Menaggapi masalah perizinan investasi, beberapa hal dapat disampaikan berikut ini:
1. Perizinan investasi masih menjadi tantangan besar, sebab di era otonomi daerah, kewenangan perizinan teknis merupakan kewenangan daerah. Sehingga, sangat bergantung terhadap kepentingan dan kapasitas aparatur pemda.
2. Permasalahan lain, adalah sistem OSS masih memiliki kelemahan. Yakni, pada tahap awal investor harus memiliki izin lokasi dan lingkungan. Seharusnya cukup perizinan mendirikan perusahaan. Sebab, yang membuat lama adalah mendapatkan izin lokasi dan izin lingkungan.
3. Selain itu, terdapat 489 perizinan dan belum semuanya terintegrasi di OSS. Selain itu, OSS juga belum memiliki format bahasa Inggris. OSS juga belum memiliki KBLI yang lengkap.
4. Selain perizinan, insentif investasi dan infrastruktur menjadi faktor yang membuat Indonesia menarik bagi investor global dibandingkan Vietnam, Malaysia, dan Singapore.
5. Indonesia masih mengandalkan insentif pajak (tax holiday dan tax allowance). Insentif pajak juga dikeluarkan oleh Menkeh sehingga motivasinya lebih kuat untuk penerimaan dibandingkan menarik investasi.
6. Seharusnya pemerintah perlu memberikan insentif berupa konsesi lahan dalam waktu jangka panjang. Sebab harga lahan di Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan di negara tetengga. Sehingga jenis insentif konsesi lahan akan mengurangi biaya investasi.
7. Infrastruktur di Indonesia juga menjadi hambatan bagi investor. Proyek infrastruktur pemerintah Jokowi di periode pertama tidak dibangun dengan perencanaan yang matang.
8. Sehingga pembangunan infrastruktur yang dibangun tidak memiliki dampak yg signifikan bagi ekonomi malah sebaliknya.
9. Contoh: pembangunan bandara Kertajati yang sekarang kosong. LRT Palembang yang juga kosong sebab dibangun untuk event olahraga.
10. Di sisi lain, pemerintah prioritas membangun jalan tol. Seharusnya fokus infrastruktur yang dibangun adalah pelabuhan, bandara, dan kereta api. (pso)
Masalah perizinan di Indonesia yang berbelit dan mesti melewati banyak meja sudah menjadi rahasia umum. Sejak reformasi telah diupayakan berbagai cara untuk memangkas birokrasi perizinan tersebut. Namun demikian masih saja belum membuahkan hasil yang diharapkan, seperti ternyata di September 2019, Presiden Joko Widodo geram karena dari 33 perusahaan yang keluar dari China sebagian besar yaitu 23 perusahaan memilih Vietnam dan 10 lainnya memlih Malaysia, Thailand dan Kamboja. Tidak ada yang memilih Indonesia! Padahal, sudah digelar OSS (Online Single Submission) ditambah pula berbagai paket deregulasi plus kenaikan peringkat kemudahan menjalankan bisnis dari peringkat 120 di tahun 2014 menjadi peringkat 73 di tahun 2018. Semua itu seakan tidak membuat para investor mengayun langkah merelokasi usahanya ke Indonesia.
Ternyata keluhan para investor tersebut mengenai birokrasi perizinan yang panjang dan berbelit mementahkan semua usaha pemerintah guna menarik investor sebagaimana disebut di atas.
Di mana benang bundetnya? Apakah memang teknologi yang diterapkan tidak mampu mengurai birokrasi perizinan yang sudah menahun sejak Orde Baru?
Sejatinya teknologi dan sistem yang dibangun tidak dapat sendirian menguraikan benang bundet birokrasi perizinan di Indonesia. Sepertinya dengan konteks Indonesia yang berbeda dengan Vietnam, Thailand, Malaysia dan Kamboja, maka perlu ada pendekatan atau strategi berbeda pula.
Prinsip transparansi yang diusung teknologi dan sistem untuk diterapkan pada birokrasi perizinan harus tetap dilaksanakan dan terus dievaluasi untuk disempurnakan sesuai perkembangan jaman. Perlu dilibatkan kepedulian masyarakat untuk bersama mengawasi sistem birokrasi perizinan dengan disain teknologi informasi yang society-friendly bukannya malah mengintimidasi jika ada publik yang ingin menyampaikan kritik atau saran perbaikan terkait perizinan di berbagai sektor pembangunan.
Kampanye dan ekspose cerita sukses perizinan usaha yang terjadi bisa menjadi testimoni ampuh bagi para investor yang sangat percaya akan rekomendasi atau word of mouth komunitasnya. Kemenko perekonomian perlu tim lapangan yang terus berkomunikasi aktif dengan para pelaku usaha di berbagai industri lalu segera menyelesaikan masalah-masalah yang ditemui.
Memang sudah dapat diduga bahwa masalah yang ditemui di lapangan akan banyak berkisar pada regulasi-regulasi yang saling bertentangan, baik antara regulasi pemerintah pusat dan daerah kemudian antar sektor pembangunan. Oleh karena itu bila ada ditemukan hal semacam itu maka perlu segera diberi solusi dengan diungkap prosesnya, sehingga semua pihak terkait dapat mengikuti secara transparan sampai di mana penyelesaian regulasi-regulasi yang bertentangan itu. Sepertinya hal ini masih belum maksimal dilakukan karena biasanya setelah ditemukan adanya regulasi yang bertentangan maka perlu waktu lama untuk mendapat solusinya dengan berbagai alasan.
Untuk lebih menyakinkan proses pemangkasan birokrasi perizinan selain penerapan teknologi dan sistem, maka perlu penempatan orang-orang yang memang punya komitmen, kemauan dan kompetensi di posisi-posisi strategis perizinan baik di pemerintah pusat dan daerah. Bila ada kemauan untuk memangkas birokrasi perizinan di Indonesia maka tidak ada cerita yang tidak bisa. Namun jika memang ada pihak yang tidak berkehendak atau kurang komitmennya maka ruwetnya birokrasi perizinan di Indonesia akan tidak beranjak dari kemarin atau saat ini.
Semoga benang bundet birokrasi perizinan tidak lagi menjadi lagu klasik yang diputar ulang pada tahun mendatang oleh pemerintah, siapapun yang berkuasa. Mari berkemauan dan berkomitmen untuk membuat Indonesia lebih baik dari hari ini. (pso)