah untuk memproduksi susu. Sebagian besar susu yang dijual di supermarket berasal dari susu impor dari negara lain. Kalo pemerintah serius terhadap masalah stunting, hal ini harus diperhatikan.(pso)