Indonesia tercatat pertama kali mengekspor beras adalah saat mengirim beras ke India pada 20 Agustus 1946. Adalah Sutan Syahrir, Perdana Menteri pertama Republik Indonesia, yang berkomitmen mengirim 500.000 ton beras ke India untuk ditukarkan obat-obatan serta barang lain yang dibutuhkan Indonesia. Ekspor tersebut dibungkus dengan nama Diplomasi Beras yang bermaksud menembus blokade perdagangan oleh Belanda sekaligus membantu rakyat India yang sedang membutuhkan beras. Saat itu memang produksi beras Indonesia berlebih sehingga mampu melakukan ekspor.
Lama tidak terdengar, termasuk melewati era Orde Baru yang berhasil mencapai produksi beras untuk swasembada pangan sehingga diganjar medali FAO tahun 1985, maka tahun 2014 dicatat oleh BPS bahwa Indonesia kembali mengekspor beras berjenis mutu premium sebesar 130 ton yang kemudian melonjak di tahun 2017 menjadi 3433 ton. Jauh di bawah angka ekspor beras ke India tahun 1946. Hingga di tengah tahun 2019 ini, dikabarkan bahwa Bulog gagal mengekspor beras karena harganya jauh di atas harga beras negara tetangga. Sudah jelas tidak berdaya saing. Mengapa harga beras Bulog (baca: Indonesia) lebih mahal dari negara tetangga?
Biaya produksi beras menjadi sorotan utamanya. Apakah benar demikian? Lalu bagaimana membuat efisien produksi beras di Indonesia?
Sejak lama padi merupakan bagian dari budaya Indonesia, sehingga ada mitos Dewi Sri dan cerita-cerita rakyat lainnya yang tersebar di pelosok nusantara. Hal ini jauh dari kerangka pikir produksi industri barang yang menekankan efisiensi biaya agar dapat bersaing. Petani di Indonesia sudah turun temurun menanam padi dengan mengutamakan nilai komunal, berbeda dengan petani gandum di Amerika Serikat atau Australia yang menggunakan kerangka pikir produksi untuk mendapat keuntungan. Kerangka pikir petani Indonesia tersebut di atas menjadi awal munculnya serentetan masalah transformasi produksi dari padi menjadi gabah lalu akhirnya beras. Belum lagi struktur pertanian padi Indonesia yang dominan berbasis petani-petani gurem dengan luasan lahan kurang dari 0.5 hektar. Ditambah lagi tata niaga beras yang sangat melemahkan posisi tawar petani. Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah serta Harga Eceran Tertinggi (HET) beras seakan tidak berdaya melawan sindikat perdagangan gabah dan beras dari skala kecil hingga besar yang berorientasi mendapat keuntungan maksimal. Berbeda sekali dengan orientasi kebanyakan para petani sebagai produsen gabah. Oleh karena itu penting sekali membangun kerangka pikir petani Indonesia yang berorientasi pada sistem produksi padi berkelanjutan dengan menghitung biaya produksi secara cermat. Salah satu program pemerintah terkait hal itu adalah Korporasi Petani.
Korporasi petani yang mulai didengungkan sejak 2017 ternyata masih belum berdampak terhadap biaya produksi beras. Agaknya konsep korporasi petani masih belum dipahami sepenuhnya oleh para pihak terkait sehingga dengan banyak versi penafsiran maka implementasinya juga tidak fokus dan terpadu. Sejatinya melalui korporasi petani ini pemerintah mengharap adanya perubahan kerangka pikir petani dalam budidaya pertanian, khususnya padi yang ujungnya adalah beras sebagai produk berdaya saing di pasar untuk mampu mengangkat kesejahteraan petani. Penerapan manajemen modern dalam konsep korporasi petani perlu didukung dengan pembangunan infrastruktur pertanian serta dipayungi regulasi terkait tata niaga produk pertanian, khususnya beras yang memiliki kesetimbangan antara petani (produsen), masyarakat (konsumen) dan pedagang (intermediator). Semoga ekspor beras Indonesia selanjutnya dapat mencapai dan syukur-syukur melebihi jumlah seperti saat Diplomasi Beras di tahun 1946. (pso)
Soal beras, hampir di semua negara memberikan subsidi bagi petani. Ada bermacam subisidi yang diberikan seperti subsidi benih, pupuk dan lain-lain. Tetapi di negara kita sepertinya subsidi yang diberikan peruntukannya yang tidak tepat sasaran.
Mungkin suatu saat nanti perlu kita bicarakan bagaimana kalau subsidi diberikan hanya di satu titik saja yaitu subsidi harga bagi petani. Konsepnya, pemerintah harus siap dengan sistem penyangga untuk subisidi harga, misalnya jika satu ketika harga beras petani jatuh, maka pemerintah siap untuk membelinya.
Jadi kalau perlu dijual murah tidak masalah untuk ke luar negeri tetapi dengan konsep penyangga. Di situlah peran Bulog bisa amat penting.
Sebetulnya subsidi kita tidak akan penah tepat sasaran karena memang pendataan penduduk di Indonesia tidak pernah tepat. Kedua, pada subsidi kental dengan unsur politik. Subsidi sampai sekarang masih menjadi alat permainan politik. Subsidi tidak pernah tepat karena hal itu.
Jadi memang suatu saat perlu satu item untuk memberikan ruang bagi subsidi para petani. Harus dikaji secara tepat subsidi kepada petani akan diberikan dalam bentuk apa.
Sementara ini menurut kajian, yang paling tepat diberikan adalah subsidi harga. Petani tetap saja berpoduksi tetapi harganya jangan sampai jatuh. Kalau harga jatuh maka yang membeli adalah pemerintah. Misalnya Bulog yang membeli dan mendapatkan dana dari negara untuk menjadi penyangga harga.
Semua negara pasti diberikan subsidi tak terkecuali Thailand. Hanya sayangnya di negara kita subsidi masih menjadi permainan para politisi sehingga tak tepat sasaran.
Thailand memang teknologi pertaniannya sudah demikian maju. Oleh karena itu untuk meningkatkan pertanian dalam negeri maka sudah saatnya diadakan “Revolusi Pertanian tahap ke-2”.
Revolusi hijau ala Orde Baru mungkin saat ini sudah tidak cocok diterapkan. Karena sekarang sudah ada perkembangan teknologi, ada perkembangan penggunaan mikroba dan sebagainya.
Perlu dilaksanakan semacam konferensi para ahli pertanian dan yang terkait, untuk menyusun “Revolusi Pertanian Tahap ke-2”. Bagaimana agar pertanian atau beras bisa berproduksi dengan hasil yang bagus, pemeliharaannya murah, apakah masih perlu pengairan yang deras seperti ini atau perlu mikroba jenis tertentu, begitu pula dengan jenis pupuk. Hal hal itu yang kiranya perlu dibicarakan dalam konferensi tersebut. Kita sepertinya punya kemampuan dalam hal itu.
Jika pak Jokowi bersedia maka beliau semestinya berkenan mengadakan agenda itu atau konferensi untuk menyiapkan “Revolusi Pertanian Tahap ke-2”. Di sana semua hal dirumuskan kembali, dengan harapan semua persoalan pertanian kita seharusnya bisa dicarikan jalan keluar dan diselesaikan segera. (pso)