Kami dari pihak Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Kelautan dan Perikanan menilai kondisi fundamental ekonomi masih berada dalam posisi yang terkendali. Hal ini dibuktikan dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya.
Pertumbuhan ekonomi masih terjaga dan inflasi cukup stabil pada level yang rendah. Namun risiko yang berasal dari dinamika perekonomian perlu mendapatkan perhatian lebih besar. Indonesia juga perlu menjaga cadangan devisa serta meningkatkan ekspor.
Ekspor komoditas di sektor kelautan dan perikanan dapat lebih dioptimalkan tidak hanya dilihat dari sisi nilai tambahnya, tetapi juga harus memperhatikan volume ekspornya yang masih relatif kecil. Jika melihat sebagian besar komoditas perikanan, justru volume yang dihasilkan belum optimal. Padahal, kita tahu potensi kita cukup besar, namun ternyata produktivitas komoditas ekspor kita belum seperti yang kita harapkan bersama.
Volume ekspor di sektor kelautan dan perikanan juga masih didominasi oleh rumput laut yang mencapai 175 ribu ton dengan nilai 241 juta dolar AS. Sementara potensi perikanan nasional harusnya bisa lebih banyak berkontribusi terhadap kinerja ekspor nasional.
Dunia usaha sendiri akan lebih mendorong agar sektor perikanan bisa berbicara lebih banyak untuk ekspor. Baik perikanan tangkap hingga budidaya, sehingga sangat diharapkan agar kebijakan yang ada bisa mendukung terhadap upaya ini dan target ekspor yang dicanangkan pemerintah bisa terealisasi.
Saya setuju dengan yang dikatakan Pak Rokhmin Dahuri bahwa dunia usaha juga berharap agar kebijakan yang ada tidak berubah-ubah karena mempunyai efek berganda yang signifikan terhadap sektor-sektor ekonomi lainnya. Pemerintah hendaknya bisa mendorong kemajuan ekonomi yang terfokus pada pertumbuhan dan ekspor.
Tahun depan, kebijakan pemerintah diharapkan lebih mengutamakan pendekatan konsep membangun pertumbuhan ekonomi yang inklusif serta fokus pada peningkatan nilai dan volume ekspor. Sejauh mana dengan pertumbuhan 5 persen pertumbuhan itu bisa berdampak terhadap kesejahteraan nelayan, masyarakat pesisir serta keberlangsungan usaha perikanan dan kelautan.
Di masa mendatang masih banyak hal yang harus diperhatikan. Kondisi sekarang ini, tidak hanya pelaku usahanya saja tapi nelayan sekalipun masih menemui banyak tantangan yang dihadapi seperti susahnya mendapatkan akses pembiayaan dan permodalan karena dianggap tidak bankable, selain juga terbentur dengan peraturan-peraturan cukup memberatkan. Di samping itu, masih mahalnya sarana produksi menjadi catatan tersendiri bagi pengusaha untuk melangsungkan usaha perikanannya. (pso)
Membahas mengenai Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memang selalu menjadi hal yang menarik hal ini tidak lepas dari keberadan Menteri Susi Pudjiastuti yang saat ini menjadi icon di struktur Kabinet Kerja Presiden Jokowi. Menjelang akhir masa jabatan periode 2014-2019 tentunya banyak hal yang menjadi catatan, bukan untuk menjatuhkan melainkan sebagai masukan untuk perbaikan tata kelola perikanan di masa yang akan datang. Secara pribadi saya memanggap bahwa selama 4 tahun terakhir kinerja sektor perikanan masih memiliki banyak “PR” yang harus diselesaikan, meskipun ada beberapa hal yang memang dirasa cukup membaik baik.
Pertama, “PR” yang paling besar adalah manajemen dan tata kelola Kementerian Kelautan dan Perikanan yang masih sangat kental dengan status discalimer terkait dengan pelaporan keuangan oleh BPK RI, akibat kegagalan KKP dalam menyalurkan kapal kepada nelayan sebagai bentuk insentif terhadap moratorium kapal asing, yang merupakan ekses dari kebijakan penerapan IUU Fishing oleh KKP. Meskipun KKP berdalih keterlambatan tersebut akibat kendala non teknis, namun saya melihat hal ini lebih kepada kurang sigapnya KKP dalam mengeksekusi kebijakan yang sudah dikeluarkan oleh KKP sendiri. Pola seperti ini bukan hanya terjadi pada pengadaaan kapal, namun terlihat dari kurang siapnya KKP menghadapi persolan cantrang yang terus berpolemik, pelarangan penagkapan benih lobster, kerapu dan beberapa komoditas penting lainnya, sehingga terjadi ketidak teraturan pada nelayan dan pengusaha dan terus memicu ekses sosial. Sebagai contoh kasus “clash” antara nelayan lobster di palabuhan ratu kabupaten sukabumi dengan pihak kepolisian yang secara umum merugikan nelayan, akibat pelarangan penangkapan benih lobster di alam, tanpa adanya upaya pengalihan mata pencaharian baru maupun insentif terhadap nelayan tersebut. Contoh lain dari pola manajemen KKP yang banyak mendapatkan kritik adalah perseteruan KKP dengan para asosiasi koral kerang dan ikan hias Indonesia, di mana menurut beberapa sumber KKP hanya melakukan pelarangan tanpa memberikan solusi teknis, padahal kegiatan asosisasi tersebut diklaim telah memenuhi peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Kedua, KKP sangat terlambat memenuhi target terkait pembangunan sentra kelautan dan perikanan terpadu (SKPT) yang sudah dicanangkan selama 3 tahun belakangan ini. Sebagai catatan SKPT harusnya menjadi tulang punggung program KKP karena merupakan simpul dari upaya pengelolaan perikanan secara terpadu dan juga untuk mengefektifkan program tol laut pada setiap daerah. Lambatnya progress SKPT tentu saja semakin membuktikan ada yang salah terkait manajemen di tubuh KKP. Bahkan KKP sampai saat ini hanya 3 SKPT yang telah selesai pembangunannnya dari target 40 SKPPT di seluruh wilayah indonesia.
Ketiga, KKP saat ini terkesan hanya bermain pada sesuatu yang sifatnya perhitungan seperti peningkatan nilai NTN nelayan atau peningkatan jumlah maximum sustainable yield. Padahal, pada beberapa kasus yang kami dapatkan proses perhitungan NTN hanya melibatkan nelayan pemilik yang secara perhitungan pastilah memiliki standar penghidupan yang lebih baik jika dibandingkan dengan nelayan kecil. Sudah saatnya KKP mengembangkan pendekatan perhitungan kesejahteraan nelayan dengan pendekatan yang lebih konprehensif seperti indeks ketahan nelayan ataupun indkes kerentanan nelayan yang memiliki parameter yang jauh lebih lengkap dari perhitungan NTN.
Keempat, saya melihat ada kekeliruan berfikir dari KKP dalam hal ini Menteri Susi terkait moratorium kapal eks asing di atas 30 GT tanpa adanya subtitusi dan upgrading kemampuan nelayan Indonesia untuk memanfaatkan “niche” yang besar akibat berkurangnnya kapal eks asing tersebut. Hal ini erat kaitannya dengan bantuan pengadaan kapal dan alat tangkap di atas 30 GT yang saat ini masih sangat sedikit. Menurut saya justru pengadaan kapal ukuran 30 GT harusnya mendapat porsi lebih dari kegiatan pengadaan kapal perikanan oleh KKP, alasannya jelas untuk mengisi bagaian yang ditinggalkan oleh kapal asin tersebut.
Kelima, KKP terlihat kurang serius menggarap sektor budidaya perikanan padahal jika melihat data produksi perikanan 70 persen produksi perikanan disumbangkan oleh sektor budidaya, jadi menurut saya sangat naïf bagi KKP tidak meberikan perhatian khusus terhadap sector ini. Masih hangat dalam ingat kita semua terkait rusaknya keramba jaring apung yang di impor dari Norwegia di 3 tempat (Aceh, Jepara dan Pangandaran) kurang dari 3 bulan pemasangannya. Padahal anggaran untuk mendatangkan teknologi ini sangat besar sekitar Rp300 miliar dan tidak menghasilkan apa-apa. Padahal jika uang tersebut diberikan kepada universitas atau lembaga swasta untuk mengembangkan model keramba yang tepat untuk perairan Indonesia pastilah akan lebih memberikan manfaat.
Keenam, ke depannya KKP akan mengahadapi tantangan yang cukup besar pada tahun 2019, mengingat banyak hal yang harus diselesaikan terkait dengan target menjadikan sektor perikanan menjadi tulang punggung perekonomian negara. KKP harus biasa memanfaatkan beberapa sektor yang masih belum digarap secara serius seperti perikanan budidaya dan jasa lingkungan laut. Belum lagi tantangan terkait Indonesian National Single Window (INSW) yang saat pelaksaannya beberapa minggu lalu terlihat bahwa KKP masih gagap terhadap aturan tersebut, di mana banyak pengusaha ikan yang tidak biasa melakukan kegiatan ekspor-impor akibat tidak tersosialisasinya aturan terkait mekanisme INSW kepada para pengusaha. Selain itu ada beberapa hal yang belum mendapatkan perhatian misalnya pengkodean komoditas oleh KKP. Seharusnya KKP bisa menjadi jembatan dalam memberikan kemudahan terkait pengkodean komoditas tersebut dengan aktif berinteraksi dengan lembaga Custom Negara (bea cukai). Sehingga pelaku ekspor impor komoditas perikanan dapat fokus bekerja tanpa teralihkan dengan hal-hal yang sifatnya teknis. (pso)