
Sumber Foto: Kompas/ Riza Fathoni
30 October 2017 18:00Sayang sekali memang rezim junta militer di seluruh dunia--termasuk Orde Baru--tidak bisa menerjemahkan tangan besi disiplin militer dengan kemampuan menciptakan administrasi yang efisien lancar. Benar kata Napoleon, Anda bisa memaksa orang dengan bayonet tapi Anda tidak bisa duduk di atas sangkur bayonet. Kenapa di zaman Belanda sampai 1957 angkutan pelayaran Regular Liner Services (RLS) pelayaran berjadwal lancar dan efisien dilakukan oleh KPM? Setelah KPM diambil alih pada 1957, ternyata Pelni tidak siap dan sejak itulah sampai detik ini sudah 60 tahun ongkos logistik Nusantara seperti watyutink.com tulis termahal sedunia, juga dibanding negara ASEAN lainnya. Jadi antara retorika nasionalisme, patriotisme dengan efisiensi pelayanan publik terdapat gap. Aparatur justru bersikap penarik rente birokrasi dan bukan memfasilitasi ekonomi dengan efisiensi infrastuktur.
Jadi masalah dwelling time dan paket deregulasi kembali kepada inti masalah, public servant dan public service harus kembali ke khittah melayani masyarakat dengan tarif yang efisien kompetitif dengan public service negara lain. Bukan menerapkan tarif termahal sedunia, sehingga barang Indonesia tidak mampu bersaing.
Pelabuhan jadi semacam sapi perah oleh semua institusi karena itu Ali Sadikin sebagai Menteri Maritim pertama memperkenalkan istilah "Adpel", Administratur Pelabuhan, supaya semua orang tidak semaunya sendiri ikut campur di pelabuhan dari Koramil, Polsek, Camat, Lurah, Imigrasi, Bea Cukai, Dinas Perhubungan, dan segala macam yayasan koperasi atas nama korps pegawai angkatan dan seterusnya .Semua main pungutan dan jasa penambah ongkos. Itu yang sulit disingkirkan.
Ketika Soeharto mencanangkan Bea Cukai dikontrakkan ke SGS, sebetulnya PDBI memberi masukan, alangkah idealnya kalau dalam proses 10 tahun SGS ditunjuk jadi pemegang fungsi Bea Cukai, aparatur "disekolahkan" dan dididik menjadi SGS profesional, terus secara lihai kita membeli mayoritas saham SGS, maka Indonesia akan menjadi negara "Dunia Ketiga" pertama yang berhasil mengakuisisi dan mengelola SGS, dan Bea Cukai RI akan menjadi yang efisien di dunia.
Menurut Alm Prof Wijoyo, usulan PDBI itu sudah dilaksanakan secara diam-diam tapi ya elite yang melakukan itu hanya untuk mengambil keuntungan dari bursa. Capital gain naik turunnya saham SGS di bursa Zurich. Kita bisa membeli De Javasche Bank jadi Bank Indonesia, Malaysia membeli Guthrie jadi Sime Darby sekarang. Kita kurang bervisi untuk bila perlu bukan sekedar memberi order kepada SGS tapi secara lihai mengakuisisi sebab porde Indonesia itu yang terbesar sedunia.
Tapi sudahlah, nasi sudah menjadi bubur. Sekarang malah kita sedang sibuk dengan heboh gaduh "comberan raksasa" bila kita tidak mampu mengelola reklamasi secara tepat. Kita butuh reklamasi, tapi semua berebut pungutan resmi. Alangkah kerdil dan ego sektoral, salah kaprah. Padahal seluruh dunia bisa melakukan reklamasi dengan sukses dan berkelanjutan. Kita malah "berperang saudara" gara gara reklamasi, sangat "dungu" dan inefisien.
Kita terbelakang dalam memahami diferensiasi fungsi institusi publik. Semua dianggap harus oleh negara, birokrat tapi ternyata malah korupsi dan high cost. Jadi memang kita harus punya kemampuan selain state , nation and country governance harus juga punya corporate governance yang mampu mengimbangi internasional. Pendeknya sekarang ini persaingan berlangsung mulai dari jajaran birokrasi sampai kualitas korporasi dan sumber daya manusia. Kalau kita semua inefisien, birokrat korup, swasta membeo, NGO-nya menambah beban sosial, ya sudah kita akan semakin terpuruk. (pso)
Kita sebaiknya membuat kajian komparatif dengan pelabuhan-pelabuhan kontainer di Asia tenggara, seperti Malaysia dengan Pelabuhan Tanjung Pelepas dan Port Klang, PSA Singapura, Laem Chabang Thailand, dan Manila Philipine. Jika bisa diketahui berapa dwelling time, berapa biaya bongkar muat kontainer per TEUS, juga produktivitas/gang crane/hour, maka kita bisa membandingkan kinerja masing-masing pelabuhan kontainer sebagai input.
Bea Cukai disini saya dengar sudah banyak progres perbaikan pelayanan. Hanya memang Bea Cukai itu seperti pembayar pajak, selalu dikejar-kejar target oleh Menteri Keuangan. Selain dikejar target, juga dipusingkan dengan beban harus membangun infrastruktur pelabuhan.
Pelindo sebagai BUMN juga terkesan saling kejar target. Di satu sisi dia harus melaksanakan PSO menekan biaya tinggi, tapi rupanya antara Pelindo 1,2,3, dan 4 itu saling kejar target laba usaha. Dengan saling kejar target laba seperti itu, akhirnya malah tidak nyambung dengan harapan pemerintah soal efisiensi dan debirokratisasi.
Jika dibandingkan dengan ketika SGS diberi peran mengelola pelabuhan seperti era Orba, tentunya sudah tidak bisa dibandingkan. Apalagi sekarang mestinya tindakan-tindakan ilegal seperti pungli dan lain-lain, dengan adanya KPK dan Saber Pungli, seharusnya sudah bisa dikurangi.
Bagi importir, yang jadi masalah sekarang adalah high cost economy di pelabuhan. Coba diperiksa berapa bea masuk per kontainer dan ketika move ke TPS (tempat penumpukan sementara). Itu penentuan biayanya oleh siapa? Jika di Surabaya kan ada APBS (alur pelayaran barat Surabaya) itu seperti tol di laut, memang mahal biayanya, padahal itu tanggung jawab Negara. Tapi saat ini semua ditanggung importir.
Berikut beberapa contoh biaya-biaya tinggi yang dikeluhkan oleh DPC INSA Surabaya kepada Pelindo APBS dan OP antara lain, meminta dihapuskannya uang rambu dan pandu. Kedua, biaya uang rambu dan pandu yang tetap dikenakan bagi kapal curah/kargo panjang kurang dari 100 meter. Ketiga, dihapuskannya kewajiban minta izin dispensasi oleh Adpel untuk kapal panjang 210 meter draft 31,3”. Keempat, alur APBS LWS 13 meter adalah surut terendah, kelima, pemberlakuan tariff internasional untuk APBS dengan segera, domestik per 1 Januari 2018, keenam, minta bisa dilakukan slipt billing, ketujuh, tarif dievaluasi setap 2 tahun sekali dan harus turun. (pso)

Ihwal korupsi dan pungli yang sulit sekali diberantas di pelabuhan, ini bukti bahwa sistem yang ada tidak terbangun dengan baik, secara administrasi maupun kualitas kinerja. Transparansi dan akuntabilitas tidak tercipta di pelabuhan peti kemas sehingga pola "upeti" dan pola pemanfaat sistem yang rapuh tetap terjadi di tingkat operasionalisasi.
Sistem evaluasi terhadap kinerja penerimaan negara bukan pajak di sektor ini tidak berjalan dengan baik. Sebaiknya perlu ada pemberlakukan sistem di tingkat operasionalisasi dan sistem kinerja penerimaan negara di sektor yang lebih baik.
Tidak bisa juga kita mengandalkan satgas karena kita membutuhkan sistem yang berkelanjutan seperti mendorong adanya sistem penerimaan bukan pajak di sektor yang diarahkan satu pintu, membangun sistem informasi sebagai perwujudan transparansi kinerja penerimaan negara
Kinerja 16 paket deregulasi belum cukup memberikan keyakinan terhadap masyarakat, karena belum sampai menyentuh akar pokok ekonomi indonesia
Memberantas rent seeker, pungli, dan premanisme sangat sulit jika tidak dibangun sistem yang saya sampaikan tadi, bisa dibenahi asalkan ada komitmen dari birokrasi.
Untuk penegakan hukum perlu dilakukan konsolidasi penegakan hukum dalam rangka upaya pencegahan korupsi, konsolidasi dapat melibatkan K/L terkait dan menyusun perencanaan bersama sehingga upaya pencegahannya tidak parsial. (pso)