Problem hambatan investasi asing bidang farmasi, masuk pada analisa cost benefit ratio. Terdapat banyak sekali varian biaya produksi untuk produk-produk farmasi. Dan hal itu tidak bisa kita sebutkan hanya pada faktor-faktor regulasi dalam negeri. Harus dilihat pada harga lahan, biaya logistik dan semua aspek lain yang mempunyai konsekuensi terhadap cost dari investasi yang dilakukan.
Pada akhirnya investor akan melihat apakah biaya produksi dari produk farmasi sama dengan biaya produksi di Thailand, Malaysia dan Vietnam, lebih murah ataukah lebih mahal. Begitulah prinsip investasi karena investor mencari untung.
Kalau investor melihat bisa memproduksi lebih murah di Malaysia. Thailand dan Vietnam karena faktor logistik yang lebih murah dan sebagainya, maka investor akan berpikir untuk memproduksi saja di negara tetangga ketimbang di Indonesia. Lagipula produknya bisa dikirim ke pasar Indonesia. Jadi sebetulnya harus dipikirkan apa faktor penyebab yang sebenarnya dan signifikan terhadap tidak menariknya investasi farmasi di Indonesia.
Kalau regulasi Permenkes No 1010/2008 dianggap sebagai faktor yang memunculkan hambatan investasi, maka terus terang itu bisa dilihat sebagai faktor utama.
Sebetulnya dengan Permenkes No 1010/2008, investor diberi waktu lima tahun untuk mengimpor kembali. Setelah lima tahun mereka harus membangun investasi di Indonesia. Itupun tidak harus dengan fabrikan yang lengkap. Tidak harus semua prosesing dari a sampai z tetapi harus ada prosesing yang dilakukan di Indonesia. Setelah itu mereka sudah diizinkan kembali importasi.
Yang jadi pertanyaan, setelah mereka mendapatkan masa lima tahun boleh mengimpor kembali, mereka diminta untuk investasi. Hal itu belum tentu head quarter nya setuju. Karena misalnya mereka sudah investasi di Singapura, kenapa harus investasi di Indonesia. Tidak mungkin mereka membangun dua industri yang sama di dua lokasi dalam region yang sama. Itu sama sekali tidak efisien bagi investor.
Sekarang harus dilihat dimana kekuatan Singapura yang mempunyai infrastruktur begitu baik, lalu Vietnam yang bisa memberikan tax holiday bahkan pembebasan berpuluh tahun bagi sewa tanah sehingga cost of production menjadi lebih murah. Thailand bahkan membangun kawasan industri yang lengkap dari hulu sampai hilir dengan akses bagus ke pelabuhan laut dan bandara, dalam satu kawasan. Tetapi kelebihan Indonesia adalah mempunyai kekuatan pasar yang begitu luas.
Sekarang tinggal mengukur kelebihan Indonesia yang mempunyai kekuatan pasar dan harus diupayakan dipadukan dengan biaya logistik yang lebih murah.
Tentunya hal-hal di atas belum bisa dilihat sekarang. Harus dilihat dari pengembangan infrastruktur yang lebih baik dan dikombinasikan dengan insentif berupa tax holiday dan tax allowance yang bisa memberikan kontribusi terhadap murahnya biaya produksi bagi produk-produk farmasi yang dibuat di Indonesia.
Jika itu bisa diukur, baru bisa disimpulkan apakah Indonesia benar-benar kompetitif atau tidak bagi investasi dibandingkan dengan negara-negara lain. (pso)
Pertimbangannya adalah, jika investor sudah masuk ke Indonesia dan membangun pabrik di dalam negeri maka semestinya cost sudah harus lebih murah.
Jika dilihat secara umum, sampai saat ini harga jual murah tetapi cost of production tetap tinggi. Dari situ pasti ada sesuatu yang salah. Jadi mungkin ada in-efisiensi, atau juga karena bahan baku obat masih impor. Harga jual yang murah sekarang tidak lagi dianggap sesuatu yang menguntungkan karena cost nya sudah tinggi. Ditambah lagi rupiah saat ini mengalami pelemahan terus menerus terhadap mata uang asing. Sementara Indonesia kalau tidak memiliki bahan baku yang diimpor tidak bisa memproduksi obat sendiri.
Patut dipertanyakan sekarang, mengapa di Indonesia harga jual rendah tapi cost nya tinggi. Lain halnya kalau harga jual rendah dan ongkos produksinya juga rendah, tentu tidak masalah. Tetapi yang pasti kita tidak boleh membicarakan harga jual murah dan ongkos produksi harus murah, yang penting adalah kualitas obat yang diproduksi. Kasihan pasien jika harus mendapat harga obat yang murah tetapi tidak efektif menyembuhkan.
Sampai hari ini Indonesia belum bisa memproduksi raw material obat karena sangat padat modal. Meski teknologi produksinyha tidak terlalu tinggi karena hanya seputar kimia dasar. Hanya masalahnya adalah padat modal dan pabrikan dalam negeri juga belum yakin untuk memproduksi. Secara kalkulasi volume produksi dianggap tidak cukup memenuhi syarat.
Sebagai contoh, kenapa produsen bahan baku obat di India dan China memproduksi obat dengan volume produksi yang besar, karena produksinya bukan hanya untuk konsumsi dalam negeri dengan jumlah penduduk yang besar, tetapi juga untuk pasaran ekspor termasuk ke Indonesia. Kalau volume produksi besar biasanya ongkos produksi kecil. Sementara Indonesia jika memproduksi hanya untuk pasar dalam negeri maka dipastikan cost akan tinggi karena volume produksi masih terbatas. Otomatis tidak akan ada investor yang bersedia.
Jadi memang bukan hanya persoalan membangun industri farmasi di dalam negeri, tetapi yang penting adalah volume produksi di Indonesia belum memenuhi syarat atau belum besar.
Konsumsi obat di Indonesia juga hanya sekitar Rp200 ribu sampai Rp300 ribu per kapita per tahun. Angka itu jauh lebih kecil dibanding negara-negara lain di ASEAN saja. Tidak pengaruh adanya jumlah penduduk yang besar di Indonesia, buktinya konsumsi produk-produk obat di Indonesia termasuk obat bebas masih kecil sekali. Kedua, setelah adanya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) disebutkan bahwa industri farmasi akan mengalami pertumbuhan yang bagus, tapi ternyata data menunjukkan tidak ada pertumbuhan signifikan di sektor industri farmasi.
Investor farmasi tentu keberatan kalau masuk ke Indonesia dengan kondisi seperti itu.
Oleh karena itulah keharusan untuk mempunyai pabrik di Indonesia bagi produsen obat sebaiknya ditinjau kembali. Permenkes No. 1010/2008 memang harus di review kembali. Terutama persyaratan harus punya pabrik farmasi sendiri dengan diberi waktu lima tahun. Seharusnya penerapan peraturannya bertahap dimulai dari kantor kecil (Representative Office) untuk memulai bisnis.Kemudian dengan seiring waktu yang berjalan jika bisnis mereka tampak besar, baru dianggap siap membangun pabrik skala kecil terlebih dahulu dan seterusnya. Paling tidak, sudah ada gambaran aktivitas bisnis yang telah dimulai.
Kesimpulan dari semuanya, harga jual obat di Indonesia tidak bisa menutupi ongkos produksi sehingga keuntungan yang didapat investor sangat rendah sekali. Tidak bisa ditentukan apakah ongkos produksi yang salah atau harga nya yang salah, itu tidak bisa didapat keterangan pasti. Akhirnya kesimpulan yang didapat adalah terdapat in-efisiensi pada industri farmasi. (pso)
Industri farmasi merupakan salah satu industri prioritas yang dimiliki oleh Indonesia. Namun, kinerjanya kini semakin memprihatinkan. Coba lihat kinerja terhadap PDB tahun lalu (2018), turun hingga minus 1,4 persen. Lihat juga performa investasi asing langsung, juga jauh dari kata membaik, turun hingga mencapai Rp1 triliun.
Beragam deregulasi sudah dilakukan. Mulai dari pelonggaran DNI di sektor hulu dan hilir. Namun demikian, taji kebijakan masih cukup tumpul untuk dapat mendorong kinerja sektor ini.
Tentu investasi asing akan menjadi nomor sekian jika kita berbicara kepada aspek kebutuhan manusia yang utama, kesehatan. Setidaknya ada tiga hal yang penting mengapa sektor farmasi perlu didukung demi membaiknya SDM kita. Produk farmasi haruslah mudah, murah dan berkualitas.
Pertama, kita membutuhkan akses untuk memperoleh obat, terutama obat inovatif. Apalagi tren pengembangan obat sekarang bukan one fit for all tapi lebih taylormade. Artinya, obat untuk Anda bisa jadi berbeda untuk saya. Apa jadinya jika tidak? Data Kementerian Pariwisata (2018) mencatat bahwa sebanyak 600 ribu penduduk Indonesia tiap tahunnya ke luar negeri untuk berobat. Bayangkan devisa yang terbuang. Alasannya terkadang hanya dua: ketidakpercayaan dan ketidaktersediaan. Ketidakpercayaan memang akan berbicara pada jam terbang penyediaan jasa kita. Tapi ketidaktersediaan bisa jadi karena restriksi dalam negeri dan lokalisasi produk tidak terencana menjadi akar masalah.
Kedua, setelah akses lebih mudah, maka akses terhadap produk tersebut haruslah murah. Sehat bukan hanya dimonopoli oleh yang mampu, maka murah adalah bentuk keberpihakan bagi yang papa. BPJS Kesehatan menjadi bentuk institusi yang dapat menjadi jembatan yang memungkinkan obat inovatif dinikmati semua lapisan masyarakat. Secara teori, semakin banyak pesaing, semakin banyak produk pilihan, maka akan semakin murah harga dari produk tersebut. Maka industri yang kompetitif harusnya membuat produk yang dihasilkan memiliki harga yang kompetitif juga.
Terakhir, produk tersebut harus berkualitas. Kualitas tentu tidak bisa dinafikan dan kompromi. Regulasi yang ada tentu tidak bisa memaksakan produksi obat yang tidak memenuhi skala ekonomi tetapi di saat yang bersamaan tetap menjaga kualitas dari obat tersebut.
Untuk mengakomodir hal tersebut tentu integrasi kebijakan perlu dilakukan antar pemangku kebijakan terkait. (pso)