Sebetulnya wajar-wajar saja kalau ada pihak yang tidak puas atas kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Kementerian KKP.
Hanya memang ada yang harus digarisbawahi dari beberapa kegiatan atau program dari Kementerian KKP yang sebenarnya cukup baik. Seperti misalnya penegakan hukum terhadap illegal fishing. Tetapi hal itu hanyalah satu sisi dari kegaitan lain yang seharusnya dilakukan oleh KKP. Banyak hal semestinya bisa dilakukan.
Ada memang ketidakpuasan dari aktivitas nelayan yang dilarang oleh KKP seperti ketidakjelasan terkait kasus cantrang, juga pelarangan ekspor lobster yang sampai hari ini belum jelas.
Hal lain, untung saja pada 2018 kemarin KKP telah mendapat predikat WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) dari audit laporan keuangan. Setelah sebelumnya selama beberapa tahun selalu mendapat predikat disclaimer.
Sayangnya, menurut kami memang ada beberapa kebijakan yang laporannya dipercantik. Seperti misalnya NTN (Nilai Tukar Nelayan). Selama ini kita tidak pernah tahu bagaimana metode penilaiannya sehingga yang dilaporkan selalu bagus. Tetapi kenyataannya yang dirasakan oleh nelayan di daerah amat berbeda dengan laporan.
Yang kedua, ada beberapa program yang harus mendapat perhatian karena sudah lama dicanangkan, tetapi tidak kunjung terlaksana. Yakni Sentra Kelautan Perikanan Terpadu (SKPT). Hal itu ada puluhan jumlah nya tersebar diseluruh Indonesia. Akan tetapi sampai saat ini belum ada yang 100 persen selesai. Kalaupun ada yang selesai itu baru dua atau tiga buah yang rampung. Sisanya masih terus diprogramkan, dan hari ini rencananya KKP rapat dengar pendapat dengan DPR.
Sektor yang tidak diperhatikan juga adalah kegiatan budidaya perikanan yang disebut tidak mendapat perhatian memadai oleh KKP di bawah menteri Susi Pudjiastuti. Padahal potensi budidaya perikanan teramat besar karena pada tahun lalu saja produksi sektor perikanan itu sebanyak 23 ton, dan yang 21 ton nya adalah sektor perikanan budidaya. Walaupun sebagian besar dari perikanan budidaya adalah budidaya rumput laut sekitar 10 juta ton.
Tetapi kalau kita lihat dari proporsi anggaran, sektor budidaya perikanan ini tidak begitu mendapat perhatian.
Jadi kalau kita kembali menelisik kenapa ada kelompok nelayan yang menyatakan ketidakpuasan kiranya wajar, karena mungkin segala kegiatan KKP tidak sampai terasa ke masyarakat nelayan. Justru hanya laporannya saja yang baik.
Begitu pula resistensi dari kebijakan pelarangan cantrang oleh menteri Susi yang mungkin saja menjadi isu adanya para pengusaha besar perikanan yang keberatan terhadap pelarangan itu.
Ketidakpuasan lain contohnya ketika ada protes nelayan di Pulau Saponda di Sulawesi Tenggara. Di sana nelayan yang mau mendapatkan bantuan dari KKP dibebani persyaratan macam-macam. Kemudian ketika tiba di wilayah yang dituju masyarakat dikenakan biaya yang lebih mahal. Memang hal itu tidak selamanya kesalahan dari KKP, tetapi program KKP semestinya harus dikawal. Sehingga nelayan tidak menganggap program bantuan adalah program pemerintah tetapi mempertanyakan kenapa harus membayar lebih mahal dari biasanya.
Terkait korelasi dari penenggalaman kapal pencuri ikan (illegal fishing) terhadap angka kenaikan ekspor atau produksi perikanan, pada triwulan I/2019 kemarin ada data menarik. Kebetulan hari ini (18/6/2019) ada rapat dengar pendapat dengan KKP, untuk ekspor perikanan pada triwulan I/2019 dibandingkan periode yang sama tahun lalu, ternyata mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
Tetapi anehnya, kalau dilihat dari nilai ekspor atau nilai uang nya malah rendah dari tahun lalu. Jadi secara produksi memang lebih tinggi, tetapi secara nilai pendapatan ekspor lebih rendah.
Hal lain yang menarik, ada data bahwa tujuan ekspor perikanan Indonesia didominasi negara China. Urutan kedua ke Amerika Serikat dan ketiga ke Jepang. Volume ekspor perikanan ke China memang jauh lebih besar daripada ke Amerika dan Jepang. Akan tetapi entah kenapa nilai uangnya malah lebih rendah.
Kalau ekspor ke Amerika atau Jepang, angka ekspor nya lebih kecil tetapi nilai uangnya malah lebih besar daripada ke China. Kami tidak mengerti mengapa bisa terjadi seperti itu. Saya juga tidak tahu apakah tadi ada pembicaraan khusus terkait data temuan itu.
Jadi kembali ke korelasi antara kebijakan penenggelaman kapal dengan angka kenaikan ekspor atau produksi perikanan, saya kira memang ada relevansinya.
Kalau di luar negeri malah sudah dilakukan treceable production, yakni hasil perikanan sudah betul-betul memperhatikan misalnya aspek keberlanjutan lingkungan hidup atau pemberantasan illegal fishing. Hal itu yang menjadi perhatian khususnya di Eropa. Sehingga penerimaan akan ekspor kita akan lebih tinggi.
Saya kira tindakan terhadap illegal fishing merupakan poin positif juga, karena negara-negara Eropa betul-betul memperhatikan apakah produksi perikanan Indonesia telah menjaga aspek keberlanjutan lingkungan. (pso)
Menteri KKP Susi Pudjiastuti memang sering membuat orang berdecak kagum karena keberanian dan prestasinya. Tapi di dunia politik segala kehebatan itu bisa tak berarti apa-apa. Seorang menteri bahkan bisa diberhentikan di tengah jalan tanpa alasan apapun.
Di dunia politik hal semacam itu adalah hal biasa. Di sini lobi-lobi politik yang bersifat lintas partai dan bisnis sangat menentukan nasib seorang pejabat pemerintah bahkan negara. Kedekatan dan kepentingan pribadi, politik, dan bisnis pun campur aduk. Hal ini terlalu sulit dihindari karena politik sangat mahal sehingga idealisme kerap menjadi sekadar pemanis bibir.
Maka berbicara kehebatan seorang menteri atau pejabat politik lainnya kerap tidak klop ketika dihadapkan pada masalah apakah dia akan terus dipakai atau disingkirkan. Pata politisi paham betul bahwa nasib mereka sangat ditentukan oleh para pengambil keputusan dalam kelompok-kelompok kepentingan di dalam maupun luar partai. Mereka adalah adalah para penyandang dana dan pemilik kekuatan politik.
Kaum elite ini temtu juga menguasai berbagai muslihat politik untu menyimgkitkan seseorang, termasuk yang sangat populer seperti Susi Pudjiastuti. Senjata andalan mereka adalah melakukan pembunuhan karakter dengan membongkar semua sisi buruk lalau disebar ke masyarakat, dan melakukan pengerahan massa.
Bagi orang seperti Susi manuver semacam itu adalah masalah yang harus dihadapai. Apalagi dia juga menyadari bahwa banyak konglomerat perikanan dirugikan oleh keputusannya untuk melarang semua kapal ikan asing, termasuk yang disewa oleh perusahaan lokal, untuk beroperasi di perairan Indonesia.
Para nelayan kecil pun banyak yang tak suka pada dirinya. Kemarahan mereka tentu saja dipicu oleh keputusan Susi melarang penggunaan alat penangkap ikan yang tak ramah lingkungan, dan bisa mengancam kehidupan biota laut. Keputusan ini membuat biaya penangkapan ikan menjadi lebih mahal, dan menguras lebih banyak tenaga.
Susi sendiri telah berulang kali menjelaskan bahwa keputusannya adalah demi kepentingan nelayan jtu sendiri, dan Indonesia secara keseluruhan. Alasannya, penangkapan ikan secara sembrono tak hanya merusak ekosistem, tapi juga bisa membunuh semua mahluk hidup di laut.
Sikap tegas Susi tampaknya juga dipicu oleh kekhawatiran bahwa Indonesia bisa diboikot oleh pasar seperti dialami oleh Sri Lanka. Pada januari 2015 Uni Eropa melarang impor ikan dari Sri Lanka. Alasannya, banyak kapal ikan Sri Lanka beroperasi secara ilegal, tak memiliki sistem pelaporan terhadap penangkapan ikan, dan tak punya peraturan yang menjamin pelestarian lingkungan.
Meski boikot ini dicabut pada Juni 2016 karena memenuhi tuntutan Uni Eropa, para nelayan Sri Lanka mengalami kerugian sampai miliaran dolar. Susi jelas tak menghendaki hal ini terjadi pada Indonesia.
Bagaimanapun juga, meski kaya raya, Susi adalah orang kecil di dunia politik. Dia bukan kader parpol apapun. Dia juga harus berhadapan dengan para raksasa bisnis yang jauh lebih kaya, dan dirugikan oleh sikap keras kepalanya. (pso)