Mestinya persoalan divestasi ini sederhana karena semuanya sudah disepakati para pihak. Jadi tinggal masalah proses. Kalau divestasi ini sebetulnya memang urusan pemerintah pusat dengan pihak kontraktor. Adapun masalah dengan pemerintah daerah menjadi urusan pemerintah pusat dalam soal participating interest. Karena selama ini meskipun secara saham tidak dapat tapi daerah tetap dapat melalui dana bagi hasil.
Yang harus diketahui oleh daerah, punya “interest” itu tidak hanya sekadar memiliki. Tetapi juga melekat kewajiban investasi di dalamnya. Jadi intinya, kalau punya 9 persen dari saham Freeport maka nanti dalam investasinya harus juga ikut patungan 9 persen dalam bentuk modal penyertaan saham. Jadi pertanyaan, apakah pemda Papua cukup punya dana untuk itu, terutama di dalam APBD nya untuk keperluan itu?
Itu yang sering kali teman-teman kita di daerah belum cukup faham. Dikiranya itu saham kosong. Kalaupun nanti mereka memperolehnya gratis misalnya, setiap tahun investasi harus juga tanam investasi saham. Selama ini memang daerah tidak diwajibkan, tetapi investasinya ditanggung oleh pemerintah pusat sebagai shareholder dan daerah dapat bagian terima bersih.
Kalau sekarang tidak mau terima bersih maka daerah harus ikut campur dalam investasinya. Jadi persoalannya tidak sederhana.
Ihwal kerusakan lingkungan itu adalah bagian dari proses lama. Perusakan lingkungan dilakukan oleh PT Freeport, dan itu tidak ada urusannya dengan Inalum yang sekarang. Inalum membeli sharenya pada saat ini dengan nilai sekarang. Peristiwa kerusakan lingkungan itu terjadi sebelum adanya transaksi, jadi yang bertanggung jawab mestinya sebelum proses divestasi itu.
Potensi untuk memakan waktu lebih lama dari proses divestasi 51 persen saham memang ada akibat masalah itu, dan hal ini menjadi salah satu problem yang harus diselesaikan. Karena APBN kita juga terbatas untuk ikut menyelesaikan. Jadi kalau tidak ada jalan keluar dalam waktu dekat maka mungkin tidak akan terbayar juga kewajiban akibat kerusakan lingkungan tersebut. Kecuali di RAPBN perubahan 2019 hal itu bisa dimasukkan. (pso)
Divestasi saham PT Freeport Indonesia (PTFI) ternyata memang kompleks karena melibatkan banyak pihak dengan berbagai kepentingannya masing-masing.
Belajar dari sejarah bahwa mempertemukan kepentingan banyak pihak apalagi yang berlawanan tidak bisa tidak harus melalui negosiasi – perundingan, jika ingin menghindari kerugian besar bagi banyak pihak. Walaupun banyak masalah kompleks di dunia yang masih belum selesai dengan cara negosiasi, namun negosiasi masih lebih baik dibanding cara lain, misalnya pemaksaan kehendak atau penekanan melalui kekuasaan dan sejenisnya.
Solusi menang-menang menjadi hal yang harus diupayakan untuk mengatasi kebuntuan dalam memecahkan masalah kompleks melalui negosiasi. Prinsip BATNA (Best Alternative To Negotiated Agreement) seyogyanya diterapkan dalam proses divestasi PT. Freeport Indonesia. Pemerintah Indonesia maupun Freeport-McMoran pasti memiliki para negosiator ulung yang berpengalaman untuk mengajak para pemangku kepentingan terus berunding agar mencapai solusi menang-menang.
Terkait dengan penolakan Gubernur Papua terhadap implementasi perjanjian hasil negosiasi divestasi PTFI maka ada tiga hal penting yang harus diperhatikan semua pihak agar segera mendapatkan solusi terhadap masalah ini, yaitu transparansi, niat baik (good faith) dan kepercayaan (trust).
Transparansi dalam arti bahwa semua proses negosiasi hingga perjanjian harus terbuka dan diimplementasikan konsisten-tidak menyeleweng. Niat baik (good faith) dalam arti semua kepentingan para pihak terlibat bertujuan untuk kebaikan masyarakat Indonesia termasuk di dalamnya Papua serta keberlanjutan usaha PTFI yang memberi benefit bagi pihak terkait secara proporsional.
Terakhir, kepercayaan (trust) dalam arti semua pihak terkait harus membangun kepercayaan dan menjaganya agar proses divestasi PTFI tuntas sampai tujuannya.
Walaupun ada tenggat waktu terkait proses divestasi PTFI, namun jika semua pemangku kepentingan bersedia menerapkan tiga hal tersebut di atas maka kendala-kendala dapat diatasi bersama.
Semoga para pihak terkait divestasi PTFI diberi hikmat dan kemampuan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa untuk menerapkan tiga hal tersebut. (pso)
Perkembangan divestasi saham Freeport terus mendapatkan perhatian publik. Sudah sepantasnya masyarakat Indonesia terus memantau proses pengembalian hak pengelolaan atas kekayaan milik bangsa yang nilainya mencapai ribuan triliun rupiah ini.
Sepanjang 2018 ini setidaknya terjadi beberapa proses. Berpindah dari satu proses ke proses lain, bergerak dari satu gelanggang ke gelanggang lain. Selalu lahir babak baru dalam proses divestasi Freeport ini. Apakah ada kemajuan ? Mungkin ada, tapi belum signifikan.
Contohnya penandatangan Head of Agreement (HoA) pada 12 Juli 2018 lalu. Pemerintah mengkapitalisasinya seakan-akan Freeport sudah kembali ke Negara. Padahal HoA bukanlah MoU (Memorandum of Understanding). MoU lebih mengikat dan punya power mengeksekusi, sedang HoA hanya perjanjian payung yang mengatur hal-hal prinsip saja, bukan kesepakatan Jual Beli Saham. Aroma pencitraan sangat kental mewarnai pemberitaan tentang proses ini.
Masih di bulan Juli 2018, kesepakatan harga saham Freeport tercapai. Tapi disinyalir terlalu mahal. Kesepakatan harga ini tercapai dalam kondisi terdesak. IUPK sementara (Izin Usaha Pertambangan Khusus) Freeport Indonesia habis pada 4 Juli 2018. Meski terdesak aturan hukum, Freeport masih gagah perkasa pasang harga. Indonesia akhirnya menyerah di harga 3,5 miliar dolar AS. Tidak ada negosiasi lagi.
Padahal waktu Pemerintahan RI tahun 2013 memproses perebutan saham Inalum dari Jepang, didesain pemerintah dengan komprehensif. Progress dan tahapannya jelas. Saat itu Jepang melalui NAA (Nippon Asahan Aluminium) kasih harga 626 Juta dolar AS. NAA menggertak. Ngotot. Pemerintah tak mau kalah, harga dipatok di 558 juta dolar AS. NAA pun menyerah, Jepang takluk dalam negosiasi Indonesia.
Dibanding Inalum, persoalan Freeport memang lebih kompleks. Nilai transaksinya jauh lebih besar, harga sahamnya lebih dinamis. Belum lagi urusan limbah tailing, keinginan FCX tetap mengontrol operasional FI, serta sebagian produksi yang sudah diijonkan ke Rio Tinto. Justru itu semua harusnya jadi tantangan bagi pemerintah. Untuk kesuksesan yang lebih besar, harus memiliki planning yang lebih matang. Rencana yang komprehensif harus langsung mengarah pada substansi, bukan merencanakan pencitraan diri atas "keberhasilan semu" yang membodohi rakyat.
Termasuk rencana melakukan konsolidasi dengan Kepala Daerah terkait, pengelolaan funding dengan Perbankan, penyelesaian gugatan hukum seusai temuan BPK atas kerusakaan lingkungan dan ekosistem sebesar 13,59 miliar dolar AS. Ditambah lagi persoalan nilai transaksi seharga 3,5 miliar dolar AS, yang berarti sekitar 58 persen dari aset Inalum. Ini harus cermat diprediksi dan direncanakan pemerintah, sehingga tahapan perkembangan divestasi saham Freeport benar-benar ada kemajuan signifikan dari babak pertama ke babak selanjutnya, bukan sekedar pindah gelanggang dari satu persoalan ke persoalan lainnya. (pso)