Pembatalan kenaikan cukai rokok sangat tidak bijaksana. Ini bertentangan dengan hukum alam kebijakan pemerintah yang berfungsi untuk mengurangi permasalahan.
Pemerintah melupakan fungsi kebijakan cukai sebagai instrumen pengendalian konsumsi. Jika cukai rokok tidak dinaikkan harganya maka harga rokok akan menjadi relatif lebih murah dari barang lainnya. Sehingga harga rokok akan semakin terjangkau. Bisa diduga dengan mudah konsumsi rokok akan meningkat.
Rilis riset kesehatan dasar 2018 menunjukkan peningkatan prevalensi perokok muda dari 7 persen menjadi 9 persen, semakin menjauh dari Target pemerintah 5 persen.
Penyakit tidak menular yang katastropik juga meningkat tajam seperti stroke, serangan jantung dan kanker yang sangat terkait dengan konsumsi rokok.
Pembangunan ekonomi haruslah berlandaskan atas masyarakat yang sehat dan membuat masyarakat semakin sehat.
Pembatalan ini juga tidak sesuai dengan janji bapak presiden yang akan memprioritaskan pembangunan sumber daya manusia. Hal ini seolah olah masyarakat didorong merokok demi stabilitas politik, demi penerimaan negara dan demi naiknya keuntungan industriawan rokok.
Pemerintah harus taat pada konstitusi untuk mengurangi konsumsi rokok dan tidak tunduk pada tekanan industri rokok. (pso)
Pembatalan ini adalah petaka regulasi. Kenaikan cukai adalah kelaziman yang dijamin Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2007 tentang Cukai. Menurut aturan itu, cukai rokok bisa naik sampai 57 persen, sedangkan besaran cukai saat ini baru mencapai 40-an persen. Buntut dari "pembangkangan" regulasi ini bisa sangat serius karena dapat melahirkan berbagai petaka, baik petaka sosial, ekonomi, kesehatan, maupun bahkan politik.
Pembatalan itu membuat harga rokok akan semakin terjangkau serta mudah diakses oleh anak-anak, remaja, dan rumah tangga miskin. Saat ini, konsumsi rokok masyarakat Indonesia sangat dominan, tertinggi ketiga di dunia karena 35 persen penduduk adalah perokok aktif. Pertumbuhan pada kelompok rentan juga tercepat di dunia. Bahkan terdapat fenomena baby smoker, yang di pojok dunia lain tidak ada.
Pemerintah sungguh tak sadar bahwa pembatalan cukai rokok akan mendorong semakin masifnya konsumsi rokok dan hal ini merupakan bentuk pengingkaran terhadap makna universal cukai rokok. Kebijakan cukai rokok sebetulnya berbasis pengendalian konsumsi, bukan tenaga kerja, dan apalagi mempertimbangkan kepentingan industri.
Adalah salah kaprah dan sesat pikir jika aspek kepentingan industri menjadi pertimbangan dalam memutuskan kebijakan (kenaikan) cukai rokok.
Masalah cukai juga tidak signifikan pada sisi ketenagakerjaan karena yang menekan aspek ketenagakerjaan adalah masifnya industri rokok besar dalam melakukan mekanisasi. Peran tenaga kerja diganti dengan mesin. Satu mesin bisa menggantikan 900-an tenaga kerja. Betapa efektifnya mekanisasi bagi industri rokok, tapi betapa sakitnya bagi sektor perburuhan dan tenaga kerja.
Apakah pemerintah tidak melihat data bahwa prevalensi penyakit tidak menular, seperti stroke, darah tinggi, diabetes melitus, dan gagal ginjal, terus meningkat?
Menurut hasil survei Riset Kesehatan Dasar oleh Kementerian Kesehatan, prevalensi penyakit kanker naik, dari 1,4 persen menjadi 1,8 persen; penyakit stroke dari 7 persen menjadi 10,9 persen; penyakit darah tinggi dari 25,8 persen menjadi 34,1 persen; dan diabetes melitus dari 6,9 menjadi 8,5 persen. Tersangka utama peningkatan prevalensi tersebut adalah faktor gaya hidup, terutama gaya hidup merokok.
Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan bahwa prevalensi merokok pada anak usia di atas 10 tahun masih bertengger pada angka 28,5 persen. Bahkan prevalensi merokok pada anak usia 10-18 tahun mencapai 9,1 persen, jauh dari target Rencana Jangka Panjang dan Menengah yang mematok 5,4 persen.
Dengan data dan fakta yang demikian, secara gamblang konsumsi rokok akan semakin menggerus peran Jaminan Kesehatan Nasional dan keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan bakal semakin berdarah-darah. Saban tahun BPJS Kesehatan selalu tekor dan yang membuat tekor itu adalah penyakit-penyakit katastropik (seperti stroke, jantung koroner, dan darah tinggi) dan konsumsi rokok adalah salah satu penyumbang utama dalam berbagai penyakit katastropik itu.
Dengan demikian, pemerintah sebenarnya telah gagal dalam pembangunan kesehatan dan menyehatkan masyarakat. Padahal faktor gaya hidup itu menjadi aspek yang fundamental. Jika aspek fundamentalnya masih rapuh dan berantakan seperti sekarang, skema pembiayaan kesehatan seperti apa pun akan ambruk.
Dengan pembatalan kenaikan cukai rokok, pemerintah telah membuka sebuah petaka baru, yakni meningkatnya prevalensi penyakit tidak menular. Cukai adalah instrumen utama untuk pengendalian konsumsi. Cukai rokok di Indonesia adalah cukai rokok terendah di dunia. Pembatalan kenaikan cukai rokok adalah lonceng kematian bagi pembangunan kesehatan manusia Indonesia, yang seharusnya berbasis preventif-promotif, bukan kuratif. Demi menangguk populisme dan kepentingan politik jangka pendek, rezim pemerintahan Presiden Joko Widodo rela mengorbankan kesehatan publik dan lebih berpihak pada kepentingan industri rokok yang terbukti justru hanya menjadi benalu bagi masyarakat dan negara. (pso)

Dengan adanya pembatalan kenaikan cukai rokok, maka seperti nya pemerintah punya strategi untuk menambal defisit BPJS dari sumber lain. Pemerintah pasti punya perhitungan-perhitungan tertentu. Kalaupun menaikkan tarif tapi tanpa adanya aturan yang jelas maka akan mempengaruhi kredibilitas pemerintah juga dalam hal ini kaitannya dengan ekonomi makro. Secara operasionalisasi pasti akan berpengaruh jika belum ada payung hukumnya.
Jika memaksakan memberlakukan kenaikan tarif padahal belum ada payung hukum yang jelas, maka hal itu bisa saja menjadi bahan “gorengan” elit politik. Urusan anggaran negara yang dikelola pemerintah tentu tidak serta merta bisa begitu saja digelontorkan kepada BPJS jika memang belum ada payung hukum atau regulasi yang jelas secara mekanisme dan sistem yang baku.
Jika tidak dibangun payung hukum terlebih dahulu lalu ternyata salah menggunakan, dan pemerintah bisa dikritik DPR karena penggunaan anggaran yang tidak menggunakan indikator-indikator yang ada.
Dalam hal ini juga menjadi kritik tajam bagi pemerintah mengapa tidak disiapkan lebih dulu sarana dan prasarana untuk penggunaan cukai rokok, atau menyiapkan regulasi sebelum menyampaikan pembatalan. Kalau sudah demikian maka sekarang yang memutar otak adalah di bagian teknis keuangannya, mau menutup defisit BPJS dari mana?
Kami selalu menyampaikan bahwa sedari dulu untuk pengelolaan BPJS yang harus dievaluasi adalah tata kelolanya. Jika tidak merevisi atau membenahi dulu tata kelolanya pasti BPJS akan selalu defisit. Setelah diperbaiki tata kelola nya maka nanti akan ditemukan cara bagaimana menutup defisit BPJS. Karena sebetulnya masih ada pos-pos yang lain yang bisa ditutup.
Mungkin pemerintah sebaiknya menyampaikan dalam waktu dekat tentang pembatalan kenaikan cukai dan defisit BPJS yang akan ditutup dari pos mana. Kalau membatalkan karena belum ada regulasi maka kami sepakat. Kalau tidak, maka pasti nanti akan dimanfaatkan peluang itu oleh elite-elite tertentu apalagi ini tahun politik. Di Negara lain yang memanfaatkan cukai rokok untuk menutup biaya kesehatan masyarakat juga ada payung hukum yang telah disiapkan.
Negara memang harus mengalokasikan cukai tembakau rokok untuk menutupi biaya kesehatan masyarakat asal payung hukumnya ada. Di daerah juga ada aturan bahwa 10 persen cukai tembakau digunakan untuk anggaran kesehatan.
Masalah penyederhanaan tarif cukai rokok yang oleh sementara kalangan dianggap akan merugikan petani tembakau dan industri rokok, itu memang debatable. Namun saran kami pemerintah harus bijak dalam memperlakukan berbagai kelompok kepentingan terkait urusan pertembakauan ini. Karena hal itu bagai buah simalakama antara kepentingan petani dan industri tembakau beserta kelompok yang anti terhadap meluasnya pemakaian rokok. Juga menyebabkan tingginya penyakit oleh sebab rokok dan tingkat usia perokok yang semakin muda. (pso)