Sumber Foto: suaramerdeka.com
31 January 2018 19:00Baca Juga
Berangkat dari kekhawatiran pemerintah terkait harga gas dalam negeri yang tidak stabil (mahal), pemerintah melalui menteri BUMN mendorong pembentukan holding BUMN Migas. Wacana holding BUMN migas sebenarnya sudah lama berembus sejak zaman Presiden SBY, tetapi dalam perjalanannya muncul berbagai skema yang ditawarkan namun hasilnya masih jauh dari harapan.
Muncul berbagai kendala terkait upaya holding BUMN Migas. Yang paling kentara adalah terkait regulasi holding BUMN Migas yang tidak kunjung rampung hingga saat ini. Berlarut-larutnya revisi UU Migas sampai tiga periode meskipun selalu masuk prolegnas menunjukan adanya tarik-menarik kepentingan.
Holding BUMN Migas yang awalnya direncanakan melalui beberapa proses, pertama Perusahaan Gas Negara (PGN) mengambil alih Pertamina Gas, baru kemudian antara PGN dan Pertamina bisa berunding terkait Holding BUMN Migas. Namun yang terjadi, pemerintah melalui menteri BUMN seperti terburu-buru untuk segera membentuk holding BUMN dengan menjadikan PGN sebagai bagian dari anak usaha Pertamina.
Hal ini jelas menuai kritikan. Sebagaimana diketahui selama ini PGN sudah membangun 80 persen infrastruktur gas nasional. Bukan tanpa sebab jika banyak kalangan menilai motif pembentukan holding migas ditengarai merupakan usaha halus Pertamina untuk menguasai PGN, termasuk infrastrukturnya.
Kondisi keuangan PGN sendiri tergolong sehat, hal ini terlihat hingga september 2017 total aset Perusahaan Gas Negara (PGN) mencapai USD6.307.676.412 atau setara Rp83.892.096.279.600 (Kurs Rupiah Rp13.300). Bahkan PGN Setiap tahunnya bisa mengukuhkan pendapatan rata-rata sebesar USD2.164.763.461 atau setara Rp28.791.354.031.300 (Kurs Rupiah Rp13.300).
Di tahun 2016, PGN bisa memperoleh pendapatan sebesar USD2.934.778.710 atau setara Rp38.152.123.230.000. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan pendapatan Pertamina Gas yang hanya USD668.680.000. Atau setara Rp8.692.840.000.000. (Kurs Rupiah Rp13.000) Bahkan Pertamina selaku induk usaha Pertagas hingga Per Desember 2017 memiliki tanggungan utang sebesar Rp153,7 triliun. Dari kondisi ini, sangat aneh perusahaan sehat justru diambil alih perusahaan yang tergolong kritis.
Dengan dijadikannya PGN sebagai anak usaha Pertamina, PGN akan sama halnya dengan anak usaha BUMN lainnya. Pemerintah sendiri (BPK, KPK, DPR) selama ini sulit mengawasi anak usaha BUMN karena secara aturan negara tidak memiliki kewenangan terhadap anak perusahaan BUMN, karena selain bukan berstatus sebagai BUMN, anak perusahaan BUMN sahamnya tidak dimiliki oleh negara. Negara hanya memiliki kewenangan terhadap BUMN saja, sedangkan anak perusahaan BUMN bersifat mandiri.
Ada baiknya sebelum Jokowi mengambil keputusan tentang holding BUMN Migas, dituntaskan terlebih dahulu regulasi yang masih mengambang, seperti revisi UU BUMN dan revisi UU Migas. Jangan sampai holding BUMN Migas hanya dijadikan ajang caplok mencaplok antara perusahaan pelat merah. (pso)
Pada dasarnya pembentukan holding company BUMN adalah untuk lebih mengefisienkan operasional BUMN yang akan di-holding. Selain itu, manajemen dari BUMN yang di-holding akan mampu dimanfaatkan secara optimal. Akan ada share support antar BUMN tersebut seperti share biaya operasional, human capital, dan informasi yang didapatkan akan lebih selaras.
Jadi memang pada dasarnya tujuan dasar pembentukan holding BUMN patut didukung untuk menjadikan BUMN Indonesia mampu bersaing di tataran global.
Setelah membentuk beberapa perusahaan holding BUMN, kali ini pemerintah sudah yakin akan menggabung beberapa BUMN dalam satu holding BUMN Minyak dan Gas (Migas). Holding ini terdiri dari PT Pertamina sebagai induk dan PT Perusahaan Gas Negara (PGN). Proses ini juga akan memindah PT Pertagas (anak perusahaan PT Pertamina) menjadi anak perusahaan PT PGN. Proses ini sudah memasuki babak akhir.
Proses holding BUMN Migas ini terkait dengan masalah harga gas yang menjadi salah satu kendala terbesar dalam upaya pemerintah untuk mengefisienkan sektor industri.
Fakta ini didasarkan pada komponen harga gas merupakan salah satu komponen struktur biaya industri. Harga gas di Indonesia saat ini jauh lebih mahal daripada harga gas di negara-negara ASEAN lainnya (Awal tahun 2017). Hingga saat ini rata-rata harga gas untuk industri menyentuh level 9 hingga 10 dollar AS per Million Metric British Thermal Unit (MMbtu). Sedangkan di Singapura hanya 4-5 dolar AS per MMbtu, Malaysia 4,47 dolar AS, dan Vietnam sekitar 7,5 dolar AS.
Harga di Indonesia tersebut sebenarnya sudah lebih rendah jika dibandingkan dengan adanya komitmen pemerintah Indonesia untuk menurunkan harga gas. Sebelumnya harga gas di Indonesia mencapai level harga 13 dolar AS per MMbtu. Walaupun turun tapi tetap belum mampu untuk meningkatkan daya saing.
Strategi holding ini memang dipandang sebagai salah satu jalan keluar menurunkan harga gas. Ada tiga alasan yang mendukung hal tersebut. Pertama, strategi holding akan membuat penguasaan aset untuk industri gas jauh lebih besar dan lebih kuat. Kedua, biaya operasional organisasi perusahaan jadi lebih rendah sehingga mampu untuk mengurangi margin perusahaan. Ketiga, penambahan modal perusahaan relatif lebih mudah.
Dengan adanya penambahan aset dan perbaikan organisasi perusahaan, perusahaan pembiayaan akan lebih percaya dalam memberikan pendanaan. Manfaatnya adalah capital market akan lebih cepat tumbuh. Hal ini yang tidak didapatkan oleh Badan Usaha Khusus Migas (BUK Migas) yang digagas oleh DPR. Pada bentuk perusahaan, BUMN lebih leluasa dalam mengelola operasionalnya dibandingkan dengan BUK Migas.
Namun di balik manfaat tersebut, tentu ada hal-hal yang harus diperhatikan oleh Kementerian BUMN sebagai penggagas dan penanggung jawab proses pembentukan holding BUMN ini. Salah satunya seperti yang sudah pernah saya jelaskan di artikel http://watyutink.com/opini/jangan-salah-pilih-perusahaan-induk-holding-bumn beberapa bulan lalu.
BUMN yang dipilih sebagai induk holding haruslah BUMN yang mempunyai kompetensi dalam pengelolaan perusahaan yang lebih baik daripada BUMN yang dibawahinya. Dalam hal ini pemilihan PT Pertamina sebagai induk holding apakah lebih baik daripada PT PGN sebagai BUMN di bawah PT Pertamina.
Kinerja keuangan dan operasional BUMN induk holding harus dijadikan salah satu tolak ukur penunjukan induk holding. BUMN yang sudah menghasilkan keuntungan dan manfaat tinggi dengan produksi yang efisien harus terus dijaga kinerjanya. Jangan sampai dengan adanya beban mendongkrak induk holding malah membuat BUMN yang sudah bagus secara kinerja keuangan dan operasional menjadi lebih buruk dari sebelum menjadi BUMN holding.
Pembentukan holding BUMN harus dapat menghindari kesalahan yang terjadi pada holding BUMN yang sudah terbentuk yaitu BUMN Semen dan BUMN Perkebunan. BUMN Semen pun belum menunjukkan kinerja yang memadai dari segi produksi. Ada ekspansi ke luar negeri, namun di dalam negeri sendiri kinerjanya tidak begitu terjamin.
Demikian pula dengan holding BUMN Perkebunan yang belum menunjukkan perubahan yang berarti, salah satunya masih kalah dengan sektor swasta. Maka pembentukan Holding BUMN kali ini harus mempertimbangkan beberapa faktor termasuk faktor internal BUMN. (pso)